Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Istana datuk limalaras yang malang

Istana datuk limalaras di kabupaten asahan rusak berat th 1945 istana ini dipakai markas angkatan laut ri. pernah ada usul memugarnya, namun timbul sengketa antara ahli waris panitia pemugaran. (ils)

21 Februari 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TIGA kilometer dari kota kecamatan Tanjung Tiram, Kabupaten Asahan, di tengah-tengah rerumputan liar dan timbunan pepohonan tak terpelihara, terdapat sebuah bangunan tua yang nyaris roboh. Itulah bekas istana Datuk Limalaras. Bertingkat dua dengan luas. 40 x 60 meter, bangunan tersebut berdiri di atas tanah seluas 100 x 150 meter. Terdiri dari 8 kamar tidur buat keluarga istana, 4 kamar tidur bagi para tamu, sebuah balairung 6 x 12 meter di lantai pertama, dua ruangan di lantai atas dan 6 buah anjung peranginan serta lainnya. Ini membuktikan betapa megah dan semaraknya istana tersebut di masa-masa jayanya. Dan bisa dibayangkan bahwa pemiliknya tentulah orang yang cukup berkuasa. Syahdan kerajaan Limalaras yang diperintah seorang Datuk (artinya raja) meliputi kawasan Kecamatan Tanjung Tiram, Air Putih, Kecamatan Lima Puluh dan Medang Deras, Kabupaten Asahan, Sumatera Utara sekarang. Kawasan itu dikenal dengan sebutan daerah Batu-bara, sesuai dengan nama suku asli yang menghuni kawasan tersebut. Konon suku Batubara ini berasal dari Kerajaan Pagaruyung Minangkabau, Sumaera Barat. Yang datang ke sana karena merantau atau melarikan diri ketika pecah perang Paderi. Kemudian kaum pendatang ini berbaur dengan suku Aceh dan Melayu yang datang ke sana belakangan. Sampai tahun 1669 daerah ini berada di bawah taklukan Kerajaan Aceh. Lalu takluk pada Kerajaan Siak yang waktu itu mulai melebarkan kekuasaannya sampai ke Kerajaan Johor di Semenanjung Malaka. Tapi lama kelamaan pengaruh Melayunya lebih kentara, hingga sekarang ini ciri-ciri suku Minangkabau tak terlihat lagi. Yang menonjol di sana ialah adat istiadat Melayu dan tatacara yang dipengaruhi hukum lslam. Markas ALRI Dari tambo suku Batubara atau Kerajaan Limalaras ini yang sampai sekarang tersimpan rapi di tangan ahli warisnya yang masih hidup dapat dilihat bahw Datuk Cek Ajung adalah raja pertama memerintah di Kerajaan Limalaras. Sampai generasi ke 11 di bawah Datuk Mat Yuda, Kerajaan Limalaras masih mengenggam kedaulatan. Tapi mulai Datuk A. Grani, keturunan yang ke 12, yang kuasa sepeninggal Datuk Mat Yuda tahun 1919, kerajaan Limalaras kehilangan pamornya, karena Datuk A. Grani ini konon tak disenangi Belanda lantaran ia berjiwa kerakyatan. Hingga penobatannya pun tak "direstui" Belanda. Bahkan Belanda mengangkat raja tandingan dari Suku Bogak yang memerintah kerajaan Suku Dua, bagian wilayah Limalaras yang dipenggal Belanda. Lantaran pengaruh Kerajaan Limalaras yang makin merosot itu? keadaan istana itu pun jadi memburuk karena kurang perawatan. Pada tahun 1945 di saat-saat panasnya revolusi kemerdekaan, Datuk Limalaras menyerahkan istananya buat Markas Angkatan Laut RI. Seluruh keluarga raja pun meninggalkan istana tersebut. Dan baru kembali menempatinya setelah masa penyerahan kedaulatan. Tapi keadaannya sudah amat parah. Atap gentingnya banyak yang rontok dan dinding serta peralatan lainnya sudah lapuk. Bisa dimaklumi: di masa revolusi orang tak sempat mengurusi perawatan itu istana. Hingga tak lama bisa ditempati karena akhirnya keluarga raja khawatir itu istana roboh dan menimpa mereka. Terlambat? Memang malang nasib istana yang berciri khas Asahan dan konon satu-satunya benda peninggalan kebudayaan daerah sana. Padahal istana yang idea dan pelaksanaan pembangunannya diawasi langsung Datuk Mat Yuda sendiri dan dibangun memakan waktu 8 tahun (selesai tahun 19l8) itu menghabiskan uang 112.000 gulden. Dan konon ilham pembuatannya timbul tatkala Datuk Mat Yuda yang terkenal sebagai pedagang kaya dan pencinta seni itu berkunjung ke Semenanjung Malaka dan terpesona oleh keindahan istana-istana di sana. Dan sebagai pencinta seni tak hanya istana yang dibangunnya tapi juga ia membentuk grup kesenian bernama Mak Iyung. Yang populer bukan saja di istana tapi juga di kalangan rakyat jelata karena rombongan kesenian istana terebut tak segan-segan tampil dalam pesa-pesta rakyat atas perintah sang Datuk. "Burung Putih" sebuah lagu rakyat yang sampai kini masih digemari khalayak ramai itu konon adalah ciptaan Datuk Mat Yuda sendiri dan sering dibawakan rombongan keseniannya. Masihkah nasib malangnya bisa dirobah? "Istana itu tak sampai 30% lagi yang terbilang utuh", tulis Amran Nasution, pembantu TEMPO di Kisaran yang awal Januari lalu mengunjunginya. Anjung peranginannya semua sudah rontok, bahan-bahan bangunannya mengonggok di kiri kanannya. Kantor pemerintahan Datuk Limalaras di samping kanan istana sudah lenyap. Sedang jendela-jendelanya yang dari kaca tinggal rangka. Yang masih bertahan hanyalah --pilar-pilarnya karena terbuat dari beton. Apalagi lantai dua istana tak mungkin bisa dinaiki lagi, meskipun tangga berputarnya yang sudah rapuh masih berdiri di sana. Pernah terfikir akan dipugar? "Usul untuk memugarnya terlambat", tutur Cholil Sulaiman BA Kepala Seksi Kebudayaan Kantor Departemen P dan K Asahan. Menurut Cholil menjelang konperensi PATA kemarin, Pemda Asahan sudah kasak-kusuk bahkan memajang model bangunan istana itu di Stand Pemda di Arena Medan Fair. Maksudnya agar istana itu kecipratan manfaat PATA. "Dipromosikan agar dapat biaya buat memugarnya". Hasilnya? Ternyata tak beruntung. Karena menurut Cholil terjadi semacam percekcokan dengan para ahli waris. Begini ceritanya. Diukur-ukur Karena buat menyalurkan uang biaya pemugaran diperlukan sebuah Yayasan, dibentuklah badan hukum tersebut. Tapi anggotanya ternyata terdiri dari para ahli waris saja. "Padahal", tutur Cholil Sulaiman, "dalam yayasan tersebut harus duduk orang pemerintahan sebagai syarat". Alasan para ahli waris menurut Cholil, mereka khawatir uang yang akan dilimpahkan sebagian jatuh ke tangan orang lain. Betulkah begitu'? "Tidak betul",bantah Datuk A. Azmlsyah, salah seorang ahli waris yang tinggal di Kisaran dan bekerja sebagai wartawan. Yang betul menurut Azmansyah: memang telah dibentuk di Medan sebuah Yayasan dengan diketuai Datuk Abdul Jamil, ahli waris tertua yang masih hidup. Dan memang tak seorangpun dari kalangan pemerintah yang menjadi anggotanya seperti dikatakan Cholil Sulaiman. Karena memang sesuai dengan saran drs. Eka Siahaan, Kepala Kantor Pembinaan Permuseuman Departemen P & K Sumatera Utara. Bagi Azmansyah, duduk tidaknya orang pemerintah dalam yayasan tak jadi soal: "Bahkan kalau terpaksa harus dibentuk PT-pun kami oke saja", tukas Azmansyah. "Kalau sekarang sudah terlambat", jawab Cholil Sulaiman lagi, "karena PATA sudah berlalu". Yang terlihat oleh Sulaiman ialah "mengusulkannya pada Pemerintah Pusat dalam hal ini Departemen P dan K melalui perwakilan P dan K Sumatera Utara". Tapi ini pun menurut Sulaiman harapan amat tipis karena "jalurnya amat berbelit. Juga harus ada yayasan yang memenuhi syarat tadi. Harus ditungu istana itu rubuh? "Saya kurang jelas", jawab Cholil Sulaiman sembari angkat bahu. Dan orang ingat 2 tahun lalu pernah DPU Asahan mengukur-ukur itu istana. Tapi setelah itu tak ada kegiatan lannjut apa-apa. Sang istana pun tetap bernasib malang. Entah sampai kapan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus