Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Angka

Jalannya mulus lagi

Survei industri otomotif di Indonesia, mulai gejolak pasar hingga industri komponen. kijang diangap mobil keluarga yang mencapai sukses untuk produk toyota.tab.

5 Maret 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BANGUN DARI MIMPI BURUK Industri otomotif adalah industri yang penuh kontroversi di Indonesia. Barangkali tak ada industri, dimana konsumen, produsen dan pemerintah, terlibat secara emosional didalamnya. Produk industri otomotiv diperlukan konsumen untuk memenuhi kebutuhan dasar, yang mengangkut orang dan barang dari satu tempat ke tempat lain dan juga untuk memenuhi glamour, bagi mereka yang mampu membelinya. Produsen otomotiv, setelah mengeduk keuntungan yang besar lewat proteksi selama ini, cukup merasa lega karena deregulasi otomotiv yang dikeluarkan pada Juni 1993, tidak mengurangi secara berarti proteksi yang mereka peroleh selama ini. Disamping itu, penjualan otomotiv, telah memberi penerimaan pajak yang cukup besar bagi pemerintah. Harga jual otomotiv disini, sebagian besar merupakan pajak dan pungutan lain dari pemerintah. Industri otomotiv sendiri di Indonesia, sebagaimana di negara industri, merupakan industri yang bersifat siklikal. Ini jelas kelihatan dalam Iima tahun terakhir ini . Dari industri yang penjualannya setiap tahun tumbuh 10-12%, pada 1990, penjualannya mendadak melonjak 54%. Tahun 1990 merupakan tahun dimana ekonomi Indonesia mengalami lonjakan investasi dan ekspansi kredit bank, yang meningkatkan permintaan otomotiv. Keadaan ini berlangsung cepat, sehingga lonjakan permintaan terhadap kendaraan bermotor dengan susah payah dipenuhi oleh industri otomotiv. Harga mobil melonjak, pembeli harus antri, dan kran impor harus dibuka untuk beberapa jenis kendaraan niaga, karena kapasitas produksi didalam negeri, sudah penuh terpakai. Tahun itu merupakan saat dimana industri otomotiv di Indonesia mengalami panen besar, yang belum pernah terjadi sebelumnya. Pada 1990, jumlah penjualan otomotiv mencapai rekor 275.000 unit. Setahun sebelumnya, jumlah penjualan masih 178.000 unit. Penjualan kendaraan niaga meningkat 49% dari tahun sebelumnya menjadi 211.000. Kenaikan penjualan jenis sedan lebih spektakuler, dengan pelonjakan 77% dari tahun sebelumnya. Pada tahun itu, penjualan sedan mencapai 56.500 unit. Dalam ekonomi dan bisnis, apa yang terjadi mendadak, memang tak bisa berlangsung lama. Kejadian mendadak, adalah gejala yang tidak normal, dan bagi pemerintah ini bukan kejadian yang dikehendaki. Pemerintah yang melihat risiko negatip dari ekonomi yang terlalu panas, dengan cepat memberlakukan kebijaksanaan moneter ketat pada 1991. Pertambahan uang beredar dan kredit bank ditekan, dan suku bunga naik membubung. Dampaknya segera terasa bagi industri otomotiv. Pada 1991, penjualan otomotiv turun 5%. Keadaan menjadi lebih buruk lagi pada 1992, dengan timbulnya ketidak pastian disekitar rencana pemerintah untuk mengeluarkan deregulasi dibidang otomotiv. Konsumen yang berharap bahwa deregulasi akan mengakibatkan turunnya harga kendaraan, menunggu dan menunda pembelian. Sementara itu industri perakitan dan dealer kebanjiran stok, yang tidak bisa dijual. Biaya modal kerja meningkat. Keadaan ini diperburuk lagi dengan meningkatnya kredit macet dari pembeli kendaraan yang tidak mampu membayar utangnya. Dan bank- bank sendiri, mengalami kredit macet yang serius, akibat pemberian kredit secara jor-joran setahun sebelumnya. Akibatnya, mereka mengetatkan pemberian kredit konsumsi, termasuk kredit pembelian kendaraan bermotor. Bagi industri otomotiv Indonesia, apa yang terjadi pada 1992, benar-benar sebuah mimpi buruk. Penjualan otomotiv ambruk. Jumlah penjualan jatuh dari 261.000 unit menjadi hanya 170.000 unit, lebih rendah dari penjualan pada 1989. Keadaan ini benar benar menyakitkan industri otomotiv, karena jumlah yang terjual itu hanya membutuhkan sepertiga kapasitas produksi. Beberapa pabrik perakitan, harus mengurangi jam kerja, bahkan ada yang harus memberhentikan karyawannya. Pasar yang lesu masih terus berlangsung sampai pertengahan 1993. Keadaan mulai membaik setelah paket deregulasi diumumkan pada Juni 1993. Sementara itu, situasi moneter juga mulai longgar, dan bank-bank sudah mulai memberi kredit untuk pembelian kendaraan. Penjualan otomotif pada 1993, meningkat 24%, menjadi 210.461 unit. Sekalipun jumlah yang terjual ini, masih lebih rendah dari penjualan pada 1991, tapi sekurangnya titik terendah penjualan sudah dilampui. Sebagian besar kenaikan penjualan pada 1993 berasal dari penjualan kendaraan niaga. Penjualan jenis kendaraan ini naik 29%. Penjualan kendaraan sedan, hanya naik 7%. Deregulasi otomotiv yang dikeluarkan pada Juni 1993, bersamaan dengan berakhirnya "pergolakan" pasar otomotiv 1990- 1992, tidak mempunyai tujuan yang jelas. Benar bahwa impor kendaraan dalam bentuk utuh (CBU) diijinkan, tapi dengan tarip bea masuk yang tinggi, efeknya sama dengan pelarangan impor. Perangsang diberikan kepada industri yang menggunakan lebih banyak komponen lokal, dalam bentuk pengurangan bea masuk komponen yang masih diimpor. Tapi meningkatnya penggunaan komponen lokal, tidak indentik dengan meningkatnya efisiensi. Padahal kunci dari pertumbuhan industri otomotiv Indonesia dimasa mendatang adalah kemampuan mereka mengurangi biaya dan harga. Dan ini menyangkut proteksi dan pajak penjualan dan pajak penjualan barang mewah kendaraan bermotor, dua hal yang sensitif, yang selama ini belum ada yang berani menyentuhnya. tb Agen Tunggal pemegang merk, pemilik dan merk yang diageni Pemilik Saham: ASTRA Group Agen Tunggal: Merk: Negara Asal: PT. Daihatsu Indonesia Daihatsu Jepang PT. Toyota Astra Motor Toyota Jepang PT. United Imer Motor Nissan Diesel Jepang PT. Multi France Motor Peugeot Perancis . Renault Perancis PT. Cahaya Sakti Motor Corp. BMW Jerman Barat PT. Pantja Motor Isuzu Jepang PT. Federal Motor Mustika FIAT Italia Pemilik Saham: INDOMOBIL Group Agen Tunggal: Merk: Negara Asal: PT. Indomobil Suzuki Int. Suzuki Jepang PT. National Motors Co. Mazda Jepang . Hono Jepang PT. Central Sole Agency Volvo Swedia PT. Wahana Wirawan Datsun Jepang . Nissan Patrol Jepang Pemilik Saham: KRAMA YUDHA Group Agen Tunggal: Merk: Negara Asal: PT. Krama Yudha Tiga Berlian Mitsubishi Jepang Lebih Nasional, Lebih Mahal? INDUSTRI komponen otomotif harus menghadapai volume pasar dalam negeri yang kecil, dan jumlah merk mobil yang terlalu banyak. KALAU komponen utama kebijaksanaan pemerintah dalam pengembangan industri mobil adalah penggunaan komponen lokal. Pertumbuhan industri komponen dalam negeri dilihat sebagai kunci dari perkembangan industri otomotiv. Pada pertengahan 1970-an, kebijaksanaan industri yang berbau nasionalistik, sempit, dan kurang mempertimbangkan efisiensi, merupakan ciri yang dominan. Kebijaksanaan dalam pengembangan industri komponen juga mengandung ambisi untuk menguasai tehnologi, dan memperoleh nilai tambah yang lebih tinggi, karena siapa tahu, produksi komponen dalam negeri suatu saat bisa diekspor. Program penanggalan ("deletion program") sejak itu diberlakukan untuk produksi kendaraan niaga katagori I (2,5 ton),l katagori II (sampa 9 ton), katagori III (sampai 24 ton), dan kendaraan jeep. Sedangkan kendaraan niaga katagori V (bobot lebih dari 24 ton) serta sedan, dibebaskan dari program penanggalan. Dengan program ini, sekitar 187 jenis komponen atau 73% dari seluruh komponen yang diperlukan harus merupakan komponen produksi dalam negeri. Ternyata tak mudah melakukan lokalisasi komponen seperti yang dikehendaki pemerintah, sehingga pemerintah terpaksa mengundur batas waktu yang ditetapkan. Dilain pihak, kebijaksanaan ini memberi dilema bagi Agen Tunggal Pemegang Merk (ATPM). Induk perusahaan atau prinsipalnya di luar negeri punya alasan untuk kurang senang dengan kebijaksanaan pemerintah Indonesia. Bukan karena mereka pelit atau enggan menyerahkan tehnologi kepada agen tunggalnya di Indonesia. Tapi karena mutu komponen yang digunakan akan menentukan mutu kendaraan yang diproduksi. Disini mutu produk dipertaruhkan. Mereka tidak serta merta percaya dengan mutu komponen buatan lokal. Bagi industri seperti mobil, reputasi dan kepercayaan konsumen adalah segalanya, dan baik buruknya komponen yang dipakai akan berpengaruh besar. Bagi ATPM, sulit untuk membujuk prinsipalnya agar mau memindahkan produksi beberapa komponen yang kritis seperti mesin dan transmisi ke Indonesia. Dan bagi ATPM, proses lokalisasi komponen ini kadang kadang berjalan lambat, karena diperlukan waktu yang cukup lama untuk melakukan negosiasi dengan prinsipalnya. Sikap pemerintah yang tak bisa ditawar dalam lokalisasi komponen masih terus berlanjut sampai tercapainya persetujuan kawasan perdagangan bebas ASEAN atau AFTA. Sebagai bagian persetujuan ini, industri otomotiv dikawasan ASEAN diberi kesempatan untuk menggunakan sistim "brand to brand complementary" atau BBC. Ini sebuah sistim, dimana satu merk mobil menggunakan berbagai komponen dari negara ASEAN, menurut pola yang paling efisien. Toyota, misalnya sudah membuat usulan, dimana masing-masing industrinya di negara ASEAN memproduksi beberapa jenis komponen tertentu, dimana mereka paling efisien. Indonesia, misalnya mengkhususkan produksi mesin Toyota di Thailand mengkhususkan diri pada produksi "body press" sedangkan Toyota Filipina dan Thailand mengkhususkan diri pada produksi transmisi, "steering', "gear box", dan komponen plastik. Tapi pemerintah Indonesia kurang berminat dengan mekanisme BBC ini. Indonesia lebih suka sistim "multi sourcing", dimana industri otomotiv di satu negara memproduksi sendiri berbagai komponennya sendiri, tanpa harus melakukan spesialisasi. Disini jelas, bahwa pemerintah Indonesia masih lebih menekankan ketrampilan tehnologi dari efisiensi. Tapi ini berarti dilema lain bagi industri komponen. Pasar otomotiv di Indonesia, masih relatif kecil, sekitar 260.000 setahun. Bagi industri komponen yang jumlahnya mencapai ratusan itu, volume ini merupakan kendala bagi operasi yang hemat biaya, dibanding investasi yang harus ditanam. Hal ini diperburuk lagi, karena yang harus dilayani adalah kendaraan bermotor dari 26 merk, yang masing masing mempunyai kebutuhan komponen yang berbeda. Sekalipun demikian, prospek pertumbuhan industri komponen agak tertolong dengan dikeluarkannya deregulasi otomotiv pada Juni 1993 . Semula mereka khawatir bahwa deregulasi akan membuka lebih lebar pintu impor mobil utuh ("built up"). Bila ini terjadi, maka pasar mereka jelas akan menciut, karena industri perakit mobil kurang memerlukan produk mereka. Deregulasi juga memberi perangsang bagi industri otomotiv untuk meningkatkan penggunaan komponen lokal, dimana, makin besar komponen lokal yang mereka gunakan, makin kecil bea masuk untuk komponen lain yang masih mereka impor. Sehingga kendala bagi prospek mereka adalah masih kecilnya volume produksi didalam negeri. Untuk mengimbangi hal ini, beberapa industri komponen telah mencoba mengekspor, dan beberapa sudah berhasil memperoleh pasar di luar negeri. tb Produksi Komponen Otomotif 1980/81 - 1991/92 (Dalam Ribuan Unit) --------------------------------------------------------------- Komponen: 1980/81 1985/86 1988/90 1989/90 1990/91 1991/92 --------------------------------------------------------------- Shock absorbers 288.3 819.3 756.6 1,202.3 1,491.2 1,550.9 Radiators 111.9 121.1 143.8 170.6 244.0 256.2 Exhaust systems 286.9 209.5 233.6 311.5 225.7 239.3 Filter elements 1,299.0 3,586.0 2,998.6 3,558.6 4,216.7 4,554.0 Pistons .... 326.8 718.1 570.0 627.8 609.5 Pistons rings .... 2,372.8 2,725.5 3,010.3 3,664.3 3,957.5 Spark plugs 10,529.0 12,497.0 22,971.9 27,195.7 30,806.0 33,886.5 Diesel engines .... 11.5 47.8 35.9 45.9 50.0 Petrol engines .... 48.0 19.6 156.6 136.7 160.0 Cabins .... 103.6 115.0 128.2 138.7 136.0 Chassis .... 115.5 122.3 183.0 235.6 231.0 Axles .... 62.4 120.3 138.2 196.0 192.2 Propeller shafts .... 62.4 120.3 138.2 196.0 192.0 Rear bodies .... 83.9 48.2 53.0 66.9 65.6 Brake systems .... 15.0 291.9 273.2 319.6 313.4 Wheel rims .... 447.4 695.7 759.8 995.6 1,015.5 Fuel tanks .... 88.5 135.3 143.7 157.2 161.9 Leaf springs (thousand tonnes) .... 8.9 19.0 22.2 25.3 25.5 Seat assemblies .... 11.9 380.5 244.4 199.7 207.6 Clutch systems .... .... 119.6 129.5 144.8 141.9 Transmissions .... .... 126.4 146.8 209.4 205.3 Steering systems .... .... 158.0 133.8 153.6 150.6 --------------------------------------------------------------- Sumber: Lampiran Pidato Kenegaraan Presiden di DPR, 15 Agustus 1992 * Sementara Arti Kijang Bagi Toyota dan Astra "Benarkah keberhasilan Kijang mencerminkan keberhasilan sebuah konsep mobil penumpang yang cocok buat Indonesia?' VOLUME penjualan Toyota pada 1993 naik 11% dari penjualan tahun 1992. Kenaikannya lebih rendah dari kenaikan yang dialami Suzuki dan Mitsubishi dua saingan terdekatnya. Penjualan mobil Kijang, produk utama Astra Internasional, setelah peningkatan penjualannya agak seret sepanjang 1993, dua bulan terakhir meningkat cepat. Penjualan Kijang naik 6,7% dari penjualan 1992. Toyota ternyata tidak berhasil mempertahankan pangsa pasar otomotivnya. Pangsa pasarnya turun dari 27% pada 1992, menjadi 24% pada 1993. Penurunan pangsa pasar sebanyak 3 poin untuk pasar sebesar Rp 4 triliun ini memang terasa menyakitkan. Apalagi ini terjadi setelah penjualan pada 1992 yang cukup parah. Pada 1992, Toyota, hanya menjual 46.264 unit, turun dari 75.735 unit pada 1991. Pada tahun itu semua jenis kendaraan Toyota yang terjual, kecuali Corolla, turun. Penjualan Kijang turun dari 60.000 menjadi 36.550 unit. Penjualan Dyna anjlog dari 4340 menjadi 960 unit. Penjualan Starlet, turun dari 4370 menjadi 2480, dan penjualan Corona turun dari 4120 menjadi hanya 571 unit. Lambatnya kenaikan penjualan Al, ternyata karena penjualan Kijang, kendaraan yang paling populer di Indonesia, selama 1993 sampai September, turun 5%. Selama sembilan bulan pertama 1993, Kijang yang terjual hanya mencapai 26.400 unit. Kijang merupakan produk utama Al, dan merupakan 75% dari volume penjualan otomotivnya. Dengan sendirinya, naik turunnya penjualan Al sangat dipengaruhi oleh volume penjualan Kijang. Kijang sendiri masih tetap merupakan merk yang menjuarai penjualan mobil di Indonesia. Dari setiap 100 kendaraan yang anda lihat dijalan raya, 19 adalah mobil Kijang. Mobil yang diperkenalkan untuk pertama kalinya pada 1977 ini, merupakan contoh dari berhasilnya sebuah konsep "mobil keluarga", sekalipun pada mulanya bentuknya dulu dijuluki kotak sabun. Dalam masa perjalanannya Kijang telah mengalami beberapa kali modifikasi, tanpa mengubah bentuk dasarnya. Kijang keluar dengan harga yang terjangkau oleh kelas menengah, yang tidak mampu membeli kendaraan sedan. Berkendaraan Kijang memang tidak senyaman dan seprestise naik sedan. Tapi naik Kijang juga tidak berarti naik truk pick-up. Dengan daya tarik yang cukup, dan dengan harga yang terjangkau, kenaikan penjualan Kijang setiap tahun cukup spektakuler. Pada 1988, Kijang yang terjual berjumlah 32.500 unit, setahun berikutnya meningkat menjadi 41.700 unit, lalu naik lagi menjadi 55.600 pada 1990, dan mencapai puncaknya pada 1991, ketika jumlah yang terjual mencapai rekor 60.000 unit. Dengan parahnya pasaran otomotiv pada 1992, penjualan Kijang juga ikut merosot menjadi 36.500 unit. Dalam beberapa tahun mendatang, dominasi Kijang di kelasnya nampaknya memang tidak akan tergoyahkan. Sekarang ini Toyota Astra Motors, anak perusahaan Al yang menangani Kijang mengeluarkan empat varian Kijang, yaitu jenis GL (Grand Extra), model G, super Kijang, model De Lux dan Standard. Masing masing model mempunyai dua macam chassis, chassis panjang dan chassis pendek. Kijang seri G menggunakan mesin Toyota 5K/1500 cc yang terkenal tangguh, bertenaga besar tapi ekonomis. Kabinnya dirancang apik, nyaman dan lapang, dengan kok-pit yang kompak dan trendi. Dinding interior yang dilapis dengan "ashpalt sheet" menambah kedap suara dari luar hingga mengurangi suara bising. Penerapan konsep "Toyota Original Body" yang dimulai pada Agustus 1992 menjadikan Kijang sebagai bis mini pertama di Indonesia yang bebas dempul. Badannya lebih utuh dan halus, karena dicetak dengan mesin press raksasa seberat 1500 ton. Dan proses "kation electro coating" yang digunakan menambah daya tahan badan dari proses karat dan keropos. Saingan yang paling dekat, Isuzu Panther, penjualannya baru mencapai 64% penjualan Kijang pada 1993. Tapi yang menjadi masalah, adalah pertumbuhan penjualan Kijang dimasa mendatang. Dengan makin turunnya suku bunga pinjaman, dan makin sengitnya persaingan jenis sedan, jumlah cicilan pembelian mobil sedan makin terjangkau oleh golongan menengah. Kemungkinan besar mereka akan lari dari Kijang dan pindah ke mobil sedan. Bila ini terjadi, kenaikan penjualan yang tinggi yang dialami Kijang lima tahun terakhir ini, sulit berulang. Di jenis kendaraan penumpang (sedan), Toyota masih dapat mempertahankan pangsa pasarnya. Penjualan Toyota Corolla dan Corona, masih menguasai 19% dari seluruh penjualan sedan pada 1993. Corolla yang terjual naik dari 3873 unit antara Januari September 1992 menjadi 3945 unit selama Januari September 1993. Dalam waktu yang sama, Corona yang terjual, setelah peluncuran yang baru, naik dari 372 menjadi 1143. Ini memperkokoh kedudukan Toyota sebagai penjual terbesar jenis sedan, setelah sebelumnya selalu tergeser kedudukan Honda. Selama tiga tahun antara 1988-1990, jumlah sedan Toyota yang terjual selalu dibawah sedan Honda. Pada 1990, ketika Honda berhasil menjual sedannya 12.760 unit, Toyota hanya menjual 10.950 unit. Baru pada 1991, sedan Toyota yang terjual mulai mengungguli sedan Honda. Selama Januari-September 1993 ini, jumlah sedan Corona dan Corolla yang terjual 5080, dibanding 4765 unit penjualan Honda Accord dan Civic. Persaingan jenis sedan selama ini merupakan persaingan sengit antara Honda Civic dan Toyota Corolla. Persaingan yang ditandai dengan citra yang saling berlawanan. Civic menjaga citranya dengan sedan yang "classy", dengan tehnologi yang lebih canggih seperti penggunaan penggerak roda depan, dan injeksi bahan bakar elektronis. Civic menjaga kelasnya, dengan misalnya, menolak untuk dijadikan taksi. Sebaliknya Corolla keluar dengan citra sebagai mobil yang ekonomis, irit bahan bakar, komponen yang murah, gampang diperbaiki, dan mudah dirawat. Tapi citra Corolla, yang terkesan kelas bawah ini ternyata tidak dapat menggeser Civic. Sampai tahun 1990, penjualan sedan Corolla, masih dibawah penjualan Honda Civic. Pada 1988, setelah Corolla DX diganti dengan GL, Corolla keluar dengan tehnologi mesi "twincam", tehnologi yang diklaimnya mengambil dari tehnologi mobil balap. Dengan perbaikan ini, citra Corolla mulai terangkat, dan mulai menandingi Honda. Selama 1992 persaingan ini masih berlangsung dalam bentuk persaingan antara Honda Genio, dan All New Great Corolla. Corolla melakukan promosi dengan gencar, dengan mengggunakan segala bentuk media. Sebaliknya, Genio jarang sekali dipromosikan. Usaha keras Toyota untuk mengalahkan Honda dalam jenis sedan memang memberi hasil pada 1991. Pangsa pasar sedan yang dikuasasi Toyota meningkat dari 19% menjadi 23%. Sebaliknya pangsa pasar sedan yang dikuasai Honda turun dari 23% menjadi 18%. Pada 1992, Toyota makin meninggalkan Honda, karena pangsa pasar sedall Toyota naik menjadi 29% sementara pangsa pasar Honda hanya mencapai 21%. Kenaikan pangsa pasar sedan kedua brand ini bisa terjadi dengan menurunnya pangsa pasar sedan yang lain. Antara 1991 dan 1992, pangsa pasar Mazda, Daihatsu dan BMW turun. Jenis sedan Toyota yang ditujukan kepada pasar yang eksklusif adalah Toyota Crown . Sedan kelas 2000 cc ini, sampai Oktober 1993, sudah terjual 361 buah dengan harga Rp 150 juta. Pasar yang dituju Toyota Crown adalah para eksekutip perusahaan, dan kurang tertuju kepada konsumen individual. Toyota memang identik dengan PT Astra Internasional. Tapi perusahaan ini sebenarnya tidak hanya merakit mobil Toyota. Dia juga ditunjuk menjadi agen tunggal beberapa merk mobil lain, seperti Daihatsu, Isuzu, BMW, Nissan Diesel, dan Peugot. Merk mobil yang bukan Toyota ini ditangani oleh divisi tersendiri yaitu Astra Automotiv Group (AAG). Selama sembilan bulan pertama 1993, volume penjualan AAG naik 16% menjadi 40.745 unit, yang berarti melampui volume penjualan Toyota selama dua tahun berturut turut. Daihatsu dan Isuzu, menyumbang volume penjualan terbesar untuk grup ini. Sejak dipegang Al, kedua merek ini menunjukkan perkembangan yang sangat cepat. Penjualan Daihatsu, pada 1988 baru berjumlah 28.750 unit. Pada 1990, penjualannya melonjak mencapai 55.420 unit. Tahun lalu Daihatsu yang terjual merosot menjadi 25.290 unit. Yang lebih spektakuler adalah peningkatan penjualan Isuzu Panther. Tahun lalu penjualan Isuzu mencapai 20.500 unit. Padahal tahun 1988 baru terjual 888 unit. Otomotiv merupakan bisnis utama Al, karena menyumbang 80% penjualan dan 80% laba Al. Karena itu jatuh bangunnya pasaran otomotiv sangat mempengaruhi laporan keuangan Al. Jatuhnya pasaran mobil pada 1992 cukup memukul laporan keuangan Al. Penjualan bersihnya, turun dari Rp 4,9 triliun pada 1991, menjadi Rp 4,5 triliun pada 1992. Penurunan penjualan ini bisa lebih besar seandainya harga Corolla dan Kijang tidak dinaikkan. Sekalipun demikian, Al tetap merupakan perusahaan terbesar yang sahamnya diperdagangkan di BEJ. Disamping turunnya volume penjualan, Al juga mengalami kenaikan beberapa pos biaya. Harga CKD naik. Begitu juga beban bunga dan penghapusan. Tahun lalu Al juga melakukan perluasan dan perbaikan terhadap jaringan distribusi dan service yang harus dilakukan untuk memperbaiki mutu pelayanannya. Kenaikan harga- harga ini mengakibatkan laba bersih Al turun cukup tajam, dari Rp 210 miliar, menjadi Rp 81,5 miliar pada 1992, atau penurunan 61 %. Industri otomotiv sering dikritik sebagai pemboros devisa, karena ekspornya sangat kecil. Setiap tahun, impor CKD mencapai rata-rata US$ 1,5 miliar . Sejak 1986, selama tujuh tahun, ekspor otomotiv Toyota hanya berjumlah US$ 50 juta. Pada 1992, ekspor Al hanya US$ 13 juta, kurang dari 1% penjualannya. Ekspor kelompok AAG pada 1992 berjumlah US$ 5,2 juta, naik dari US$ 4,5 juta pada 1991. Ekspor Al terutama berupa mobil Kijang dan blok mesin, ke Brunai dan Papua Nugini. Dengan diberlakukannya perjanjian AFTA, peluang untuk ekspor dan penggunaan komponen yang lebih efisien sebenarnya makin terbuka lebar. Bentuk peluang ini misalnya terlihat dengan dibuatnya perjanjian ACS ( Asean Complementary Scheme), yang didalamnya mengandung kesepakatan BBC (Brand-to-Brand Complementary). Dengan BBC, perdagangan antar produk dengan merek yang sama diberi perlakuan khusus, berupa penurunan bea masuk sebesar 50%. Artinya, jika Toyota di Thailand misalnya, mendatangkan mesin dari TAM, bea masuk yang dibayar, hanya separuh dari bea masuk yang ditetapkan. Sementara itu, TAM sendiri, sudah mengajukan proposal regionalisasi produk kepada panitia AFTA. Dalam proposal itu TAM mengusulkan Indonesia hanya memproduksi mesin. Sementara kebutuhan "steering" dan "gear box", menjadi tanggung jawab Toyota Malaysia, pembuatan transmisi menjadi tanggung jawab Toyota Filipina, dan Thailand memproduksi mesin diesel. Sekalipun proposal ini mendapat tanggapan positip dari beberapa negara ASEAN, tapi pemerintah Indonesia belum memberi persetujuan terhadap proposal TAM ini. Al didirikan pada Pebruari 1957, mulanya sebagai perusahaan dagang. Bisnis otomotivnya dimulai pada 1969, ketika dia ditunjuk sebagai agen tunggal mobil Toyota untuk Indonesia. Sejak itu, Al tumbuh menjadi sebuah konglomerat, yang bidang usahanya meluas ke bidang lain, seperti industri kayu, agribisnis, elektronik, alat alat berat dan keuangan. Bisnis keuangan yang ditangani Al adalah pemberian kredit pembelian mobil. Bisnis ini dilaksanakan oleh salah satu anak perusahaannya, yaitu Astra Credit Company (ACC). Ini adalah semacam lembaga keuangan non-bank, yang mengkhususkan diri pada pemberian kredit kendaraan bermotor Al. Bisnis ini semula menjadi salah satu lahan bank-bank komersial, tapi Al melihat peluang yang cukup potensial di bisnis ini, hingga mereka merasa perlu untuk menanganinya. Lembaga pembiayaan non-bank semacam ini bukan hal baru bagi industri otomotiv. Di AS, perusahaan General Motors dan Ford juga mempunyai lembaga keuangan semacam ini. Didirikan pada Nopember 1989, ACC tumbuh dengan cepat. Volume penjualan mobil Al yang dibiayai ACC meningkat rata rata 20% setahun. Jumlah karyawannya, naik dari hanya 30 lima tahun lalu menjadi 1300 orang sekarang, yang tersebar di 50 kantor perwakilan. ACC tidak hanya memberi pinjaman pembelian kendaraan baru, tapi juga memberi pembiayaan pembelian kendaraan bekas yang berumur rata rata antara 5 sampai 8 tahun. Sekalipun demikian, bisnis otomotivnya merupakan bisnisnya yang terbesar. Otomotiv, menyumbang 80% dari nilai penjualan Al. Sampai 1991, 80% laba bersih Al masih berasal dari otomotiv. Tapi merosotnya pasaran mobil, mengakibatkan sumbangan laba bersih dari otomotiv berkurang. Bisnis otomotiv Al juga termasuk bisnis sepeda motor Honda . Tahun lalu, sepeda motor Honda yang terjual berjumlah 264.000 unit, meningkat dari 254.000 unit pada 1991. Dalam waktu yang sama, ekspor sepeda motor melonjak dari 7500 unit menjadi 27.500 unit, yang meningkatkan penghasilan devisanya dari US$ 5,6 juta menjadi US$ 28,2 juta. Sampai Agustus 1993 ini, otomotiv hanya menyumbang 64% laba bersih Al. Sementara itu, bagian laba bersih yang berasal industri kayu dan keuangan meningkat. Selama Januari-September 1993 ini penjualan mobil Toyota boleh dikatakan tidak meningkat, tapi penjualan merk non-Toyota naik 16% dan karena itu laporan keuangan Al mengalami perbaikan yang cukup berarti. Dalam pembukuaannya sampai Juni 1993 misalnya, penjualan Al naik 20% menjadi Rp 2521 miliar . Antara semester satu 1993 dan semester satu 1992, laba bersihnya meningkat 50%. Ini berarti Al cukup berhasil mengendalikan beberapa jenis biaya. Posisi keuangan Al juga makin kuat, karena selama periode tersebut, hutang jangka panjangnya turun Rp 724 miliar menjadi Rp 370 miliar. Ini berarti beban bunga Al akan berkurang dimasa mendatang. Potensi peningkatan labanya juga akan berasal dari pengurangan bea masuk komponen impornya, karena beberapa jenis kendaraannya sudah menggunakan komponen dalam negeri sebanyak 40%. Dan selama delapan bulan sampai Agustus 1993, omset Al sudah mencapai Rp 3,6 triliun, sedangkan laba bersihnya sudah mencapai Rp 87 miliar, lebih besar dibanding laba yang diperoleh seluruh tahun 1992 yang berjumIah Rp 81 miliar. Kalau laba bersih pada 1992 merupakan 1,8% dari penjualan, maka laba pada 1993 sampai Agustus merupakan 2,4% penjualan. Al dengan pelan sudah berhasil meningkatkan efisiensinya, sekalipun jumlah ini masih jauh dibawah 5,5% yang dicapai pada 1990, pada waktu penjualan otomotivnya mengalami "boom". Dimasa mendatang perbaikan profitibilitas Al sebagian akan berasal dari pengurangan biaya komponen, dengan makin besarnya porsi komponen buatan dalam negeri yang akan digunakan. Untuk keperluan ini, Al merencanakan untuk menanam investasi Rp 140 miliar untuk perluasan pabrik komponennya. Dana ini merupakan 20% dari penerimaan penjualan "right issue" sebanyak 48,6 juta lembar dengan nilai Rp Rp 681 miliar. Membaiknya situasi keuangan Al juga tercermin dari harga sahamnya. Pada akhir 1992, dengan jatuhnya pasar mobil dan krisis Bank Summa, harga saham Al jatuh mencapai titik terendah Rp 8500. Pada Juni 1993, sebelum deregulasi otomotiv, harga saham Al Rp bergerak mencapai Rp 11 .800. Tapi hanya dalam 3 bulan, harganya melejit, melampui Rp 17.000. Siapa pemilik saham mayoritas Al, sendiri sampai sekarang nampaknya masih merupakan teka-teki. Peranan Prajogo Pangestu, pemilik Barito Pacific Timber dalam pengambil alihan saham Al dari tangan Willem Suryadjaja memang cukup besar. Pemilikan saham Al Prajogo dilakukan atas nama PT Delta Mustika, perusahaan yang dimilikinya. PT ini sampai pertengahan Nopember 1993 tercatat memiliki 6,2 % saham Al. Tapi pada tanggal 22 Nopember 1993, Prajogo mengambil alih saham Al yang dimiliki PT Danareksa Fund Management sebanyak 9,5 juta saham, sehingga menambah saham Al yang dimiliki Projogo menjadi 10,1%. Sekalipun demikian, diperkirakan saham Prajogo lebih besar dari 10,1%, karena Prajogo juga memiliki saham AI lain lewat perusahaan perusahaan lain yang juga mempunyai saham Al. tb Pemegang Saham Utama ASTRA International: Toyota Motor Corporation 8.3% PT. Danareksa Fund Management 7.7% PT. Delta Mustika 6.2% PT. Number 6 Enterprises Ltd. 5.7% International Finance Corporation 5.4% PT. Bogasari Flour Mills 4.5% Kashmir Ltd 4.2% PT. Bank Ekspor Impor Indonesia 4.1% Yayasan Tunjangan Hari Tua BDN 4.1% PT. Bank Pembangunan Indonesia 2.8% PT. Arman Investment Utama 2.5% PT. Anugerah Daya Laksana 2.1% PT. Bank Danamon Indonesia 2.1% PT. Gajah Tunggal Mulia 2.1% PT. Sutratex Citra Sejati 2.1% PT. Yayasan Dana Pensiun BDN 2.0% PT. Suryaraya Serasi 1.4% Oykel Limited 1.2% Norbax Inc 1.2% PT. Genta Kurnia Abadi 1.0% TIGA BERLIAN MASIH RAJA JALANAN YANG paling menikmati pulihnya kembali pasar otomotif tahun ini adalah PT Krama Yudha Tiga Berlian Motors (KTB), agen tunggal pemegang merk Mitsubishi. Selama 1993, dengan turunnya suku bunga bank, terjadi pelonjakan penjualan jenis kendaraan komersial. Mitsubishi, sejak semula di Indonesia memang memusatkan produksi dan penjualannya pada kendaraan komersial. Sembilan puluh persen penjualan Mitsubishi berupa kendaraan komersial. Sedangkan penjualan kendaraan sedan hanya 10%. Volume kendaraan komersial yang terjual secara nasional meningkat 21%, sedang penjualan sedan hanya 6%. Tapi kenaikan penjualan Mitsubishi baik untuk jenis komersial maupun sedan, jauh melebihi kenaikan secara nasional. Selama Januari-September 1993, volume penjualan Mitsubishi berjumlah 27.454 unit, yang berarti meningkat 54% dari jumlah penjualan Januari-September 1992. Ini merupakan tingkat kenaikan volume perjualan tertinggi dibanding merk lain. Dalam waktu yang sama, kendaraan komersial yang terjual naik 55% menjadi 24.855 unit. Penjualan Colt Diesel 6 roda, yang tahun lalu cukup parah, melonjak lebih dari dua kali lipat, menjadi 7924 unit. Jumlah penjualan sampai September 1993, sudah melampui jumlah penjualan seluruh tahun 1992.Penjualan sedannya, baik Lancer maupun Eterna, mengalami peningkatan yang mengesankan. Volume penjualan sedan Mitsubishi meningkat 46% menjadi 2600 unit. Pada 1993, jumlah merk sedan yang dipasarkan Mitsubishi bertambah dengan diluncurkannya Galant, yang akan bersaing dikelas 2000 cc dengan harga antara Rp 100-110 juta. Respons konsumen cukup menggembirakan ketika kendaraan ini diluncurkan Oktober lalu. Mereka menerima pesanan 375 unit, padahal sasaran semula adalah menjual 150 unit . Stok yang tersedia dengan cepat terjual, dan pembeli sekarang harus menunggu untuk bisa mendapatkan Galant. Dengan bentuk yang aero dinamis, dengan koefiesien hambatan udara (Cd) 0,29, Galant lebih baik dibanding mobil sekelasnya yang umumnya mempunyai faktor gesekan udara 0,3. Kehadiran Galant akan mampu meningkatkan kedudukan Mitsubishi dalam pasaran jenis kendaraan sedan penumpang. Galant keluar dengan tiga jenis: VR, V6 Manual, dan V6 otomatis. Nampaknya Galant keluar pada saat yang tepat. Penjualan kelas 2000 cc sudah sepi dua tahun terakhir. Menurut survei, konsumen mengganti mobil dua tahu sekali. Ini berarti Galant keluar pada saat, pemilik mobil, sedang mencari mobil baru untuk mengganti yang lama. Dikelasnya, ini, Galant akan bersaing ketat dengan Corona Absolut, yang target penjualannya sama dengan target penjualan Galant, yaitu 150 unti sebulan. Ada beberapa faktor yang mendorong kenaikan permintaan terhadap jenis kendaraan komersial. Dana kredit bank yang tersedia makin banyak, dan bunga juga turun. Kendaraan komersial adalah kendaraan untuk mengangkut barang dan penumpang, yang diperlukan oleh perusahaan-perusahaan jasa angkutan. Karena skala operasi mereka tidak besar, mereka termasuk kelas pemgusaha kecil, yang berhak untuk menerima kredit usaha kecil (KUK). Dengan pertimbangan pemerataan, kredit KUK ini memang didorong benar oleh pemerintah. Lewat peraturan perbankan, setiap bank diwajibkan untuk mengalokasikan 20% dari kredit yang dikeluarkannya sebagai KUK. Dengan sendirinya, kredit ini dimanfaatkan oleh banyak perusahaan angkutan. Disamping itu, PPN- BM jenis kendaraan komersial dihapuskan, hingga harga jualnya juga turun. Ini berarti bahwa cicilan bank untuk pembelian kendaraan komersial ini menjadi lebih kecil dari semula. Faktor lain yang mendorong meningkatnya permintaan kendaraan komersial adalah disahkannya undang undang lalu lintas dan angkutan jalan No 14/1992. Salah satu ketentuan UU ini adalah pembatasan kapasitas muatan kendaraan angkut, dan persyaratan kelengkapannya. Diberlakukannya ketentuan UU ini dengan ketat, berarti banyaknya truk yang tidak boleh beroperasi karena tidak memenuhi ketentuan kelengkapannya. Begitu pula bila pembatasan tonase dilakukan, maka keperluan truk akan melonjak, dan ada yang memperkirakan bahwa kenaikan permintaan truk ini akan mencapai dua kali lipat dari sekarang. Tak heran, kalau faktor-faktor tersebut tiba tiba menghasilkan lonjakan permintaan truk yang diterima KTB. KTB sendiri nampaknya tidak menduga adanya lonjakan permintaan ini. Stok yang ada dengan cepat terjual, sedangkan produksi yang dilakukan belum mampu memenuhi kenaikan permintaan. Dari semula memang KTB mengkhususkan diri pada pengembangan dan pemasaram kendaraan niaga. Perusahaan yang semula didirikan sebagai PT New Marwa Motor pada 1970 ini, dengan resmi melakukan perjanjian kerja sama dengan Mitsubishi pada 1971, untuk memasarkan kendaraan niaga. Pada 1971, lahirlah Colt T- 100, sebagai kendaraan niaga. Sebelumnya kendaraan angkut yang dikenal publik Indonesia hanyalah truk dan pick-up yang besar buatan Amerika. Colt T-100 yang yang ukuran mesin dan badannya lebih kecil merupakan konsep kendaraan niaga yang baru. Dari sini juga lahir kensep mini-van, kendaraan komersial kecil untuk mengangkut penumpang, bahkan akhirnya berfungsi sebagai mobil penumpang pribadi. Gerakan jenis kendaraan lincah dan lebih praktis. Colt T-100, seperti iklannya yang disiarkan besar besaran waktu itu, memang merupakan raja jalanan. Tetapi dalam perkembangan selanjutnya, dominasi Mitsubishi terlihat pada penjualan truk besar dan medium, yang menguasai pangsa pasar diatas 60%. Sedangkan dalam katagori kelas mini, pangsa pasarnya juga meningkat dari 8,4% pada 1988 menjadi 20,7% pada 1992, dengan menggeser pangsa pasar Suzuki dan Daihatsu. Tahun 1993 ini sampai September pangsa pasar seluruh jenis kendaraan komersial Mitsubishi, naik dari 19,3% menjadi 21,9%, nomor dua terbesar setelah Toyota, yang pangsa pasarnya 24,7%. Baru pada 1977, Mitsubishi mulai memasarkan jenis sedan. Jenis sedan Mitsubishi yang dikenal publik Indonesia adalah Lancer dan Galant. Pertumbuhan penjualannya cukup cepat, tetapi karena volumenya merupakan bagian yang kecil dari seluruh penjualannya, maka bagi Mitsubishi, penjualan sedannya nampak hanya merupakan "usaha sampingan". Sekalipun demikian, pertumbuhan penjualan sampai 1990, sebelum diberlakukannya kebijaksanaan moneter ketat oleh pemerintah, cukup cepat. Volume penjualan sedan Mitsubishi mencapai rekor 4421 unit pada 1990, padahal pada 1988, penjualan baru mencapai 1128. Pangsa pasar sedan Mitsubishi terus menanjak, menggeser kedudukan sedan merk lain. Pada 1988, pangsa pasar sedan Mitsubishi di Indonesia baru 3,5%. Pada 1990, meningkat menjadi 7,8%, dan dua tahun berikutnya naik lagi menjadi 9,9%. Tahun 1993, sampai September, pangsa pasar sedan Mitsubishi naik lagi dan sudah mencapai 11%. Penjualan Mitsubishi pada 1991 mencapai rekor, seperti yang dialami merk lain. Ini adalah tahun "boom" bagi ekonomi Indonesia dan bagi industri otomotif. Pada tahun itu, volume penjualan Mitsubishi meningkat 30%, dan mencapai rekor 51.430 unit. Ini adalah akibat lonjakan penjualan kendaraan komersial yang naik 36%. Pangsa pasar kendaraan komersial Mitsubishi menggeser pangsa pasar merk lain, sehingga pangsa pasar kendaraan komersialnya naik dari 16,6% menjadi 22,8%. Jenis truk Colt diesel 6 roda mencapai penjualan rekor 16.937 unit. Penjualan sedannya, sekalipun turun 15%, tapi pangsa pasarnya naik dari 7,8% menjadi 8,2% pada 1991. Tapi keadaan berobah dengan cepat. Setahun berikutnya, tahun 1992, merupakan tahun yang cukup parah bagi KTB dan Mitsubishi. Setelah mengalami "boom" penjualan pada 1991, dimana penjualan mencapai rekor diatas 51.000 unit, penjualan Mitsubishi anjlog 46% menjadi hanya 27.900 unit, karena jatuhnya penjualan kendaraan komersial dengan 48% . Penjualan truk Colt diesel 6 roda, turun tajam, dari 16900 menjadi hanya 6300. Pangsa pasar kendaraan komersialnya turun dari 22,8% menjadi 19,3%. Akibatnya, stok kendaraan niaga menumpuk, dan pembayaran dari dealernya juga mulai seret. Pabrik perakitannya terpaksa mengurangi produksi dengan mengurangi jam kerja karyawannya. Tapi keadaan yang cukup menyakitkan ini nampaknya sudah berakhir. Tahun 1992, bagi Mitsubishi merupakan titik dasar, yang diharapkan tak akan berulang lagi. UNTUNG, ADA VITARA BAGI Indo Mobil, mimpi buruk yang terjadi sejak 1991, nampaknya mulai berakhir. Penjualan mobil Suzuki, produksi utamanya, selama 1993 ini mulai bangkit lagi. Antara Januari- Oktober 1993 dan Januari- Oktober 1992, volume penjualan Suzuki naik 24%. Penjualan mini bus Carry St-100, Vitara, dan Esteem selama sepuluh bulan 1993, bahkan sudah melampui penjualan seluruh tahun 1992. Begitu juga, penjualan truk dan bus Hino, yang ambruk pada 1992, sampai Oktober 1993, sudah meningkat lebih dua kali lipat seluruh volume penjualan tahun 1992. Penjualan Hino mencapai rekor pada 1990, ketika yang terjual mencapai 5578 unit. Puncak penjualam mobil Suzuki terjadi pada 1990, ketika ditengah tengah ekonomi Indonesia yang panas, volume penjualan mencapai 54.400, atau peningkatan 37% dari tahun sebelumnya. Tapi keadaan berobah, ketika TMP diberlakukan. Tahun berikutnya penjualan Suzuki merosot 22%, lalu merosot lagi 26%. Penurunan yang cukup tajam selama dua tahun berturut turut cukup menyakitkan bagi Indo Mobil. Suzuki Futura, yang diperkenalkan pada 1990, dan yang penjualannya sempat melejit hingga mencapai 16.300 unit pada 1991, pada 1992, ambruk dengan yang terjual hanya 7000 unit. Begitu juga dengan Katana, yang turun dari 9.400 unit menjadi 5.300 unit. Untung ada Vitara. Bagi Indo Mobil, Vitara benar benar merupakan dewa penyelamat, karena tanpa kehadiran dan sukses Vitara, penurunan penjualan Suzuki akan lebih parah lagi. Jeep Vitara, yang diperkenalkan pada 1992, benar-benar merupakan bintang, dan menjadi buah bibir penggemar mobil. Sekalipun dikatagorikan sebagai Jeep, bentuk Vitara, dan interior serta kenyamanan pengendaranya, beda sedikit dengan sedan. Mungkin ini daya tarik utama Vitara. Begitu diluncurkan pada 1992, Vitara bisa terjual 4050 unit. Laris seperti kacang goreng. Dan ini terjadi ditengah suasana pasar otomotif yang paling parah. Maka bisa dimengerti bila dalam situasi pasar makin pulih pada 1993, penjualan Vitara masih tetap kuat. Selama sepuluh bulan sampai Oktober 1993, penjualan Vitara sudah mencapai 4740 unit. Kisah yang dialami Vitara benar benar kontras dengan yang dialami rekannya, Suzuki Jimny. Sejak diperkenalkan pada 1988, Jimny tak berkembang, bahkan penjualannya terus merosot. Penjualan tahun lalu, hanya 386 unit, jauh dibawah volume penjualan lima tahun sebelumnya, yang mencapai 569 unit. Dikelas mobil penumpang, dua merek Suzuki yang dipasarkan cukup memberi hasil dan bahkan mungkin juga prospek. Suzuki Forsa bersaing untuk kelas 1300 cc, sedangkan Suzuki Esteem bersaing di kelas 1600 cc. Forsa, dengan bentuk sedan mini, mempunyai disain badan yang cukup menarik, disamping praktis .Forsa yang terjual tahun lalu hanya 2320 jauh dibawah yang 4200, yang terjual pada 1990. Tahun lalu, pangsa pasar Forsa adalah 7,8%, merupakan pangsa ke empat terbesar dari 32 jenis merek kendaraan penumpang yang ada. Untuk kelas 1300 cc, pangsa pasar Forsa mengungguli Ford Laser 1,3. Pada 1992, Suzuki meluncurkan jenis sedannya yang kedua, Suzuki Esteem. Tahun pertama, volume penjualan berjumlah 385 unit, dan merebut 1,3% pangsa pasar sedan, mengungguli sedan lain yang sudah lama hadir, seperti Mazda Interplay, dan Corolla 1,3. Promosi Esteem dilakukan dengan gencar, terutama lewat iklan di televisi. Mungkin berkat promosi yang gencar ini, penjualan Esteem selama sepuluh bulan 1993 telah mencapai 557 unit, atau 45% lebih tinggi dari yang terjual untuk seluruh tahun 1992. Disamping Forsa dan Esteem, Indo Mobil juga menangani pemasaran sedan Mazda, yang diambil oper dari PT National Motors. Ada tiga jenis Mazda yang dipasarkan : Mazda Cronos/626, Mazda 323 Interplay, dan MR 90. Selama empat tahun terakhir, terjadi pergeseran-pergeseran yang cukup besar dalam volume penjualan ketiga jenis ini. Pada 1989, jenis 626,terjual paling besar. Tahun berikutnya penjualan terbesar berasal dari Mazda 323, dan pada 1991 dan 1992, penjualan Mazda MR 90 yang terbesar. Secara bersama, pangsa pasar sedan Mazda adalah 4% dari seluruh penjualan kendaraan sedan, sedikit diatas pangsa pasar Mitsubishi Eterna. Penjualan Mazda cukup bersemarak selama dua tahun, pada 1990, dan 1991, ketika penjualannya mencapai masing masing 4339 unit dan 4402 unit. Selama dua tahun itu, penjualan Mazda berada diatas sedan Suzuki. Tapi pada 1992, penjualan Mazda anjlog menjadi hanya 1231 unit. Dan pada 1993, sampai Oktober, penjualannya baru mencapai 926 unit, jauh ketinggalan dari Suzuki. Untuk meningkatkan penjualan Mazda ini, Indo Mobil mencoba untuk mengekspor MR 90, dan tahun lalu berhasil mengekspor sejumlah 297 unit. Disamping itu jenis yang diproduksi ditambah satu lagi, yaitu Mazda Vantren, semacam kendaraan famili dengan bentuk "station wagon". Dengan harga sekitar Rp 27,5 juta, Mazda Vantren jelas berusaha untuk menembus segmen pasar yang selama ini didominasi Kijang. Indo Mobil sadar bahwa perkembangan Mazda dimasa depan tergantung biaya produksi. Dan ini berarti peningkatan penggunaan komponen produksi lokal. Untuk keperluan inilah, maka Indo Mobil pada 1990, menanam modal Rp 58 miliar untuk mendirikan pabrik komponen Mazda di Bekasi. Dengan adanya investasi ini, maka diperkirakan 70% komponen Mazda sudah menggunakan komponen buatan lokal. Kapasitas produksi Indo Mobil untuk kerek Suzuki, menurut catatan Departemen Perindustrian adalah 90.000 unit. Ini lebih tinggi dari kapasitas yang dimiliki Toyota atau Mitsubishi. Produksi tahun 1992 dan 1993, hanya menggunakan sepertiga kapasitas. Apabila, penjualan Suzuki tidak dapat ditingkatkan dengan cepat, maka Indo Mobil akan terbebani biaya kelebihan kapasitas, yang akan mengurangi labanya. Untuk mempercepat peningkatan volume penjualannya, Indo Mobil sekarang aktif menjajagi kerjasama dengan perusahaan-perusahaan di Vietnam, Filipina, dan Cina. Indo Mobil berniat untuk melakukan relokasi pabrik karoserinya yang ada di Pulo Gadung, Jakarta Timur, ke Vietnam. Pelaksanaan relokasi pabrik yang berkapasitas 30.000 unit setahun ini akan berlangsung pada 1994. Di Filipina Indo Mobil punya angan-angan untuk melakukan modifikasi kendaraan komersial Suzuki menjadi "jeepney", jenis kendaraan angkutan yang populer di Filipina. Sedangkan di Cina, Indo Mobil sudah mempunyai perusahaan patungan dengan sebuah BUMN untuk membangun pabrik perakitan di Fujian. Seperti industri perakitan mobil yang lain, Indo Mobil juga mendirikan lembaga keuangan bukan bank yang memberi kredit pembelian kendaraan bermotor merek yang diproduksinya. Ketiganya merupakan hasil kerja sama masing masing dengan Yayasan Dana Pensiun BNI, Yayasan dana Pensiun BRI, dan Marubeni Corporation. LKBB ini diketahui mempunyai posisi kredit sekitar Rp 650 miliar, dari omset sekitar Rp 1,2 trilliun pada 1992. YANG MEWAH,BELUM MERIAH DI Indonesia, pasar mobil mewah didominasi oleh mobil non- Jepang, seperti Mercedez Benz, BMW dan Volvo. Mercy dan BMW bersaing ketat dalam memperebutkan dominasi pasar mobil mewah disini. Semula, pangsa pasar mobil mewah ini didominasi oleh Mercy. Tapi kemudian BMW berhasil menggeser kedudukan Mercy. Antara 1988 dan 1992, pangsa pasar Mercy untuk jenis kendaraaan penumpang, turun dari 4,1% menjadi 2,3%. Pangsa pasar BMW, dalam waktu yang sama meningkat dari 1,1% menjadi 4,7%. Pada 1993, terlihat tanda tanda bahwa pasar mobil mewah ini mulai meningkat lagi setelah anjlog pada 1992. Penjualan Mercy pada 1993, sampai Oktober sudah mencapai 638 buah, dibanding 701 buah yang terjual untuk seluruh tahun 1992. Dalam waktu yang sama sedan BMW yang terjual mencapai 1133 buah, dibanding 1414 buah yang terjual untuk seluruh tahun 1992. Sedan Volvo yang terjual sampai Oktober 1993 mencapai 162 buah, atau sama dengan jumlah yang terjual untuk seluruh tahun 1992. Anjloknya penjualan mobil pada 1992, bagi kelas mobil mewah terasa lebih menyakitkan dari merk lain, karena penurunannya lebih tajam dibanding penurunan penjualan merk lain. Pada 1992, mobil sedan Mercy yang terjual hanya 701 buah, atau hanya 57% dari penjualan pada 1991 penjualan BMW dan Volvo, masing masing hanya 45% dan 38% dari penjualan tahun sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa konsumen kelas atas, dengan daya beli yang tinggi juga terpengaruh dampak TMP . Pada 1990, ditengah ekonomi yang memanas, dan ditengah kredit bank yang diobral, penjualan mobil mewah mengalami panen yang cukup besar. Mereka yang ingin membeli Mercy atau BMW harus antri, menunggu beberapa bulan, sebelum bisa mendapatkan barangnya. Antara 1989 dan 1990, Volvo yang terjual melonjak dari 284 buah menjadi 519 buah Mercy yang terjual meningkat dari 1319 menjadi 1860 buah dan penjualan BMW melonjak dari 1713 buah menjadi 3064 buah. Pada 1992, ketika pasaran anjlog kelompok PT Star Motor yang memproduksi Mercy mengalami kesulitan keuangan yang cukup berat, sehingga melakukan tindakan yang cukup drastis untuk mengatasinya. Restrukturisasi organisasi dilakukan untuk mempertahankan efisiensi. Star Motor, yang semula merupakan ATPM, fungsinya diubah menjadi distributor. Sekitar 400 karyawan kontrakan harus dirumahkan, dan kemudian 180 karyawan tetap harus menerima pemutusan hubungan kerja. Tapi tahun ini, untuk memanfaatkan pulihnya kembali pasar mobil kelas atas, PT Star Motors akan meluncurkan Mercy seri C- class, atau C-180. Ini adalah jenis Mercy yang harganya agak "miring", tapi tanpa pengurangan segala atribut dan mutu yang dimiliki Mercy. Dengan harga antara Rp 140-150 juta, Mercy jenis ini kemungkinan besar akan merebut banyak pembeli, terutama dari golongan konsumen, yang selama ini ingin memilik Mercy dan menikmati gengsi tersendiri, tapi yang uangnya tidak cukup. Golongan ini, selama ini hanya puas dengan membeli Honda. Maka bila rencana ini dilaksanakan, Mercy C-180 akan sangat mengancam pasar Honda kelas 2000 cc, karena dengan harga yang tak jauh berbeda, konsumen ini bisa memiliki sebuah Mercy. Tapi yang akan terancam dengan kehadiran Mercy C-180 tentunya bukan saja Honda. Pasar BMW juga akan terancam. Untuk menghadapi serangan Mercy C- 180 ini, PT Tjahaja Sakti Mptor Corporation akan meluncurkan New BMW 320i, dengan kapasitas 2000 cc, 6 cilinder. Sedan yang mesinnya menggunakan sistim Vanos ini akan diposisikan untuk pasar Rp 125 juta (on the road). Persaingan bagi BMW tak akan berhenti pada persaingan harga saja. PT TSMC juga akan melakukan investasi Rp 800 juta untuk membeli peralatan service, karena BMW ingin meningkatkan mutu service yang eksklusiv yang selama dilakukan di 23 pusat service di 23 lokasi di seluruh Indonesia. MASALAH TEHNOLOGI BUAT KAROSERI INDUSTRI karoseri tumbuh pesat karena mereka merupakan penghubung antara kendaraan komersial dan kebutuhan kendaraan penumpang. Kebutuhan kendaraan penumpang yang terus meningkat tidak seluruhnya dipenuhi oleh jenis sedan. Harga sedan yang tinggi merupakan kendala bagi konsumen dengan penghasilan sedang. Kendaraan niaga yang diubah menjadi kendaraan sedan telah bisa memenuhi kebutuhan ini. Dan ini bisa terlaksana berkat hadirnya industri karoseri. Industri ini misalnya mengubah kendaraan pick- up menjadi kendaraan penumpang dengan membuat badan. Pada 1992, dengan anjloknya pasar mobil, industri karoseri juga ikut kena getahnya. Banyak industri ini yang harus mengurangi produksi, menutup pabriknya, dan memberhentikan karyawannya. Di Jawa Timur, jumlah industri karoseri yang semula sekitar 57, hanya 30 yang masih bekerja. Adiputro, salah satu industri karoseri yang cukup terkenal, harus merumahkan karyawannya sebanyak 350 orang. Tapi membaiknya pasar otomotif, ternyata tak berarti membaiknya situasi industri karoseri. Sekarang industri ini meghadapi tantangan lain yang cukup berat : munculnya tehnologi "full press body". Dengan tehnologi ini, maka ATPM lebih suka mendirikan industri karoseri sendiri, dan merakit badan mobilnya sendiri dari pada menyerahkannya kepada perusahaan karoseri diluar. Tehnologi "full press body" (FPB) ternyata lebih murah, dan lebih unggul mutunya. Lengkungan-lengkungan tampak lebih halus, lebih tahan korosi, dan yang tak kalah pentingnya, setiap order paling lama hanya makan waktu satu minggu, dibanding tiga minggu, kalau dikerjakan industri karoseri biasa. FPB adalah tehnik pembuatan badan kendaraan yang bebas dempul. Dengan tehnik ini, panil badan samping misalnya, tak perlu terpisah dalam lima bagian lagi. Malah, panil samping yang sudah menyatu itu, kemudian menyambung secara utuh dengan bagian atas mobil. Artinya, ketiga sisi badan itu merupakan rangkaian utuh yang tak terpisahkan lagi. Tehnik FPB juga unggul dalam produktivitas. Tehnik ini menungkinkan produktivitas karyawan mencapai rata rata 4,7 unit per bulan, dibanding hanya 2,5 unit rata rata per bulan pada tehnik karoseri biasa. Bagi Toyota Kijang, yang produksinya 700 unit setiap bulan, tehnik FPB berarti cukup dikerjakan oleh 148 tenaga kerja saja. Dengan karoseri biasa, jumlah ini memerlukan 280 karyawan. Apabila industri karoseri masih ingin bertahan, mereka mau tak mau harus menyesuaikan diri dengan menggunakan tehnologi FPB ini. Ini berarti mereka harus menambah investasi lagi. Mereka tak bisa mengharapkan bantuan pemerintah. Pemerintah paling hanya menghimbau agar para ATPM memperhatikan nasib industri karoseri yang semula menjadi langganannya. Dan bagi ATPM yang penting adalah menyajikan kepada konsumen, produk yang lebih murah dan lebih bermutu. Namun demikian, ini tak berarti semuanya serba gelap bagi industri karoseri. Bagaimanapun, industri karoseri lebih luwes dalam menciptakan berbagai model, dibanding FPB. FPB lebih kaku, karena sekali menciptakan model, sulit untuk mengubahnya ke model yang lain. Untuk melakukannya, diperlukan investasi lagi yang cukup besar. Benar bahwa industri karoseri tergeser oleh FPB dalam menghasilkan kendaraan penumpang pribadi. Tapi pasar untuk kendaraan penumpang umum, masih cukup besar. Kendaraan ini, tidak memerlukan FPB, karenanya masih bisa digarap oleh industri karoseri. Bagi industri karoseri yang 80% ordernya adalah kendaraan penumpang umum, meninggalkan yang 20% kendaraan penumpang pribadi, seharusya tidak terasa sakit benar. Atau mereka masih tetap bisa memilih untuk melakukan FPB untuk menyaingi FPB yang dikerjakan ATPM. Tapi ini berarti mereka harus mampu menyediakan Rp 2 miliar untuk investasi pembelian peralatan. KELEBIHAN BEBAN KAPASITAS SERING terdengar keluhan bahwa harga kendaraan bermotor di Indonesia merupakan harga tertinggi di dunia. Pendapat ini mungkin berlebihan. Tapi konsumen disini memang bisa dengan gampang membandingkan harga mobil disini dengan harga di negara negara tetangga, seperti Singapura, Malaysia atau Muang Thai. Dan memang tidak bisa disangkal, bahwa harga kendaraan bermotor di Indonesia memang lebih tinggi dari harga di negara tetangga. Kapasitas produksti industri perakitan otomotif di Indonesia terus meningkat. Eskalasi ini terjadi karena beberapa kelompok perusahaan besar yang mempunyai koneksi politik yang kuat berhasil menarik prinsipal di luar negeri, dan berhasil membujuk pemerintah untuk memberi ijin produksi. Pertambahan kapasitas terus terjadi sekalipun pertambahan produksi tidak meningkat pesat. Bahkan ketika terjadi "boom" penjualan pada 1990, jumlah produksi hanya menggunakan kurang separuh kapasitas yang ada. Produksi otomotif tahun ini, bahkan hanya akan menggunakan sekitar sepertiga kapasitas yang ada. Kelebihan kapasitas produksi ini merupakan beban biaya yang harus ditanggung dan dibebankan dalam kalkulasi harga penjualan. Industri otomotif juga ditandai dengan terlalu banyaknya merk, padahal volume tiap merk terlalu kecil untuk bisa mendukung satu skala ekonomi produksi yang efisien. Sekarang ini ada sekitar 24 merk. Tapi 90% pasar hanya dikuasai oleh 5 merk saja. Sisanya yang 10% diperebutkan dinatara 19 jenis merek. Pajak dan bea masuk, merupakan komponen lain yang penting, yang menyebabkan tingginya harga kendaraan bermotor. Bea masuk dan pajak penjualan yang tinggi sudah dikenakan terhadap komponen CKD yang diimpor. Ketika sudah dirakit menjadi barang jadi, pajak penjualan dan pajak penjualan barang mewah, juga dikenakan lagi. Pajak penjualan barang mewah ini dikenakan terhadap seluruh jenis kendaraan bermotor, termasuk jenis kendaraan niaga yang bukan barang konsumsi seperti truk. Dan baru mulai Januari 1994 ini saja, PPn dan PPN barang mewah beberapa kendaraan niaga diturunkan atau dihapuskan. Dengan struktur pungutan pajak seperti ini, maka dari setiap harga penjualan, sekitar 50-60% harga yang dibayar pembeli, merupakan penerimaan pemerintah. Secara politis, memang sulit bagi pemerintah untuk meninjau tarip pajak dan pungutan pada penjualan kendaraan bermotor. Pembelian barang ini merupakan belanja konsumtif untuk berang mewah. Sekalipun secara ekonomis benar, bahwa bila pajak penjualan atau bea masuk komponen diturunkan akan bisa menurunkan harga jual, dan demikian akan mendorong pemasaran dan produksi produk otomotif, tapi sulit pada saat ini, pemerintah menanggung risiko ekonomis dan politis. Keperluan APBN untuk penerimaan dana masih terus mendesak, terutama karena beban pembayaran cicilan utang luar negeri pemerintah terus meningkat. Dalam situasi seperti ini, sulit untuk menyakinkan pemerintah perlunya menurunkan pajak penjualan otomotif. tb Jumlah Perakitan dan Kapasitas produksinya, 1992 ---------------------------------------------------------- No. : Nama Perusahaan Perakitan : Kapasitas : Tenaga . Menurut Izin Kerja . (Unit) (Orang) ---------------------------------------------------------- 1. : PT. Alun : 1.500 : 167 2. : PT. Garmak Motor : 20.000 : 407 3. : PT. Gaya Motor : 170.000 : 2.121 4. : PT. Indomobil Suzuki International : 90.000 : 1.019 5. : PT. German Motor : 8.000 : 1.500 6. : PT. Krama Yudha Ratu Motor : 60.000 : 577 7. : PT. Ismac : 15.000 : 773 8. : PT. Toyota Astra Motor Assembly Plant : 80.000 : 1.125 9. : PT. Panca Motor : 11.300 : 427 10. : PT. Udatin : 12.000 : 124 11. : PT. Krama Yudha Kesuma Motor: 12.600 : 242 12. : PT. National Assemblers : 15.000 : 484 13. : PT. Prospect Motor : 15.000 : 345 14. : PT. Permorin : 10.000 : 201 15. : PT. I.S. C. : 10.000 : 457 16. : PT. Krama Yudha SMM* : 50.000 : 0 17. : PT. Imer Motor* : 10.000 : 0 ---------------------------------------------------------- Catatan: *= Tidak aktif Sumber: Departemen Perindustrian BESAR, TAPI KECIL BESARKAH prospek pasar kendaraan bermotor di Indonesia ? Sekalipun jumlah penduduk negeri ini sudah mendekati 200 juta, tapi hambatan utama bagi tumbuhnya industri otomotif adalah pendatan per kapita yang masih rendah. Tidak meratanya distribusi pendapatan juga merupakan faktor lain yang bisa menghambat. Hanya sebagian kecil penduduk yang mampu membeli kendaraan bermotor. Pada 1992, perkiraan menunjukkan bahwa dari setiap 1000 penduduk Indonesia, hanya 14 orang yang memiliki kendaraan bermotor. Di Malaysia, terdapat 103 orang yang memiliki kendaraan untuk setiap 1000 penduduk. Pendapatan per kapita Malaysia memang hampir lima kali lipat pendapatan per kapita Indonesia. Perbandingan yang sama, menunjukkan angka 48 di Muang Thai dan 58 di Korea Selatan. Pada akhirnya, pertumbuhan ekonomi dan kenaikan pendapatan memang akan meningkatkan pasar kendaraan bermotor. Jumlah kelas menengah di Indonesia yang mampu membeli kendaraan makin meningkat. Peningkatan penghasilan mereka berjalan dengan lebih cepat dari golongan lain. Anggaran pembangunan pada APBN untuk sektor- sektor yang bisa meningkatkan permintaan kendaraan bermotor juga meningkat lebih cepat dari pertumbuhan ekonomi. Anggaran pembangunan untuk prasarana transportasi, misalnya, selama Repelita V mencapai jumlah Rp 12 tiriliun, dan pada Repelita VI akan meningkat menjadi Rp 22 triliun. Anggaran untuk pembangunan daerah dan transportasi, untuk waktu yang sama juga akan meningkat dari Rp 15 triliun menjadi Rp 34 triliun. Sering dikritik bahwa industri otomotif, merupakan industri yang memboroskan banyak devisa, tanpa memberi imbalan berarti dalam penghasilan devisa karena masih kecilnya ekspor. Pada tahun 1990, ketika produksi otomotif mencapai puncaknya, impor kendaraan bermotor dalam bentuk CKD dan komponen-komponennya, mencapai $ 1,4 miliar. Pada saat yang sama, ekspor kendaraan bermotor dan komponen, hanya berjumlah $ 33 juta. Sebagian besar, yaitu $ 25 juta merupakan ekspor komponen. Pada 1992, ekspor kendaraan meningkat menjadi $ 10 juta, sementara ekspor komponen mencapai $ 67 juta. Peningkatan ekspor kendaraan bermotor masih mengalami hambatan besar, karena belum kuatnya daya saing. Proteksi yang berlebih lebihan yang selama ini diberikan kepada industri otomotif, tidak merangsang mereka untuk bekerja lebih efisien. Ini menghambat industri otomotif Indonesia untuk meningkatkan data saingnya di pasar internasional. tb Pasar Otomotif ---------------------------------------------------- . : Jumlah : PDB : Otomotif/ . Penduduk per Capita : Penduduk . (juta) (1992-US$) : ('000) ---------------------------------------------------- Malaysia : 18 : 2,965 : 103 Korea Selatan : 43 : 6,749 : 58 Muangthai : 57 : 1,660 : 48 Indonesia : 183 : 645 : 14 ---------------------------------------------------- SUDAH TUA, TAPI BELUM BERBOBOT PEMBANGUNAN industri otomotif, dilihat oleh pemerintah Indonesia sebagai sesuatu yang strategis, dan tidak semata mata ekonomis. Struktur geografis Indonesia yang luas, yang terdiri dari berbagai pulau, menimbulkan sikap, bahwa Indonesia harus memiliki industri alat transportasi sendiri yang kuat, dan bahwa pemenuhan kebutuhan terhadap peralatan ini, tidak bisa tergantung dari negara lain. Disamping itu, pemerintah berpendapat bahwa produksi kendaraan niaga lebih penting dari produksi kendaraan sedan. Kendaraan niaga diperlukan untuk mengangkut barang dan penumpang, dan secara ekonomis, lebih bermanfaat dari mobil sedan. Karena itulah, sekarang ini, 80% produksi otomotif merupakan kendaraan niaga, sedangkan sisanya berupa mobil sedan dan jeep. Kebijaksanaan pemerintah dalam pengembangan industri otomotif, dengan sendirinya merupakan refleksi dari sikap dasar pemerintah ini. Tujuan utama kebijaksanaan pengembangan industri otomotif, adalah membangun industri otomotif yang seluruh komponennya menggunakan komponen buatan dalam negeri, atau dengan kata lain, Indonesia harus mampu menghasilkan mobil yang 100% buatan Indonesia, dan produksi ini pada akhirnya harus dapat mengganti impor. Program penanggalan dikeluarkan, dan batas waktu juga ditetapkan, sekalipun penetapan batas waktu sudah mundur dan berobah beberapa kali. Karena pertimbangan politis dan strategis ini, maka industri otomotif, diberi proteksi yang sangat besar. Faktor ekonomis, faktor biaya dan efisiensi tidak menjadi pertimbangan utama. Tapi situasi menjadi lebih kompleks lagi, karena ternyata beberapa ATPM yang baru masuk ternyata merupakan bagian kelompok perusahaan yang mempunyai koneksi politik yang kuat. Mereka melihat peluang untuk mengeduk keuntungan yang besar dari pasar dalam negeri yang ditutup rapat dari persingan impor. Keadaan ini mengakibatkan bahwa deregulasi yang akan membuka lebih lebar lagi industri otomotif, akan sulit sekali dilaksanakan. Deregulasi otomotif yang dikeluarkan pada Juni 1993 itu juga bukan merupakan perobahan yang substanstiv. Dalam paket deregulasi tersebut terasa sekali pengaruh pertimbangan "kepentingan nasional", dan pengaruh kelompok perusahaan- perusahaan besar yang menjadi ATPM, dalam perumusan deregulasi. Industri otomotif di Indonesia sudah cukup tua, tapi proteksi yang sudah lama, dan belum jelas kapan akan berakhir, mengakibatkan industri yang penuh kontroversi ini terhambat untuk menjadi industri yang berbobot.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus