TIGA kilometer dari kota kecamatan Tanjung Tiram, Kabupaten
Asahan, di tengah-tengah rerumputan liar dan timbunan pepohonan
tak terpelihara, terdapat sebuah bangunan tua yang nyaris
roboh. Itulah bekas istana Datuk Limalaras. Bertingkat dua
dengan luas. 40 x 60 meter, bangunan tersebut berdiri di atas
tanah seluas 100 x 150 meter. Terdiri dari 8 kamar tidur buat
keluarga istana, 4 kamar tidur bagi para tamu, sebuah balairung
6 x 12 meter di lantai pertama, dua ruangan di lantai atas dan 6
buah anjung peranginan serta lainnya. Ini membuktikan betapa
megah dan semaraknya istana tersebut di masa-masa jayanya. Dan
bisa dibayangkan bahwa pemiliknya tentulah orang yang cukup
berkuasa.
Syahdan kerajaan Limalaras yang diperintah seorang Datuk
(artinya raja) meliputi kawasan Kecamatan Tanjung Tiram, Air
Putih, Kecamatan Lima Puluh dan Medang Deras, Kabupaten Asahan,
Sumatera Utara sekarang. Kawasan itu dikenal dengan sebutan
daerah Batu-bara, sesuai dengan nama suku asli yang menghuni
kawasan tersebut. Konon suku Batubara ini berasal dari Kerajaan
Pagaruyung Minangkabau, Sumaera Barat. Yang datang ke sana
karena merantau atau melarikan diri ketika pecah perang Paderi.
Kemudian kaum pendatang ini berbaur dengan suku Aceh dan Melayu
yang datang ke sana belakangan.
Sampai tahun 1669 daerah ini berada di bawah taklukan Kerajaan
Aceh. Lalu takluk pada Kerajaan Siak yang waktu itu mulai
melebarkan kekuasaannya sampai ke Kerajaan Johor di Semenanjung
Malaka. Tapi lama kelamaan pengaruh Melayunya lebih kentara,
hingga sekarang ini ciri-ciri suku Minangkabau tak terlihat
lagi. Yang menonjol di sana ialah adat istiadat Melayu dan
tatacara yang dipengaruhi hukum lslam.
Markas ALRI
Dari tambo suku Batubara atau Kerajaan Limalaras ini yang sampai
sekarang tersimpan rapi di tangan ahli warisnya yang masih
hidup dapat dilihat bahw Datuk Cek Ajung adalah raja pertama
memerintah di Kerajaan Limalaras. Sampai generasi ke 11 di bawah
Datuk Mat Yuda, Kerajaan Limalaras masih mengenggam kedaulatan.
Tapi mulai Datuk A. Grani, keturunan yang ke 12, yang kuasa
sepeninggal Datuk Mat Yuda tahun 1919, kerajaan Limalaras
kehilangan pamornya, karena Datuk A. Grani ini konon tak
disenangi Belanda lantaran ia berjiwa kerakyatan. Hingga
penobatannya pun tak "direstui" Belanda. Bahkan Belanda
mengangkat raja tandingan dari Suku Bogak yang memerintah
kerajaan Suku Dua, bagian wilayah Limalaras yang dipenggal
Belanda.
Lantaran pengaruh Kerajaan Limalaras yang makin merosot itu?
keadaan istana itu pun jadi memburuk karena kurang perawatan.
Pada tahun 1945 di saat-saat panasnya revolusi kemerdekaan,
Datuk Limalaras menyerahkan istananya buat Markas Angkatan Laut
RI. Seluruh keluarga raja pun meninggalkan istana tersebut. Dan
baru kembali menempatinya setelah masa penyerahan kedaulatan.
Tapi keadaannya sudah amat parah. Atap gentingnya banyak yang
rontok dan dinding serta peralatan lainnya sudah lapuk. Bisa
dimaklumi: di masa revolusi orang tak sempat mengurusi perawatan
itu istana. Hingga tak lama bisa ditempati karena akhirnya
keluarga raja khawatir itu istana roboh dan menimpa mereka.
Terlambat?
Memang malang nasib istana yang berciri khas Asahan dan konon
satu-satunya benda peninggalan kebudayaan daerah sana. Padahal
istana yang idea dan pelaksanaan pembangunannya diawasi
langsung Datuk Mat Yuda sendiri dan dibangun memakan waktu 8
tahun (selesai tahun 19l8) itu menghabiskan uang 112.000 gulden.
Dan konon ilham pembuatannya timbul tatkala Datuk Mat Yuda yang
terkenal sebagai pedagang kaya dan pencinta seni itu berkunjung
ke Semenanjung Malaka dan terpesona oleh keindahan istana-istana
di sana. Dan sebagai pencinta seni tak hanya istana yang
dibangunnya tapi juga ia membentuk grup kesenian bernama Mak
Iyung. Yang populer bukan saja di istana tapi juga di kalangan
rakyat jelata karena rombongan kesenian istana terebut tak
segan-segan tampil dalam pesa-pesta rakyat atas perintah sang
Datuk. "Burung Putih" sebuah lagu rakyat yang sampai kini masih
digemari khalayak ramai itu konon adalah ciptaan Datuk Mat Yuda
sendiri dan sering dibawakan rombongan keseniannya.
Masihkah nasib malangnya bisa dirobah? "Istana itu tak sampai
30% lagi yang terbilang utuh", tulis Amran Nasution, pembantu
TEMPO di Kisaran yang awal Januari lalu mengunjunginya. Anjung
peranginannya semua sudah rontok, bahan-bahan bangunannya
mengonggok di kiri kanannya. Kantor pemerintahan Datuk Limalaras
di samping kanan istana sudah lenyap. Sedang jendela-jendelanya
yang dari kaca tinggal rangka. Yang masih bertahan hanyalah
--pilar-pilarnya karena terbuat dari beton. Apalagi lantai dua
istana tak mungkin bisa dinaiki lagi, meskipun tangga
berputarnya yang sudah rapuh masih berdiri di sana.
Pernah terfikir akan dipugar? "Usul untuk memugarnya terlambat",
tutur Cholil Sulaiman BA Kepala Seksi Kebudayaan Kantor
Departemen P dan K Asahan. Menurut Cholil menjelang konperensi
PATA kemarin, Pemda Asahan sudah kasak-kusuk bahkan memajang
model bangunan istana itu di Stand Pemda di Arena Medan Fair.
Maksudnya agar istana itu kecipratan manfaat PATA. "Dipromosikan
agar dapat biaya buat memugarnya". Hasilnya? Ternyata tak
beruntung. Karena menurut Cholil terjadi semacam percekcokan
dengan para ahli waris. Begini ceritanya.
Diukur-ukur
Karena buat menyalurkan uang biaya pemugaran diperlukan sebuah
Yayasan, dibentuklah badan hukum tersebut. Tapi anggotanya
ternyata terdiri dari para ahli waris saja. "Padahal", tutur
Cholil Sulaiman, "dalam yayasan tersebut harus duduk orang
pemerintahan sebagai syarat". Alasan para ahli waris menurut
Cholil, mereka khawatir uang yang akan dilimpahkan sebagian
jatuh ke tangan orang lain. Betulkah begitu'? "Tidak
betul",bantah Datuk A. Azmlsyah, salah seorang ahli waris yang
tinggal di Kisaran dan bekerja sebagai wartawan. Yang betul
menurut Azmansyah: memang telah dibentuk di Medan sebuah Yayasan
dengan diketuai Datuk Abdul Jamil, ahli waris tertua yang masih
hidup. Dan memang tak seorangpun dari kalangan pemerintah yang
menjadi anggotanya seperti dikatakan Cholil Sulaiman. Karena
memang sesuai dengan saran drs. Eka Siahaan, Kepala Kantor
Pembinaan Permuseuman Departemen P & K Sumatera Utara.
Bagi Azmansyah, duduk tidaknya orang pemerintah dalam yayasan
tak jadi soal: "Bahkan kalau terpaksa harus dibentuk PT-pun
kami oke saja", tukas Azmansyah. "Kalau sekarang sudah
terlambat", jawab Cholil Sulaiman lagi, "karena PATA sudah
berlalu". Yang terlihat oleh Sulaiman ialah "mengusulkannya pada
Pemerintah Pusat dalam hal ini Departemen P dan K melalui
perwakilan P dan K Sumatera Utara". Tapi ini pun menurut
Sulaiman harapan amat tipis karena "jalurnya amat berbelit. Juga
harus ada yayasan yang memenuhi syarat tadi. Harus ditungu
istana itu rubuh? "Saya kurang jelas", jawab Cholil Sulaiman
sembari angkat bahu. Dan orang ingat 2 tahun lalu pernah DPU
Asahan mengukur-ukur itu istana. Tapi setelah itu tak ada
kegiatan lannjut apa-apa. Sang istana pun tetap bernasib
malang. Entah sampai kapan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini