Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Surat Pembaca

Izin Kesenian Melanggar Undang-Undang

3 Oktober 1998 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Salah satu berkah tumbangnya Orde baru adalah diperolehnya kembali "kesadaran yang terlambat" soal politik perizinan. Dulu, "surat izin" atau minimal "surat pemberitahuan" menjadi semacam jimat untuk pentas kesenian. Tanpa jimat itu, aparat suka mencari gara-gara: membatalkan, menyetop, mengutip ongkos transpor, atau bahkan melakukan pelarangan. Tak mengherankan jika pekerja kesenian, juga penyelenggara acara diskusi, seminar, dan sebagainya, ketika itu mesti rela terbungkuk-bungkuk mohon izin dan menyediakan diri kelelahan melewati 9 sampai 13 meja birokrasi sambil menyetor upeti buat penjaga meja.

Padalah, semestinya semua itu tak perlu terjadi. Pada 1995 rupanya telah ada landasan hukum yang sangat kuat yang tidak mengharuskan ada izin dan pemberitahuan untuk acara pementasan kesenian, diskusi, seminar, pertemuan politik, pertemuan keagamaan, dan lain-lain--yaitu Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pertahanan dan Keamanan No. 153/1995, No. Kep./12/XII/1995. Pada Bab III Pasal 3 Ayat 9 tertulis:

Pertemuan yang tidak memerlukan ijin atau pemberitahuan yaitu pertemuan yang diselenggarakan baik di dalam gedung, lingkungan gedung bersangkutan, maupun tempat-tempat yang tertutup untuk umum berupa: pergelaran musik, tarian, drama, pembacaan puisi, opera, pantomim, kesenian daerah dan bentuk-bentuk pertemuan lainnya yang bertujuan untuk membahas atau mempertunjukkan hasil cipta, rasa dan karsa. Dalam hal pertemuan budaya tersebut diselenggarakan di tempat terbuka yang dapat mengganggu ketertiban umum atau lalu lintas, maka penyelenggaraan pertemuan tersebut harus diberitahukan.

Harus diakui, kita memang terlambat menyadari dan mengetahui pentingnya SKB itu. Ini pun baru muncul atas jasa Budi Santosa, S.H. dari Lembaga Bantuan Hukum Yogya, salah seorang pemakalah dalam Seminar Kesenian dalam Dinamika Perubahan Sosial, di Yogyakarta, awal September lalu. Seminar yang semula dimaksudkan untuk memperoleh legitimasi yuridis dalam hal perizinan kesenian (juga soal perpajakan) itu akhirnya seperti "ketinggalan sepur".

Namun, agaknya perlu disyukuri, justru dari seminar tersebut terpublikasikan kembali SKB itu dan muncul berbagai pemikiran soal penghapusan pajak atas kegiatan kesenian. Bahkan, dirumuskan sebuah deklarasi yang antara lain berisi: demi menegakkan SKB itu, semua bentuk kegiatan kesenian, pertunjukan, ataupun pameran tidak lagi memerlukan izin dan/atau pemberitahuan. Dan pemerintah harus menghapus pajak atas kegiatan kesenian, karena nyatanya pungutan pajak dari kesenian tidak memberikan sumbangsih yang berarti bagi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Kesimpulannya, demi menegakkan hukum, kita jangan sekali-kali minta izin untuk kegiatan kesenian. Kalau saja seniman, panitia, polisi, pemilik gedung pertunjukan, dan penyelenggara acara masih sok sibuk mengurus izin, itu artinya mereka melanggar hukum, tidak patuh pada SKB tersebut. Ini penting diketahui semua pihak, sehingga pantas dipublikasikan bersamaan dengan kembalinya Majalah TEMPO yang "tidak sekadar kembali" itu. Selamat!

Butet Kartaredjasa
Jalan Bakung 13, Baciro Baru
Yogyakarta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus