FILIPINA kembali dilanda demonstrasi. Ribuan buruh berkumpul memenuhi jalan-jalan raya, begitu pemimpin mereka -- Rolando Olalia -- tewas diberondong peluru. Belum terang kasus ini diungkap, muncul peristiwa penculikan pengusaha Jepang. Filipina geger lagi? "Ah, tidak," kata Isma Sawitri, yang beberapa hari sebelum tewasna Rolando sudah berada di negeri Aquino itu. Isma, yang sudah akrab dengan masyarakat Filipina (ketika pecah revolusi damai Cory Aquino ia juga di sana), mengutip ucapan seorang petugas bandara, "Nggak ada apa-apa." Tentang perselisihan antara Cory dan Enrile? "Itu cuma salah paham kecil." Tentu saja, Isma tak cuma bicara dengan petugas lapangan terbang. Ia juga mewawancarai beberapa tokoh yang cukup berperan. Misalnya, kali ini, Arno Sanidad, pengacara yang mendampingi NDF di meja perundingan dengan pihak pemerintah Letjen (pur) Rafael Ileto, deputi menhani Butz Aquino, adik kandung Benigno yang terbunuh. "Dia yang paling terbuka," kesan Isma. Wawancara diadakan di sebuah klub di daerah mewah Greenhills. Dibanding dulu, ketika Isma meliput revolusi yang melemparkan Cory ke puncak itu, ada perbedaan suasana metropolitan Manila sekarang ini. "Dulu rakyat terlihat benar-benar satu dan merasa senasib menghadapi musuh besar bersama: Marcos. Suasana itu sekarang tak lagi tampak: terpecah-pecah, ada kelompok kaum kiri, ada pula kelompok pendukung Cory yang tetap dengan pakaian kuningnya. Sementara itu, para simpatisan Marcos berkumpul di tempat lain." Isma sempat menghadiri rapat akbar di Liwasang Bonifacio, lapangan tak begitu besar di depan kantor pos Manila. Ini rapat mendukung konstitusi baru yang diadakan Partai Baru (Lakas Ang Bansa), partai Cory. Tentu saja, semua orang berbaju kuning, kecuali Isma. Yang menarik, massa rakyat memukul-mukul tambur. "Rupanya, mereka terbiasa juga dengan tanjidor," kata wartawati Anda ini lewat telepon. Telepon? Tentu. Untuk menyiarkan laporan utama di negeri yang diperintah presiden wanita ini, Isma bolak-balik menelepon dan ditelepon. Yang menjadi pasangannya di Jakarta, dari lantai atas Gedung TEMPO di Kuningan, adalah Didi Prambadi. Ia koordinator Biro Koresponden Luar Negeri yang juga biasa menulis berita-berita untuk rubrik yang sama. Didi pulalah yang dikontak dan kemudian mengontak Seiichi Okawa, orang TEMPO di Tokyo. Dan dari Okawa banyak diperoleh bahan -- bukan hanya tentang pengusaha Jepang yang diculik itu, tapi juga hubungan Jepang dengan Filipina. Bukankah Cory baru saja pulang dari tanah air Okawa-san ? Akan halnya Okawa kita ini yang lebih kami sukai memanggilnya dengan Borwa-san, nama yang didapatnya di pedalaman Irian Jaya sepuluh tahun lalu -- ia pun tak asing dengan negeri para Filipino: sudah berkali-kali ditugasi ke Filipina, juga tatkala Marcos tumbang dan Cory naik. Adalah Borwa-san yang pernah mewawancarai Rolando Olalia, dan sebagian wawancaranya dulu itu kali ini kami muat kembali. Jika untuk Denulisan ini Okawa tetap di posnya di Tokyo, bukan apa-apa soalnya, seperti kata Isma, Manila masih tergolong "aman" -- walau, memang, di depan kamp Aguinaldo ada sebuah poster besar bertuliskan Red Alert, yang berarti "siaga penuh". Di Jakarta, tentu saja, ada orang yang juga siaga penuh. Dia Susanto Pudjomartono, di kamp Kuningan. Bersama James R. Lapian, ia merakit-rakit masukan yang susul-menyusul datang dari Manila dan Tokyo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini