Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Prelude

Isu Jokowi Jadi Wakil Presiden

Mengapa pendukung Joko Widodo terus mengembuskan wacana Jokowi berkuasa tiga periode?

18 September 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Isu Jokowi Jadi Calon Wakil Presiden

SELAIN menjadi presiden tiga periode, pendukung fanatik Menteri Pertahanan Prabowo Subianto juga mengembuskan wacana majunya Joko Widodo sebagai calon wakil presiden untuk mendampingi Prabowo dalam pemilihan presiden 2024. Tentunya langkah tersebut bertujuan mengakuisisi basis pemilih Joko Widodo yang, menurut survei, masih sangat tinggi elektabilitas dan popularitasnya. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Meskipun Undang-Undang Dasar 1945 tidak secara eksplisit melarang presiden dua periode maju sebagai calon wakil presiden, hal tersebut berpotensi memicu krisis konstitusi. Menurut konstitusi, fungsi utama wakil presiden yang tidak dimiliki pejabat negara lain adalah menggantikan presiden sampai habis masa waktunya jika presiden meninggal, berhenti, atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatan yang telah ditentukan. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Apabila Jokowi terpilih sebagai wakil presiden 2024 dan presiden meninggal atau berhenti, secara otomatis ia menjadi presiden. Hal ini akan menimbulkan krisis konstitusi dan ketidakpastian hukum karena UUD 1945 secara tegas membatasi masa jabatan presiden paling lama dua kali, baik berturut-turut maupun tidak berturut-turut. 

Juru bicara Mahkamah Konstitusi, Fajar Laksono, gagal memahami hal ini ketika menyampaikan bahwa “secara normatif tidak ada larangan” dan pencalonan Jokowi sebagai wakil presiden 2024 hanya bermasalah secara etika. Sebagai penegak konstitusi dan hukum tertinggi, Mahkamah Konstitusi hendaknya jernih, arif, amanah, dan tegas dalam menyikapi wacana ini. 

Presiden Jokowi perlu tegas mengumumkan penolakan menjadi presiden atau wakil presiden 2024 untuk menghindari krisis konstitusi dan ketidakpastian hukum. Untuk tujuan yang sama, para hakim konstitusi juga harus secara tegas membatalkan pencalonan kembali Jokowi, baik sebagai presiden maupun wakil presiden, apabila ia nekat maju. 

Harya S. Dillon, Ph.D.
Duren Tiga, Jakarta Selatan


Uang, Politik, Kekuasaan

MEREKA tiga serangkai yang berhubungan sangat erat dan tidak bisa dipisahkan. Ketiga unsur itu saling mendukung dan memperkuat. Namun bisa juga sebaliknya, yaitu saling  menjatuhkan, bahkan saling membunuh. Kalau seseorang punya uang, pasti ada kecenderungan dan bahkan muncul syahwat untuk masuk ke dunia politik. Tujuannya adalah menggunakan politik sebagai kendaraan untuk meraih kekuasaan. Ujung-ujungnya supaya bisa mencari uang lebih banyak.

Seseorang yang tidak punya banyak uang tapi sudah terjun ke dunia politik, karena memang aktif di partai dan popularitasnya tinggi, pada dasarnya juga menggunakan politik sebagai kendaraan untuk mendapatkan kekuasaan. Sebab, dengan berkuasa, ia akhirnya bisa mencari atau mendapatkan uang dengan mudah, apa pun caranya.

Apabila seseorang sudah mempunyai kekuasaan, biasanya ia akan tergoda memasuki dunia politik, karena politik diperlukan untuk memperkuat dan melanggengkan kekuasaan, agar nanti uang bisa terus datang dan mengalir dengan sendirinya.

Dari analisis tersebut akhirnya bisa diambil kesimpulan bahwa uang menjadi unsur yang paling kuat dan dominan. Sebab, dengan mempunyai uang, kita bisa membeli kekuasaan dan jalan pintasnya adalah politik. Maka muncul politikus-politikus karbitan yang tidak memahami cara dan etika berpolitik serta tidak mempunyai sikap negarawan.

Karena itu, tidak salah kalau di negeri kita, korupsi politik dan penyelewengan mayoritas dilakukan oleh para politikus di lembaga legislatif dan eksekutif. Sebab, tanpa uang, mereka akan jauh dari dunia politik dan kekuasaan. Tapi, karena masalah uang juga, politik dan kekuasaan bisa bergesekan dan saling menjatuhkan. Biasanya karena ada yang serakah dan pembagian tidak merata.

Tidak mengherankan apabila di negeri kita tidak ada satu pun partai politik, terutama yang mempunyai wakil di eksekutif dan legislatif, yang bersih dan belum terkontaminasi oleh penyakit korupsi. Namun, yang perlu dicermati, apakah perilaku korupsi yang dilakukan oleh para politikus memang merupakan tindakan perorangan, yang artinya memang orang tersebut mempunyai bakat pencuri?

Bisa juga awalnya ia orang baik-baik, tapi seiring dengan berjalannya waktu ada kesempatan untuk mencuri atau ia terpaksa mencuri. Yang paling fatal adalah apabila tindakan korupsi mendapat restu dari partai sebagai upeti dan penggalangan dana untuk keperluan partai. Sepertinya hal ini belum pernah terbuka dan disentuh oleh hukum.

Dalam Pemilihan Umum 2024 atau Pemilu 2024, apakah kita masih berharap ada partai yang benar-benar bersih? Partai-partai yang baru muncul belum tentu bisa diharapkan, sementara pemain lama sudah demikian menggurita dan mencengkeram berbagai lapisan masyarakat dengan gurita uang.

Samesto Nitisastro
Depok, Jawa Barat 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus