Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERJANJIAN penyelesaian utang dengan konglomerat penyedot kasbon BI benar-benar ibarat kerikil dalam sepatu yang membuat Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) selalu merasa tak nyaman. Bayangkan, beberapa perjanjian sudah diteken sejak tahun 1998, tapi hingga kini pelaksanaannya masih terantuk-antuk. Kesepakatan setebal bantal yang ditulis dalam bahasa Inggris itu memang super-membingungkan. Tak mengherankan bila BPPN ataupun para konglomerat menafsirkan perjanjian yang beken disebut Master of Settlement and Acquisition Agreement (MSAA) itu sesuka hati masing-masing. Jadi, bagaimana antara mereka bisa bertemu?
Karena itu, tak aneh bila agen penyehatan perbankan itu bolak-balik ngomong ingin merevisi MSAA dan MRA (Master of Refinancing Agreement). Sayangnya, pernyataan itu kerap sekadar buah bibir yang tak kunjung dilaksanakan. Maka, cukup mengejutkan kalau sekarang BPPN diam-diam serius merundingkan kembali penyelesaian utang BLBI itu. Kali ini pejabat yang ditugasi adalah Dasa Sutantio. Sejak Agustus lalu, pejabat pelaksana tugas deputi ketua bidang AMI (aset manajemen investasi) tersebut rajin mengirimi para konglomerat itu surat panggilan.
Nah, para taipan itu ternyata menanggapi panggilan tersebut secara beragam. Bob Hasan, yang memiliki utang BLBI di Bank Umum Nasional (BUN) sebanyak Rp 5,34 triliun, malah marah-marah dan mengancam ingin membatalkan MSAA yang pernah ditekennya. Dalam surat ba-lasan yang dibawa Leonard Tanubrata, bekas direktur utama BUN, Bob mengeluhkan perlakuan pemerintah yang tidak konsisten. Soalnya, kendati sudah meneken MSAA, utang BLBI-nya ternyata tetap diungkit-ungkit. Mestinya, dengan menyepakati MSAAdan menyerahkan aset sebagai pembayar utangsemua utang BLBI Bob Hasan memang telah dianggap selesai.
Sayang, Bob sendiri menolak memberi penjelasan lebih lanjut tentang ancamannya itu. Ditemui TEMPO di Lembaga Pemasyarakatan Batu, Nusakambangan, bekas kawan main golf Soeharto itu hanya menjawab pendek "tidak" sambil tersenyum. Andi Darussalam, pembantu Bob yang rajin menjenguknya di Nusakambangan, menyatakan bosnya itu mengaku tak mau lagi menjadi sorotan karena diwawancarai wartawan.
Menghadapi ancaman Bob itu, BPPN menurut Dasa belum menentukan sikap. Namun, Dasa menyayangkan karena, menurut dia, Bob termasuk obligor yang cukup kooperatif. Dalam pandangan Ketua BPPN Putu Ary Suta, persoalan semacam itu membutuhkan ke-putusan pemerintah dan DPR secara menyeluruh. Karena itu, ia mengaku akan bicara dengan para "bos-bos besar". Putu sendiri mengaku akan mencari jalan yang menguntungkan kedua belah pihak seraya mengakui bahwa di masa lalu pemerintah memang sering bersikap tidak konsisten kepada pengutang BLBI.
Lain Bob, lain lagi Sjamsul Nursalim. Taipan pendiri kerajaan bisnis Gadjah Tunggal itu langsung menjawab surat BPPN dengan mengirim proposal restrukturisasi utang yang disusun konsultan Deloitte Touche Tohmatsu. Intinya, ia minta agar utang BLBI-nya yang sebesar Rp 27,495 triliun bisa dijadwal ulang selama 12 tahun dengan masa tenggang pembayaran (grace periode) selama dua tahun pertama.
Dalam periode itu, ia berjanji akan mem-bayar bunga yang besarnya berkisar 0,5-17 persen. Hebatnya, duit untuk membayar bunga itu menurut dia 90 persen berasal dari arus kas (cash flow) PT Tunas Sepadan Investama (TSI), yang terdiri atas dividen dari setiap perusahaan yang diambil alih pihak lain dan hasil penjualan aset lainnya. Adapun pokok utangnya baru akan dibayar pada tahun kesembilan sampai ke-12, masing-masing sebesar 15 persen, 15 persen, 30 persen, 30 persen.
Selain utang BLBI, Sjamsul juga mengajukan proposal untuk menyelesaikan masalah utang petambak Dipasena, Bank Dewa Rutji, dan dua perusahaan lain, yaitu Villa Desta dan Antap Alam. Sayang, belum diketahui bagaimana tanggapan balik BPPN atas tawaran Sjamsul yang cukup lugas itu. Kepada TEMPO, Putu mengaku pihaknya belum tahu ke mana perundingan MSAA dan MRA akan mengarah. Namun, yang jelas, menurut dia perlu ada keputusan dengan penyelesaian di tingkat yang lebih tinggi, "tidak bisa hanya di level BPPN, karena yang meneken perjanjian itu dulu tak cuma BPPN."
Nugroho Dewanto, Purwani Diyah Prabandari, Ecep Suwardani Yasa, Dewi Rina Cahyani
Status Pengembalian Kewajiban Pemegang Saham (per 31 Desember 1999) | ||||||
---|---|---|---|---|---|---|
Group | Bank/Status | Perjanjian | Tanggal Penutupan | Surat Berharga (dalam triliun Rp) | Holding Company | |
Pola | Tanggal | |||||
Sjamsul Nursalim | BDNI/BBO | MSAA | 21/09/98 | 25/05/99 | 27, 496 | PT Tunas Sepadan Investama |
Kaharudin Ongko | BUN/BBO | MRA | 18/12/98 | 22/12/99 | 8,348 | PT Arya Mustika Mulia Abadi |
Mohamad "Bob" Hasan | BUN/BBO | MSAA | 06/11/98 | 27/10/99 | 5,341 | PT Kiani Wirudha |
Samadikun Hartono | Modern/BBO | MRA | 18/12/98 | 09/07/99 | 2,664 | PT Cakrawala Gita Pratama |
Sudwikatmono | Surya/BBO | MSAA | 29/09/98 | 13/08/00 | 1,962 | |
Soedono Salim | BCA/BTO | MSAA | 21/09/98 | 21/09/98 | 52,627 | PT Holdiko Perkasa |
Usman Admadjaja | Danamon/BTO | MRA | 06/11/98 | 06/11/98 | 12,533 | PT Bentala Kartika Abadi |
Hokiarto | Hokindo/BBO | MRA | 23/04/99 | 04/07/00 | 339 | PT Horwarya Persada |
Ibrahim Risjad | RSI/BTO | MSAA | 04/06/99 | 04/06/99 | 332 | |
T O T A L | 111,643 | |||||
BBO = Bank Beku Operasi BTO = Bank Take-Over |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo