Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebetulnya, dugaan adanya penyimpangan itu telah kencang terdengar sebelum Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas)---instansi yang bertugas untuk menyalurkan JPS---resmi mengakuinya bulan lalu. Aksi unjuk rasa pun telah ramai digelar. Namun, segala keriuhan tersebut tampaknya kurang ditangkap oleh responden jajak pendapat TEMPO, sehingga mayoritas responden (60 persen) mengaku terkejut mengetahui dana JPS akhirnya menyimpang. Barangkali ini bisa dipahami karena jumlah yang hampir sama itu juga mengaku tidak tahu bahwa sebelumnya dana ini telah salah alamat.
Reaksi seperti ini bisa dimengerti karena publik menaruh harapan tinggi pada program ini di tengah krisis ekonomi yang begitu mengimpit. Bagi 36 persen responden, jaring ini adalah sarana pengentasan orang miskin yang andal. Namun, dengan adanya pengakuan dari Bappenas soal kebocoran di atas, responden yang jumlahnya hampir sama banyaknya itu kemudian menyimpulkan bahwa dana tersebut merupakan sumber kolusi dan korupsi baru. Adapun yang menyebut dana ini tak lebih dari proyek penghambur-hamburan uang juga cukup kecil. Angka itu kalah bila dibandingkan dengan yang menyebut program ini membuat ketergantungan pada lembaga donor makin tinggi.
Yang menyebut program ini adalah penghamburan uang tampaknya merujuk pada permasalahan utama: dana telah salah alamat. Di luar jajak pendapat ini, ada yang menyebut kesalahan bermula pada tidak sahihnya data dari Biro Pusat Statistik (BPS) dan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN)---jelas tak menerima tudingan tersebut---tentang keluarga prasejahtera dan miskin. Yang pasti, bila kita kembali merujuk hasil jajak pendapat TEMPO, salah alamat memang terlihat nyata.
Sekalipun responden yang pernah menerima dana JPS hanya 21 orang, alias 4 persen dari total responden, sepertiga di antara mereka---alias kelompok terbesar---justru berpenghasilan di atas Rp 1 juta per bulan. Tentu saja, untuk wilayah Jakarta, angka ini jauh dari kategori miskin (sekitar Rp 200 ribu per bulan) yang dikeluarkan BPS tahun lalu. Contoh salah alamat yang paling konyol adalah limpahan dana bagi penduduk kawasan elite Kelapagading. Ketika bingung membelanjakan duit, mereka bukannya mengembalikan uang itu, tapi justru m mbuat lapangan bola.
Dengan adanya fakta seperti itu---mungkin juga ditemukan responden di lapangan---tak mengherankan bila rakyat penerima bantuan juga ikut dituding oleh responden sebagai pihak yang bersalah atas penyimpangan ini. Namun, pihak yang paling bersalah atas ketidakbecusan ini tetaplah pemerintah sebagai polisi pengatur uang. Urutan terdakwa berikutnya adalah lembaga swadaya masyarakat penyalur bantuan.
Bagaimanapun besarnya angka penyimpangan, responden tetap realistis melihat JPS sebagai dewa penolong pada saat terjepit seperti ini. Karena itulah 56 persen di antaranya menghendaki program JPS ini diteruskan, tentu dengan syarat: ada perbaikan. Namun, jumlah yang menghendaki agar program ini dihentikan sama sekali juga lumayan banyak. Tampaknya, selain memberikan harapan, program ini juga menimbulkan frustrasi yang lumayan hebat bagi responden.
Tentang bagaimana sebaiknya rakyat kecil ditolong, sikap responden cukup simpatik. Pilihan terbesar adalah mendapatkan kredit usaha tanpa bunga. Jawaban ini berselisih jauh bila dibandingan dengan pemberian modal yang berupa hibah. Artinya, sebagian besar responden menyatakan bahwa rakyat kecil memang perlu ditolong, tapi tak perlu merendahkan harga diri yang bersangkutan. Ini tentu saja dengan harapan, kredit yang tanpa bunga ini tak lagi salah alamat.
Yusi A. Pareanom
INFO GRAFISApakah Anda pernah menerima dana JPS? | Ya | 4% | Tidak | 96% | | Apakah Anda terkejut ketika dana JPS akhirnya salah alamat? | Ya | 60% | Tidak | 30% | Ragu-ragu | 10% | | Bagaimana sikap Anda terhadap program JPS setelah ada penyimpangan? | Diteruskan dengan perbaikan | 56% | Dihentikan sama sekali | 34% | Diteruskan tanpa syarat | 2% | Tidak tahu | 6% | | Siapa yang paling bertanggung jawab terhadap penyimpangan dana? | Aparat pemerintah | 65% | LSM penyalur bantuan | 50% | Rakyat penerima bantuan | 11% | Bank Dunia dan lembaga donor lain | 9% | | Apa arti dana JPS bagi Anda? | Sarana pengentasan orang miskin | 36% | Sumber korupsi dan kolusi baru | 50% | Proyek yang membuat pemerintah jadi bergantung pada lembaga donor asing | 13% | Proyek penghambur-hamburan uang | 9% | | Bagaimana sebaiknya rakyat kecil ditolong? | Diberi kredit tanpa bunga | 53% | Dijadikan anak angkat perusahaan besar | 24% | Diberi modal yang berupa hibah | 16% | Tidak tahu | 6% | | |
Metodologi jajak pendapat ini:
Penelitian ini dilakukan oleh Majalah TEMPO bekerja sama dengan Insight. Pengumpulan data dilakukan terhadap 508 responden di lima wilayah DKI pada 27 April-3 Mei 1999. Dengan jumlah responden tersebut, tingkat kesalahan penarikan sampel (sampling error) diperkirakan 5 persen.
Penarikan sampel dilakukan dengan metode random bertingkat (multistages sampling) dengan unit kelurahan, RT, dan kepala keluarga. Pengumpulan data dilakukan dengan kombinasi antara wawancara tatap muka dan melalui telepon.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo