ISTILAH mercusuar tak dipakai lagi. Pihak Direktorat Jenderal Perhubungan Laut rupanya merasa "sakit" mendengar kata-kata itu. Terutama kalau dihubungkan dengan istilah "proyek mercusuar" yang banyak terdengar sekitar 15 tahun lalu dan kemudian dicap sebagai ulah yang tak senonoh. "Kami kini memakai istilah menara suar," ujar Santoso dari Humas Ditjen Perla. Lebih dari 800 buah menara suar tersebar di seluruh Indonesia. Harap maklum, gunanya tak lain untuk memberi petunjuk kepada kapal-kapal laut yang bakal lewat bahwa di sekitar itu ada bahaya karang. Atau dapat juga sebagai pemberitahu posisi kapal dan sekaligus menuntunnya. Karena itu harus dibedakan 3 jenis suar, yaitu menara suar, rambu suar dan pelampung suar. Prioritas Menara suar adalah alat navigasi yang memerlukan tenaga seorang atau lebih untuk menjaganya. Letaknya biasanya terpencil. Rambu suar tidak perlu dijaga karena segala sesuatunya berjalan secara otomatis. Sama seperti menara suar, letaknya juga terpencil, entah di pantai yang jauh dari keramaian, di suatu pulau karang atau pulau terasing. Sedangkan pelampung suar adalah benda bulat yang timbul-tenggelam di alun ombak, banyak terdapat di mulut pelabuhan. Dulu, pelampung yang kampul-kampul ini dibuat dari baja. Untuk memperkokoh letaknya, biasanya diberati dengan sebuah jangkar besi. Kini, pelampung dibuat dari fibre glass dengan warna yang cukup menyolok dan bisa dilihat di malam hari. Ditjen Perhubungan Laut sendiri tidak menggolongkan menara suar yang modern atau yang kuno dari bentuk dan cara kerja alat navigasi tersebut. "Tetapi bagi lalulintas laut yang ramai, kami prioritaskan alat-alat navigasi yang lebih sempurna," kata Santoso. Dia kemudian mengatakan bahwa lalulintas laut yang padat ialah di Laut Jawa, Selat Sunda, dan Selat Malaka. Untuk pelayaran masa datang, akan diprioritaskan ke Selat Makasar dan Selat Lombok. Sebuah menara swar, harus bisa memancarkan sinar di malam hari dalam jarak minimum 25 mil laut dan bisa dilihat pada 5 meter ketinggian air laut. Beberapa menara suar, misalnya di Selat Malaka, bekerja secara otomatis. Dengan demikian tidak diperlukan penjaga menara suar. Model ini siang hari menyerap sinar matahari lewat sebuah reflektor dan di malam hari sel-sel sinar matahari itu mengeluarkan arus listrik lewat baterei. Beberapa menara suar mempergunakan gas yang bekerja selama 3 bulan. Menara seperti ini juga tidak memerlukan penjaga karena akan otomatis menyala bila hari gelap. Setiap 3 bulan sekali, sebuah kapal berangkat untuk mengganti tabung-tabung gas yang telah kosong (biasanya di laut Jawa), sekaligus juga mengganti karyawan yang bekerja dalam alam terpencil ini sambil mendrop bahan makanan. Kapal Perhubungan Laut yang bertolak dari Tanjungpriok mengurus segala lampu suar yang ada di Selat Bangka, Laut Jawa dan Selat Sunda. Sedangkan kapal yang bertolak dari Tanjungperak (Surabaya), bertugas mengurus suar-suar yang ada di sebelah timur Surabaya, sampai sejauh Pulau Timor. Sebagian besar dari menara suar di Indonesia sudah dielektrifikasikan. Artinya bekerja secara otomatis (lewat matahari atau gas) atau dihidupkan dengan solar dan diesel. Lampu yang menyala dengan memakai karbit seperti puluhan tahun silam, sudah tidak ada lagi. Di sepanjang Selat Sunda, tidak kurang dari 11 buah menara suar. Salah sebuah di paling ujung, paling selatan dan paling sudut ialah menara suar yang ada di Tanjunglayar. Berada di ujung tanduk Ujung Kulon yang dijadikan cagar alam, menara ini dijaga oleh 5 orang pemuda berusia sekitar 22-25 tahun. Pendidikan mereka rata-rata STM, masih bujangan dan merasa senang bekerja di daerah terpencil ini. Setiap 4 bulan sekali, terjadi pergantian penjaga. Tetapi Rowel telah berada 7 bulan lamanya di Tanjunglayar. "Dari pada di Jakarta," kata Rowel, "saya lebih senang di sini." Alasan Rowel (22 tahun) sederhana saja. Ketimbang di Jakarta, "kerja di sini tidak banyak, sunyi dan gaji utuh," katanya lagi. Dia berasal dari Tapanuli dan menjadi pusat hiburan di antara ke-4 temannya karena Rowel bisa main gitar dan tentu saja bermain catur. Gaji mereka rata-rata Rp 40.000 setiap bulan, ditambah lagi 9 macam bahan pokok dan makanan lain seperti korned biskuit, cabe kering, asem kering, supermie sampai terasi. Jatah itu sering tidak bisa habis dimakan, "dan biasanva kami jual ke petugas PPA (Perlindungan dan Pengawetan Alm) di Pulau Peucang," kata Rowel lagi. Di Tanjunglayar ada menara buatan tahun 1883. Konon di zaman dulu pernah dipakai juga sebagai penjara. Tapi kini tinggal puing saja. Menara itu runtuh dengan sendirinya. Kini sebuah menara suar baru telah berdiri. Lebih tinggi. Berikut 5 buah rumah tembok untuk para penjaganya. Daerah Pelayaran III Tanjungpriok bahkan telah memberi sebuah pesawat teve. Sayangnya sering tidak bisa menangkap siaran. Bahkan sekarang rusak. Para penjaga banyak menghabiskan waktu dengan memancing, membaca dan membersihkan mesin diesel. Kesepian? Tidak jelas, tetapi mereka belum ada niat untuk menikah. "Nabung dulu untuk punya rumah," kata Suharno, "baru punya isteri." Karena terletak di Ujung Kulon, melihat macan, banteng atau badak adalah biasa. "Saya pernah dikejar badak," kata Suharno, "ketika saya berada di menara tua." Pegawai PPA sendiri, jarang bisa bertemu dengan badak. Belum tentu bisa ketemu sekali dalam 6 bulan. Pekerjaan penjaga menara suar yang paling berat ialah kalau turun dropping bahan bakar dan bahan makanan. Karena pantai berbatu karang, kapal sulit merapat. Drum minyak tanah dan solar dilemparkan di tengah laut dan harus mereka giring ke tepi, sementara arus ombak di tanjung cukup gawat, lebihlebih kalau ada arus putar di dasarlaut. Semula Legiman dan Rodin (dua pemuda asal Kebumen) tidak bisa berenang. Tetapi karena dipaksa keadaan untuk membantu teman-temannya, jadilah mereka perenang yang bisa menanggulangi gulungan ombak. Bosan Makanan Kaleng Kalau di Tanjunglayar aum harimau atau lenguh badak meramaikan suasana yang sepi sunyi, para penjaga menara suar di Anyer Kidul masih bisa mendengar bisingnya mobil Colt dan hiruk pikuknya sepeda motor. Siswadi (30 tahun) yang telah berkeluarga disertai 4 orang rekannya yang juga telah berkeluarga. Menara suar Anyer Kidul dibangun oleh L.I. Enthoven & Co dari Belanda di tahun 1885. Tugas mereka tampaknya sederhana sekali: jam 6.00 sore menyalakan lampu menara yang berkekuatan 1.000 watt dan jam 6.00 pagi berikutnya, mematikannya. Itu saja. Rasa sepi boleh dikata tidak ada. Bukan karena mereka telah berkeluarga, tetapi letak menara Anyer Kidul ini persis di tepi jalan raya LabuanAnyer. Penduduk setempat pada hari raya sering mengadakan ziarah ke menara tersebut. Karena menurut ceritera, ketika Belanda membuat menara tersebut, banyak kuli pribumi yang meninggal karena terjatuh dari menara yang tingginya 56 meter dan 285 anak tangga itu. "Kerja kami jadi tambah," kata Siswadi, karena harus membersihkan pekarangan menara bekas bungkus makanan pengunjung. Tetapi apakah pengunjung dipungut. bayaran? "Ah, itu 'kan namanya pungli," tukas Siswadi. "Kalau saya, pada hari besar menara kami kunci," kata S. Tjoleh (53 tahun) dan telah 33 tahun lamanya menjaga berbagai menara suar di republik ini. Tjoleh -- yang berbadan kecil dengan kulit yang terbakar matahari -- baru 4 bulan dipindahkan untuk merawat menara suar yang ada di Pulau Edam, di Teluk Jakarta. Menara Edam ini persis berusia 100 tahun dan 2 bulan yang lalu baru saja dicat kembali bagian luar dan dalamnya. Dalam Sangkar Setiap akhir minggu atau hari Minggu, Pulau Edam banyak dikunjungi orang. Di saat seperti ini pintu menara selalu digrendel. "Nanti, kalau ada yang berbuat aneh, 'kan saya yang payah," kata Tjoleh yang berasal dari Semarang. Isteri dan anaknya yang terkecil, -- usianya 16 tahun dan dua lagi telah berkeluarga -- tinggal di pulau yang hanya ramai kalau akhir minggu. Mengisi buku harian, merawat diesel, waspada di malam hari.kalau-kalau ada kapal yang mendapat celaka, Tjoleh juga dibantu oleh 4 orang rekannya. Hiburan satu-satunya di malam hari adalah pesawat teve yang baru diperolehnya 2 bulan lalu. Menara suar di Pulau Edam tingginya 55 meter, terdiri dari 16 tingkat dan 278 anak tangga. "Kami seperti burung dalam sangkar, tidak boleh terbang," kata Tjoleh. Segala keperluan seperti rokok atau kuwe-kuwe, bisa titip para nelayan yang mempunyai bagan, yang banyak beroperasi di sekitar pulau itu. "Sebab bosan juga kalau makanan kaleng terus," kata Tjoleh. Celakanya, kalau musim angin barat tiba. Tidak ada bagan yang tegak berdiri di tengah lautan, tidak ada nelayan yang sering menjadi kurir untuk memenuhi keperluannya. Selain debur ombak kicau burung atau rayapan ular dan biawak adalah suasana pulau Edam di musim begini. Penjaga menara suar selain menerima gai biasa, mendapat pula semacam "uang tunjangan laut" atau "uang tunjangan terpencil". Mudah difahami demikian. Yang sulit ialah membayangkan jika lalulintas laut (terutama malam hari) tanpa mereka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini