Bermula dari krisis ekonomi, konflik di dalam keluarga atau antarkelompok di masyarakat menjadi sangat mudah meledak. Kriminalitas, kerusuhan, bahkan revolusi sosial sewaktu-waktu bisa terjadi. Ke manakah para tokoh agama yang seharusnya memberikan jawaban dari problem hidup seperti ini?
Krisis menandai hancurnya pembangunan ekonomi yang selama 30 tahun dijadikan primadona Orde Baru. Selama ini, segala usaha, pikiran, dan waktu seolah-olah dikonsentrasikan untuk menumpuk kapital lebih dan terus ingin lebih banyak. Manusia dihargai hanya sebatas jumlah atau angka-angka untuk kepentingan survei calon konsumen. Seolah-olah, ketika melihat orang lain, yang terlihat di jidatnya adalah tulisan "Rp" atau mungkin sekarang berganti menjadi "$".
Kita telanjur merasa bahwa kita bahagia jika memiliki uang banyak. Kita merasa cukup berharga di mata keluarga atau teman jika bisa menghasilkan uang. Dalam situasi seperti itu, tak aneh jika orang yang memiliki uang sangat banyak dianggap atau merasa dirinya dewa. Ya, dewa yang bisa berbuat apa saja sekehendak hatinya.
Masyarakat yang dibangun dengan orientasi seperti itu menjadi sangat rapuh. Bayangkan betapa stresnya orang yang selama ini harga dirinya bergantung pada banyaknya uang yang dimilikinya. Ketika krisis menerpanya, masihkah ia punya harga diri? Sementara itu, bagi anak muda, tumpuan impian untuk cepat hidup enak tiba-tiba hilang. Harapan akan masa depan seolah runtuh bersama runtuhnya kue ekonomi Indonesia.
Tugas pemuka agama bukan lagi menjaga kerukunan dengan pemuka agama lain. Jika ada dua tokoh agama yang berbeda lalu bisa rukun, itu sudah lumrah. Yang penting justru satu per satu umatnya bisa rukun. Dan hal tersebut sulit diwujudkan jika umat manusia masih terus mengejar materi.
Agamalah yang seharusnya membuka mata manusia bahwa kebahagiaan tidak bergantung pada harta atau jabatan. Prinsip hidup bukan lagi "time is money", melainkan "waktu adalah kehidupan". Waktu manusia itu untuk menjaga dan membangun kehidupan. Jika terlalu egoistis dan tega menghancurkan lingkungannya, pada akhirnya dirinya sendiri pun akan hancur.
Kesadaran global inilah yang bisa membuat hidup lebih bahagia. Inilah yang seharusnya dikerjakan para pemimpin agama.
Herwinda Aiko S.R.
Jalan Padang 27
Jakarta Selatan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini