Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kutipan & Album

Ijazah Palsu, Siapa Mau

8 Juni 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HEBOH sekitar ijazah palsu bukan kali ini terjadi. Para pencetak ijazah bodong ini muncul begitu industri dan publik menempatkan gelar penyandangnya dengan status sosial terhormat. Sebab, di kalangan masyarakat yang kian hedonis ini, banyak titel diyakini bisa mendatangkan banyak rezeki.

Majalah Tempo edisi 19 Agustus 1978 mengulasnya. Ketika itu Departemen Luar Negeri meneliti ijazah karyawannya, yang 13 di antaranya ternyata berijazah palsu. Departemen Perdagangan dan Koperasi kemudian mengikuti jejak Departemen Luar Negeri.

Mula-mula tersiar kabar tentang kericuhan dalam tubuh Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Jakarta. Di antaranya menyangkut jual-beli ijazah. Bukan ijazah yang dipalsukan, melainkan ijazah asli yang diperjualbelikan.

Soal Untag belum selesai, muncul berita tentang pemalsuan ijazah Universitas Jayabaya, juga di Jakarta. Heboh ini menyebabkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef menyatakan bahwa kecenderungan yang memalukan itu tak lain karena selama ini orang masih mengandalkan selembar kertas bernama ijazah dan kurang memperhatikan prestasi.

Tapi Mayor Jenderal A.E. Manihuruk, 54 tahun, Kepala Badan Administrasi Kepegawaian Negara, menyatakan penerimaan pegawai negeri dengan mendasarkan pada ijazah tidak bisa disalahkan. "Bukan peraturannya yang salah. Tapi kalau ada orang yang tak berhak memiliki ijazah, apalagi palsu, itulah yang harus ditindak," katanya.

Menurut peraturan pemerintah yang baru, Nomor 16 Tahun 1976, untuk penerimaan pegawai negeri memang didasarkan pada ijazah. Tapi, pada peningkatan jenjang karier selanjutnya, prestasi dan konduite lebih memegang peranan.

Peraturan itu antara lain menyebutkan pegawai yang kemudian ternyata menggunakan surat keterangan tidak benar bisa diberhentikan tidak dengan hormat. Soalnya, ketika peraturan itu disusun, kabarnya sudah tercium adanya penggunaan ijazah palsu, meski belum terbukti.

Sampai akhir Maret 1978, dari sekitar 1,8 juta pegawai negeri, terdapat 98 ribu orang bergelar sarjana muda (termasuk akademi) dan 54 ribu bergelar sarjana penuh. Sudah berapa yang ketahuan berijazah palsu? "Sampai sekarang laporannya belum masuk," ucap Manihuruk.

Manihuruk sendiri baru menganjurkan kepada semua departemen untuk meneliti kembali semua ijazah pegawai negeri-dengan prioritas ijazah sekolah lanjutan tingkat atas dan sarjana. Menurut dia, penelitian itu akan memakan waktu lama.

Meski begitu, ia menyebutkan bahwa meneliti ijazah bukan pekerjaan sulit. Misalnya kapan seseorang berkuliah, kapan jadi sarjana muda, kapan jadi sarjana penuh, dan apa tesisnya. "Selain itu, kan bisa dicek dalam buku induk setiap fakultas," ujarnya. "Jadi Opstib untuk sementara ini tak perlu turun tangan," dia menambahkan sembari tertawa.

Tapi Manihuruk tak menutup kemungkinan adanya semacam kerja sama antara pemegang ijazah dan fakultas atau perguruan tinggi yang bersangkutan. "Nah, kalau sudah begini, ya sulit," katanya. "Bagi saya, pokoknya ada pengesahan dari Kopertis (Koordinator Perguruan Tinggi Swasta)-untuk ijazah dari perguruan tinggi swasta," dia menambahkan.

Bagi Manihuruk, pengertian ijazah palsu ialah ijazah yang sebenarnya tidak berhak dipakai seseorang. Orang itu mendapatkannya mungkin dengan cara membeli ijazah yang dipalsukan orang lain, memalsukan sendiri, atau membeli ijazah asli. Dalam hal terakhir, tentu ada kerja sama dengan fakultas atau perguruan tinggi yang bersangkutan.

Yang belakangan itu, pembeli ijazah, menurut Kepala Dinas Penerangan Kepolisian RI Kolonel Darmawan, sulit dipidana, meski tak mustahil bisa dibuktikan. Pasal-pasal penyuapan (Pasal 209 dan 210 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) sulit dituduhkan kepada pimpinan universitas swasta. Sebab, pasal itu hanya berlaku bagi pegawai negeri, personel Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, dan hakim.

Kepolisian ternyata sudah lama menangani kasus ijazah palsu. "Tapi waktu itu sifatnya masih sporadis. Ada di beberapa tempat: Jakarta, Banjarmasin, Padang, Surabaya," kata Darmawan.

"Industri ijazah palsu" bisa menghasilkan uang besar-selembar bisa mencapai Rp 300 ribu. Tapi sang pembeli-buat sementara dan kalau tidak ketahuan-bisa pula menikmati fasilitas lumayan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus