Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Pemerintah menyiapkan dana rp 7,9 milyar guna membasmi hama wereng coklat. sudah 50.000 hektar padi di ja-teng, ja-bar, yogyakarta dan sum-ut dilaporkan rusak. adanya hama diketahui sejak 1984. (nas)

22 November 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERANG terhadap hama wereng cokelat masih terus digencarkan. Dan tak tanggung-tanggung, kendati ekonomi masih tampak sulit, pemerintah menyiapkan dana sekitar Rp 7,9 milyar guna membasmi hama celaka itu. Sudah 50.000 hektar lebih padi di Jawa Tengah, Jawa Barat, DI Yogyakarta, dan Sumatera Utara dilaporkan rusak akibat wereng tadi. Maka, wajar kalau kemudian orang mulai menduga, ia akan menurunkan produksi beras yang sebelumnya disasarkan bisa mencapai hampir 27 juta ton tahun ini. Adalah Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional Prof. J.B. Sumarlin, di antaranya, sempat memperkirakan akan berkurangnya produksi beras itu. Untunglah, kemungkinan jelek itu tak terjadi. Sebab, usai menghadap Presiden Senin pekan ini di Binagraha, Jakarta, Menteri Pertanian Affandi dan Menteri Muda Urusan Peningkatan Produksi Pangan Wardoyo, membantahnya. "Produksi beras kita tak terganggu karena hama wereng. Ya, seperti diperkirakan sebelumnya, jumlahnya tetap di atas produksi tahun lalu," ujar Menmud Wardoyo. Jumlah produksi beras tahun ini dicanangkan 0,62% lebih besar dari tahun lalu. Affandi dan Wardoyo memang datang ke Binagraha untuk melaporkan hasil peninJauan mereka atas pelaksanaan pemberantasan hama wereng di seputar daerah Ja-Teng, DIY, dan Ja-Bar. Kedua pejabat tinggi ini memang termasuk yang paling sibuk sejak diumumkannya langkah pembasmian hama ganas itu. Tak seperti biasa, dalam kasus malapetaka yang sempat menyebabkan pemerintah lewat Inpres nomor 3 tahun 1986 -- melarang pemakaian 57 jenis insektisida untuk padi itu, Menmud Wardoyo yang lebih kerap tampil sebagai juru bicara. Bahkan Wardoyo juga sebelumnya yang pertama kali melansir kemungkinan meluasnya serangan hama wereng sebelum keluar pengumuman resmi pemerintah. Pelbagai dugaan memang bermunculan atas perubahan yang tak biasa itu. Mengapa penjelasan tentang hama wereng itu kali ini tak disampaikan langsung oleh Menteri Affandi? Kepada Ria Sesana dari TEMPO, yang menceatnya Senin pekan ini di kantornya, Affandi sambil tersenyum cerah menjawab, "Ah, sama saja. Bidangnya sama. Pembagian pekerjaan, 'kan biasa." Bisa jadi memang benar begitu. Tapi, yang kini masih jadi pertanyaan mengapa penJelasan Wardoyo, misalnya, disampaikan setelah hama wereng itu merusakkan puluhan ribu hektar padi. Apakah informasi terlambat diterima? Affandi sempat membenarkan. Tapi kemudian cepat menukas, "Tapi, tidak terlambat sekali." Ia tak merinci lebih jelas maksudnya. Namun, sebuah sumber menyebutkan, informasi tentang mulai merambatnya hama wereng cokelat yang biasa disebut masuk jenis biotipe II itu, sebenarnya sudah diketahui sejak Oktober 1984. Di antaranya, seorang staf peneliti hama di UGM, Yogyakarta, umpamanya, pada awal 1985, sempat melaporkan secara tertulis apa yang ditemukannya di daerah Sleman, Yogyakarta, itu kepada Departemen Pertanian. Namun, entah mengapa, operasi pemberantasan tak begitu digalakkan. Padahal, menurut catatan Dinas Pertanian Tanaman Pangan yang dikutip Kompas, sampai Juli saja sudah diketahui bahwa serangan hama wereng telah mencapai 1.709 hektar. Dengan kecepatan menyebar, menurut Menteri Pertanian, mencapai 1.000 hektar semalam, bisa dibayangkan hama ini jadi meluas sampai September lalu hingga ke Sumatera Utara. Karena itu, tak heran, kalau Menteri Sumarlin terus terang mengaku pada Agus Sigit dari TEMPO, "Kali ini kita kalah cepat dan terlambat." Di mana kesalahannya hingga bisa begitu, dia mengaku tak tahu. "Namun, benar informasi tentang adanya serangan wereng itu memang terlambat datangnya," ujar Sumarlin. Dia juga tampak agak menyesalkan laporan daerah yang kurang mencirikan keadaan yang sesungguhnya. "Sawah yang diserang luas, tapi dilaporkan hanya sedikit," tutur Sumarlin lagi. Ia tak mau menyebut persis di tingkat mana laporan yang tidak benar itu terjadi. Tapi ia yakin, "Kalau petaninya sendiri tentu melaporkan apa adanya." Namun, seperti sudah sama-sama diketahui dari petani tadi, laporan itu masih harus bertingkat-tingkat ke atas: ada PPL, pengamat hama, lurah, camat, baru aparat Departemen Pertanian di daerah, sebelum sampai ke pusat. Repotnya, tak semua aparat suka menceritakan suatu kejadian yang mereka tahu tak bakal menyenangkan atasan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus