PLUIT tak hendak disulap menjadi penjara Alcatraz, momok para bandit di Amerika Serikat. Dibilang bakal di-set-up ala Benteng Vredeburg di Yogyakarta juga jauh. Tapi, kalau dilihat sepintas, ketiga tempat ini punya kemiripan. Kawasannya dikelilingi pagar tembok besi setinggi tiga meter. Di pintu-pintu masuknya, ada petugas keamanan yang berjaga. Sedangkan di dalamnya, ada pagar kawat berduri berderet-deret. Juga portal-portal di mulut jalanan. Padahal daerah di utara Jakarta ini merupakan kompleks perumahan Cina kaya. Ada apakah gerangan?
Inilah cermin sebuah ketakutan, memang. Setidaknya, trauma atas sebuah kejadian memilukan. Maklum saja, sejak peristiwa amuk massa Mei tahun lalu, sebagian besar warga, terutama etnis Cina di Ibu Kota, selalu dicekam kekhawatiran. Nah, menjelang masa kampanye pemilu Mei ini, kekhawatiran itu makin meningkat. Dengan 48 partai politik dan massa yang tak terkendali, kemungkinan bentrok yang meluas menjadi amuk bukan mustahil meletup lagi. Untuk mengantisipasinya, mereka melakukan apa saja demi menyelamatkan diri, termasuk membangun pagar rumah sekokoh dan setinggi mungkin.
Coba dengar kata para pembangun pagar kota itu. "Pagar tinggi membuat saya dan keluarga menemukan keamanan dan kenyamanan, supaya orang yang tidak saya kenal tidak bisa berbuat macam-macam," papar seorang penghuni kompleks Pluit Estate bernama Surjoedi. Pria Cina kelahiran Medan ini tentu bukan tanpa sengaja meninggikan pagar rumahnya. Ia dan istrinya merupakan jenis orang yang waktunya seharian habis untuk berdagang di Pasar Baru dan Proyek Senen. Sedangkan di rumah ada tiga orang anaknya yang masih SMP dan SD.
Kalau pagar tak tinggi, ia khawatir kejadian buruk kembali terulang. Waktu itu, Mei 1998, ribuan massa yang beringas sudah mendekati kompleks perumahan setelah membakar dan menjarah Mega Mal Pluit dan Wallmart yang berada di kawasan Pluit Estate. Hanya karena kehadiran 300 pasukan Brimob, elite kepolisian, massa yang beringas itu urung masuk kompleks Pluit. Belajar dari pengalaman semasa rusuh itulah, warga sadar bahwa mereka harus melindungi keluarga dan rumahnya sendiri.
Tapi Surjoedi tak sendiri. Di seantero Jakarta, hampir semua keturunan Tionghoa, yang sangat cemas akan keselamatannya, memilih membangun pagar pengaman di sekeliling rumah. Tengoklah di perumahan-perumahan mentereng seperti di Sunter, Kelapa Gading, Purikembangan, dan Pantai Mutiara. Sebagian lagi melengkapi rumahnya dengan alat-alat pengaman elektronik semacam alarm dan kamera, atau bahkan memelihara anjing herder sebagai penjaga—kini, harga anjing penjaga itu melonjak drastis.
Padahal ongkos keamanan itu tentu tak sedikit. Menurut Surjoedi, biaya untuk meninggikan pagar rumahnya yang terbuat dari tembok batu dan di atasnya diberi besi tajam seperti ujung tombak itu lumayan gede. Ia dan istrinya terpaksa melupakan kesempatan berlibur bersama keluarga ke Singapura karena uangnya habis dipakai meninggikan pagar. "Akhirnya istri dan anak saya hanya pergi ke Bali," ujar Surjoe.
Sementara itu, Christin Susianto, warga Perumahan Danau Indah Sunter, Jakarta Utara, mengungkapkan kepada Arif A. Kuswardono dari TEMPO bahwa dirinya terpaksa merogoh kocek sekitar Rp 35 juta untuk membentengi rumahnya. Rachmat Kurniadi di Kalibata, Pasarminggu, Jakarta Selatan, mengeluarkan anggaran sekitar Rp 8 juta untuk merenovasi ruko dan pagarnya. Hitung saja bila di Jakarta ini ada seribu orang seperti Surjoedi, Christin, atau Rachmat.
Ongkos itu makin bertambah bila upah tenaga security dimasukkan. Penjaga keamanan semacam hansip dan satpam ini belakangan memang laris disewa kompleks-kompleks perumahan dengan gaji tak sedikit. Sebagai gambaran, warga Pluit punya anggaran rutin sebesar Rp 17 juta per bulan untuk membayar hansip dan 98 satpam. Tiap orang menerima pendapatan antara Rp 200 ribu dan Rp 400 ribu per bulan.
Di balik rasa takut warga, tersembul berkah. Para pengusaha pagar besi kebanjiran order selama dua pekan belakangan ini. "Mereka (pemesan) bilang, buat jaga-jaga kalau ada rame-rame pemilu nanti," kata Elvi, pengusaha las di kawasan Jembatantiga. Ia lalu menyebut pintu seperti itu dengan kode "pintu reformasi". Harganya berkisar antara Rp 300 ribu dan Rp 500 ribu per meter, tergantung daerah pemesanan. Sedangkan satu unit pagar dengan tinggi sekitar 3 meter harganya mencapai Rp 20 juta. Promosinya keren: makin besar ongkos "benteng rumah", makin kecil risiko diterombol amuk massa.
Wicaksono, Hani Pudjiarti, Raju Febrian
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini