Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Krueng Geukeueh Berdarah

Aceh rusuh, puluhan warga tertembak mitraliur, ratusan terluka. Militer bilang, itu untuk membela diri dan melindungi instalasi vital. Konon, ada provokator Kopassus.

10 Mei 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Suasananya terasa lengang bak daerah tak bertuan. Sejumlah tentara berbaju loreng dengan senjata lengkap tampak berseliweran dengan mata nyalang, waspada. Penduduk, yang ditaksir mencapai 6.000 jiwa, mengungsi ke luar desa?dan agaknya mereka tak berani pulang. Belum hilang rasa takut penduduk akibat peristiwa berdarah di simpang Jalan KKA (pabrik Kertas Kraft Aceh), Krueng Geukeueh, Kecamatan Dewantara, Aceh Utara, Senin pekan lalu. Tak kurang dari 40 orang tewas dan seratus orang lebih luka parah, termasuk wanita dan anak-anak. Peristiwanya berawal ketika masyarakat Desa Cot Murong, dua pekan lalu, tengah menyiapkan kenduri untuk memperingati Hari As-Syura (10 Muharam)?salah satu hari besar Islam. Tak jelas apa asal-muasalnya, sekelompok tentara datang mengancam penduduk desa dan memukuli tukang masak serta beberapa warga lain. "Hampir saja keributan besar terjadi. Untung saja warga dan pejabat Kecamatan Dewantara bisa menahan diri," ujar Muchtar, warga setempat. Agar keributan tak meluas, diambil kesepakatan tertulis. Militer diwakili komandan rayon militer (danramil), sedangkan warga diwakili pamongnya, Camat Dewantara, Marzuki. Isinya: tentara tak akan mengganggu acara kenduri itu. Dapur umum dipindahkan ke Desa Lancang Barat, sekitar satu kilometer dari Cot Murong. Malam harinya, di Desa Lancang Barat, diadakan ceramah terbuka untuk masyarakat setempat. Di tengah-tengah kerumunan warga, ditangkap seseorang yang mencurigakan, membawa pistol dan handy talkie. Setelah digeledah, ia mengaku sebagai tentara Bintara Seksi Pengaman Detasemen Peluru Kendali Artileri Pertahanan Udara (Denrudal Arhanud) 001/Pulorungkom bernama Sersan Kepala Editiawarman. Dikhawatirkan menjadi masalah besar, Sersan Edi dilepas pulang. Benar saja, ternyata tentara itu hingga kini belum kembali ke kesatuannya. Esoknya, Minggu, 50 orang tentara menyatroni desa, mencari kawannya yang hilang. Penduduk, yang masih mengalami trauma akibat penculikan dan pembunuhan di masa DOM (daerah operasi militer, yang resmi dihentikan tahun lalu), langsung ramai-ramai ke luar rumah. Mereka memblokir laju gerak tentara itu. Warga marah, menganggap pihak tentara ingkar janji karena tetap menyatroni desa. Akhirnya, kesepakatan baru dibuat antara komandan resor militer dan warga setempat. Intinya, tak akan ada lagi sweeping. Setelah masyarakat bubar dan pasukan detasemen rudal kembali ke markasnya, tersebar isu bahwa tentara akan kembali menyerbu desa di malam hari. Malam itu, suasananya bagaikan perang. Warga berjaga-jaga di luar rumah, khawatir ada pasukan ninja menculik penduduk. Belakangan, warga yang berkumpul semakin banyak. Ribuan orang dari berbagai desa di Kecamatan Dewantara berkumpul. Konsentrasi massa berada di dua tempat, di dekat kantor komando rayon militer (koramil), dekat Pasar Krueng Geukeueh, ibu kota Kecamatan Dewantara, dan di simpang Jalan KKA. Mereka menuntut agar dipertemukan dengan bupati, komandan resor militer, dan komandan detasemen rudal. Namun, hingga azan lohor berkumandang, tak ada satu pun pejabat daerah yang nongol. Di tengah massa hanya ada Camat Marzuki. Belum lagi azan selesai, terdengar tembakan ke udara dari dalam markas koramil. Massa marah. Mereka membakar dua sepeda motor milik anggota koramil. Tiba-tiba empat truk berisi pasukan Yonif 113 dari Bireun datang dan massa langsung menghadangnya. Kekuatan pasukan ditambah dengan detasemen rudal. Di saat panas matahari makin menyengat kulit, tiba-tiba saja, dari balik kerumunan tentara, batu-batu mengudara. Tak jelas siapa yang melempar. Para pengunjuk rasa membalas lemparan itu. Namun, tiba-tiba, tretet... tretet... tretet?, mitraliur dari senjata tentara muntah ke tengah-tengah massa. Suasana hiruk-pikuk. Massa kocar-kacir. Puluhan orang sampai terjengkang tertembus peluru. Ratusan lainnya mengalami luka-luka. Selain tertembak, ada yang terinjak kerumunan massa yang panik. Ambulans pun berseliweran mengangkuti para korban kekerasan. Korban meninggal terus bertambah. Menurut keterangan resmi, yang tewas mencapai 40 orang, terdiri atas anak-anak, perempuan, dan laki-laki dewasa. Sekitar 115 orang luka parah. Sekitar 6.000 penduduk meninggalkan desa. Tapi kekuatan tentara terus ditambah. Kamis pekan lalu, Panglima TNI Jenderal Wiranto secara resmi memberangkatkan satu batalyon Pasukan Penindak Rusuh Massal (PPRM) dari Jakarta?semacam pasukan anti-huru-hara atau PHH di Jakarta. Padahal, diam-diam, tiga batalyon pasukan Kostrad sudah dikirim beberapa jam setelah kerusuhan terjadi. Tindakan keras aparat militer ini, selain dipicu oleh hilangnya seorang anggota tentara, menurut Kepala Pusat Penerangan TNI, Mayor Jenderal Syamsul Maarif, juga dengan niat melindungi instalasi vital: markas detasemen peluru kendali. Di situ terdapat gudang amunisi berisi peluru kendali yang sengaja ditempatkan untuk menjaga proyek-proyek penting?di antaranya ladang gas Arun di Lhokseumawe?yang tersebar di Kabupaten Aceh Utara itu. Di sini, selain di Pidie dan Aceh Timur, tuntutan referendum kian menyala. Mereka menggugat pusat yang sewenang-wenang menyedot rezeki Aceh. Tapi pemerintah tidak menganggap serius tuntutan ini, juga tak berniat melepaskan provinsi kaya yang dijuluki Serambi Mekah itu. Seiring dengan demo tuntutan referendum tersebut, entah sudah berapa ratus nyawa tercabut dalam bentrok kekerasan. Rakyat, massa, dan gerakan "radikal" yang menuntut keadilan Republik lantas berhadap-hadapan dengan aparat. Klimaksnya, ya, rentetan bunyi senapan tentara yang menyalak tanpa kendali di Krueng Geukeueh tadi. "Tindakan itu untuk membela diri," kata Syamsul. Masih ada penjelasan tambahan versi militer: keributan disulut gerombolan pengacau liar yang membaur di tengah-tengah massa. Mereka, bersenjata tajam, dengan beringas menyerang tentara. Jika tindakan brutal ini dibiarkan, akan berakibat fatal. Sebab, di dalam kawasan gawat itu tersimpan amunisi dan bahan peledak lainnya. "Di samping mahal harganya, juga mempunyai daya hancur tinggi," ujar Mayjen Syamsul kepada Dwi Wiyana dari TEMPO. Gubernur Aceh, Syamsuddin Mahmud, punya argumentasi lain. Bentrokan berdarah di Lhokseumawe itu adalah akibat banyaknya provokator di daerah tersebut, sebagai ekses dari operasi militer?yang baru distop tahun lalu. "Provokator-provokator itu harus ditangkap," kata Syamsuddin kepada wartawan di Jakarta, pekan lalu. Cuma, Pak Gub tak menyebut siapa gerangan si biang gara-gara, dan apa pula motifnya. Benarkah sinyalemen itu? Sumber TEMPO di Angkatan Laut mengangguk. Dua minggu sebelum kerusuhan terjadi, Detasemen Tempur Marinir yang sedang bertugas di Aceh menangkap seorang prajurit dua. Ia ditangkap ketika sedang mengawasi kompleks Gegana di Lhokseumawe. Ketika diinterogasi, ia bilang berasal dari Kesatuan Kopassus Kartasura. Ia juga mengaku dikirim dengan sekitar 200 orang lainnya (atau setingkat dua kompi) sejak September 1998. Mereka bersenjata AK-47. Oknum Kopassus ini mengatakan diberi perintah membikin kerusuhan di Aceh. Operasi mereka berlangsung sampai tujuh hari sebelum pencoblosan. Targetnya adalah menggagalkan pemilihan umum. Sebenarnya, bentrokan tak perlu terjadi bila tentara mampu menahan diri. Apalagi Komandan Korem 011/Lilawangsa Kolonel Johny Wahab menjamin akan mengamankan jalannya pemilu. Tapi malang tak bisa dicegah, rupanya. Reaksi Jakarta ikut membara. Apalagi muncul suara rakyat setempat yang siap maju dengan "pasukan jihad". "Saya imbau Pak Wiranto jangan memerintahkan pasukan menembak rakyat secara membabi-buta," kata Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama, Abdurrahman Wahid, di Jakarta, pekan lalu. Tapi, faktanya, senapan telah menyalak. Dan korban pun, lagi-lagi, melayang sia-sia.

Ahmad Taufik, Mustafa Ismail, Arief A. Kuswardono (Jakarta), Zainal Bakri (Lhokseumawe)


Korban Krueng Geukeueh
Kerusuhan 3 Mei 1999 di Aceh (sampai Sabtu 8 Mei)
MeninggalLuka parah
Anak-anak
Perempuan
Laki-laki

6 orang
5 orang
29 orang

20 orang
16 orang
79 orang
Jumlah40 orang115 orang
Sumber: TPF Aceh Utara (LSM Birata-Bina Rakyat Aceh Utara), 3-7 Mei 1999

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum