Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAK usah heran jika akhir-akhir ini solar sulit dicari. Diselundupkan atau ditimbun? Bukan. Biang keladi "kelangkaan" solar ternyata dari Pertamina sendiri. Perusahaan negara itu ternyata tengah melakukan pengetatan distribusi bahan bakar minyak. Pasokan bahan bakar minyak (BBM) ke stasiun pengisian bahan bakar umumbiasa disebut pom bensindibatasi. Tujuannya, mengerem laju konsumsi BBM yang sudah melampaui target. Harap maklum, dalam urusan BBM, jika permintaan pasar melonjak melampaui target, itu bukanlah prestasi yang patut disyukuri. Sebab, itu sama artinya dengan pembengkakan subsidi.
Meski penyaluran BBM ke masyarakat sudah dicekik, hingga akhir tahun nanti konsumsi BBM dipastikan tetap akan melebihi target yang ditetapkan dalam APBN 2001 sebesar 52,7 juta kiloliter. Sampai Agustus lalu saja, angka konsumsi sudah mencapai 37,28 juta kiloliter atau 71 persen dari jatah yang diproyeksikan. Angka itu berarti empat persen di atas ambang yang dipatok. Nah, sampai akhir tahun, Pertamina memprediksi angka konsumsi BBM bakal menembus angka 54,5 juta kiloliter.
Melambungnya angka konsumsi BBM inilah yang Selasa pekan lalu menghangatkan rapat kerja Komisi VIII DPRI dengan direksi Pertamina. Persoalannya, Pertamina meminta pemerintah menyiapkan tambahan subsidi BBM sebesar Rp 1,8 triliun untuk pengadaan 1,8 juta kiloliter BBM.
Pemerintah sudah barang tentu keberatan. Untuk tahun anggaran 2001 ini, pemerintah sudah mengalokasikan Rp 52,7 triliun untuk subsidi BBM. Kalau harus menambah lagi, berat rasanya. Bukan apa-apa, untuk menutupi defisit APBN 2001 sekitar Rp 54 triliun saja pemerintah sudah kehabisan napas.
Karena itu, pemerintah balik meminta agar Pertamina bersedia menanggung beban ke-lebihan konsumsi itu. Alasannya, kelebihan itu adalah kesalahan Pertamina, yang tidak efesien dalam penyaluran serta tidak bisa mencegah penyelundupan BBM ke luar negeriyang tetap saja marak karena harga BBM Indonesia sampai saat ini masih paling murah di antara negara-negara ASEAN (lihat tabel). Sejatinya, inilah kesepakatan antara pemerintah, Pertamina, dan Komisi Anggaran DPR RI saat menyusun revisi anggaran tahun 2001, Mei lalu.
Namun, Pertamina menolak pembebanan itu. Bahkan Direktur Utama Pertamina, Baihaki Hakim, menyatakan lebih baik Pertamina menghentikan produksi BBM daripada menanggung beban kelebihan konsumsi itu. Pertamina tidak mau disalahkan dalam hal ini. Sebab, dalam penetapan target itu, pemerintah dan DPR yang menentukan, sementara asumsi yang dibuat oleh Pertamina tidak diperhatikan.
Menurut Direktur Hulu Pertamina, Muchsin Bahar, ketika penyusunan APBN 2001 lalu, Pertamina memasukkan angka konsumsi BBM sebesar 56,1 juta kiloliter. Angka itu diperoleh dari realisasi konsumsi tahun 2000 sebesar 52 juta kiloliter plus asumsi pertumbuhan 4 persen. Namun, ketika itu Komisi VIII menolak angka tersebut. Alasannya, lebih-kurang 5 juta kiloliter dari konsumsi itu diperkirakan dilarikan ke luar negeri, serta Pertamina tidak efisien dalam menyalurkan BBM. Karenanya, konsumsi BBM tahun 2001 ditetapkan 51,6 juta kiloliter. "Kita tetapkan angka itu maksudnya agar Pertamina efisien dan menertibkan penyelundupan," kata Ketua Komisi VIII DPR RI, Irwan Prayitno.
Namun, ketika dilakuan revisi APBN 2001 pada Mei lalu, Departemen Keuangan menolak angka itu. Jika angka itu tetap dipakai, Departemen Keuangan ketika itu menyatakan tidak mau membayar subsidi kelebihan konsumsi BBM. Karena itu, Pertamina diminta untuk mengajukan lagi asumsi baru. Pertamina pun mengajukan angka lebih-kurang 54 juta kiloliter. Tetapi, karena menurut survei Sucofindo 30 persen dari BBM adalah bagian dari kebocoran, angka pengajuan Pertamina pun dipangkas lagi hingga menjadi 52,7 juta kiloliter. Angka inilah yang kemudian dijadikan patokan untuk subsidi BBM tahun 2001. Jika lebih dari itu, kembali Departemen Keuangan menyatakan tidak mau membayarnya.
Dalam pandangan pengamat minyak dan gas, Kurtubi, keputusan pemerintah tidak mau menanggung beban subsidi akibat kelebihan konsumsi BBM adalah hal yang aneh. Apalagi, angka yang dijadikan patokan konsumsi BBM itu tidak memperhatikan pertumbuhan konsumsi masyarakat. Menurut dia, dalam teori ekonomi perminyakan, sekecil apa pun pertumbuhan ekonomi suatu negara pasti berimplikasi pada tumbuhnya konsumsi BBM di negeri itu. Tahun 2000 lalu, ekonomi Indonesia tumbuh sekitar 4,8 persen. "Maka, sangat wajar jika konsumsi BBM masyarakat juga tumbuh," katanya.
Menurut Kurtubi, penambahan subsidi adalah beban pemerintah. "Pemerintah bisa memakai windfall profit (keuntungan dari harga minyak yang lebih besar dari asumsi APBN)," kata Kurtubi. Pertamina, tutur Kurtubi, tidak bisa menanggung beban itu. Sebab, perusahaan minyak pelat merah ini hanya menjalankan order dari pemerintah. Dan, menurut Muchsin, dari pekerjaan pengadaan BBM itu Pertamina hanya mengutip US$ 0,06 per barel. "Kalau pendapatannya untuk menutup kekurangan subsidi, ya, bisa tutup Pertamina," kata Muchsin.
Hartono
Penyelundupan tetap akan marak akibat lebih rendahnya harga BBM di pasar domestik dibanding harga di negeri jiran. Data dari Kementerian Keuangan Malaysia yang dilansir pada Oktober 2000 menunjukkan harga BBM di Indonesia memang paling murah se-ASEAN (sebelum kenaikan harga BBM April lalu).
Negara | Harga Bensin per Liter (US$) | Harga Solar per Liter (US$) |
Indonesia | 0,124 | 0,055 |
Malaysia | 0,318 | 0,185 |
Singapura | 0,872 | v0,387 |
Thailand | 0,403 | 0,350 |
Filipina | 0,279 | 0,291 |
Brunei | 0,307 | 0,181 |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo