Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jalan Rumah Gubernur Jakarta
ATAS nama Forum Warga Lebak Bulus II yang menolak pelebaran jalan, saya ingin melaporkan rencana Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melebarkan jalan tanpa dasar jelas dan tidak ada urgensinya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jalan Lebak Bulus 1 di Jakarta Selatan memang jalan yang cukup ramai sebagai pelintasan dari Cinere, Depok, Jawa Barat, atau Ciputat, Tangerang Selatan, Banten, ke arah Jalan Fatmawati. Pada pagi dan sore terjadi antrean kendaraan di pertemuan Jalan Fatmawati. Jalan Lebak Bulus II melewati wilayah permukiman yang tergolong sepi dari lalu lintas kendaraan. Kebanyakan yang melintas adalah sepeda motor dan mobil yang mungkin hanya lima unit tiap menit. Jalan tembus yang direncanakan sebetulnya adalah jalan kampung yang dilewati kurang dari 10 mobil setiap jam. Saat ini sudah banyak pembebasan tanah dan kuburan. Sekarang pembebasan sudah mencapai tahap land clearing area untuk membangun danau buatan dan eco park.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dengan situasi tersebut, kami sama sekali tidak melihat urgensi pelebaran jalan dan pembuatan trotoar demi keindahan jalan tersebut, seperti diutarakan Kepala Biro Pembangunan dan Lingkungan Hidup. Kami khawatir pihak yang diuntungkan oleh semua rencana tersebut hanyalah Gubernur DKI yang rumahnya dekat dengan salah satu jalan tersebut. Jika ada renovasi, rumah pribadi gubernur akan nyaman dengan pemandangan langsung ke danau dan taman. Jalan tembus yang dibangun selebar 13 meter akan persis melalui depan rumah beliau. Pelebaran Jalan Lebak Bulus 1 dan II praktis hanya untuk kemudahan dan keindahan akses keluar-masuk ke rumah beliau.
Menurut kami, banyak sekali hal yang lebih urgen dilakukan. Sudah berpuluh tahun kami belum pernah menikmati pasokan air bersih dari PAM Jaya. Banyak jalan di area Cilandak, Jakarta Selatan, yang butuh dilebarkan demi melancarkan arus lalu lintas. Di antaranya Jalan Fatmawati, Antasari, dan Metro Pondok Indah. Kabel listrik yang berseliweran sebaiknya dipindahkan ke bawah permukaan.
Dalam konsultasi publik pada Jumat, 8 Juli lalu, pemerintah menyampaikan bahwa program ini harus terlaksana sebelum akhir tahun. Apakah memang diusahakan sebelum selesainya masa jabatan Gubernur DKI?
Juanto Rasjidgandha
Forum Warga Lebak Bulus II
Keteladanan
SAYA membaca dua buku mengenai Mohammad Hatta: Untuk Negeriku dan Bung Hatta di Mata Tiga Putrinya yang dibuat oleh Mulyawan Karim. Saya juga membaca biografi Bacharuddin Jusuf Habibie dengan judul Mr. Crack dari Parepare tulisan A. Makmur Makka, lalu biografi Abdurrahman Wahid berjudul Gus Dur yang ditulis oleh Greg Barton, dan cerita Hoegeng Iman Santoso yang dirangkum dan dikisahkan kembali oleh Suhartono dengan judul Hoegeng: Polisi dan Menteri Teladan.
Apa yang bisa kita dapatkan dari kepribadian Bung Hatta, Gus Dur, Pak Habibie, dan Pak Hoegeng adalah nilai-nilai kejujuran, kepatuhan, intelektualitas, kedisiplinan, kerja keras, kepedulian sosial, dan yang paling utama adalah kecintaan terhadap keluarga. Mereka memang tidak sempurna sebagai manusia, tapi sikap keteladanan menutupi berbagai kekurangan kecil tersebut. Mereka patut menjadi contoh serta panutan bagi siapa saja. Apalagi di negeri kita sudah sejak beberapa puluh tahun terakhir terjadi krisis moral dan keteladanan. Banyak tokoh yang menjadi pemimpin tapi tidak memperlihatkan perilaku keteladanan.
Di Indonesia, hampir semua kementerian punya lembaga pendidikan kedinasan yang dibiayai sepenuhnya oleh negara dengan uang rakyat. Ini adalah salah satu upaya untuk mendidik dan melahirkan calon-calon pemimpin masa depan. Ada baiknya apabila para peserta pendidikan atau mahasiswa diwajibkan membaca biografi tokoh-tokoh tersebut. Dengan demikian, apabila di masa mendatang dipercaya menjadi pemimpin di negeri ini, mereka akan menjunjung tinggi nilai kejujuran serta tidak korupsi, tidak menyalahgunakan kewenangan, dan benar-benar mengabdi untuk kepentingan juga kesejahteraan rakyat.
Korupsi dan penyalahgunaan wewenang di negeri kita sudah demikian kronis dan berlangsung seperti teori domino, sambung-menyambung dari generasi ke generasi. Yang senior memberikan contoh kepada yang junior dan, sebaliknya, yang junior belajar dari para senior. Lingkungan sekitar, termasuk keluarga, ada kalanya juga memberikan tekanan tersendiri untuk berbuat yang tidak sepatutnya. Harus ada upaya memutus siklus yang sudah seperti benang kusut ini. Apabila ada niat baik serta komitmen dari semua pemangku kepentingan, tentunya ini tidak mustahil dilakukan.
Samesto Nitisastro
Depok, Jawa Barat
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo