Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Tingkat inflasi tahunan di Amerika Serikat mencapai 6,3 persen.
The Fed mungkin menaikkan tingkat suku bunga secara agresif.
Naiknya suku bunga di berbagai negara bisa memperlambat laju ekspor Indonesia.
PERHATIAN pasar finansial global kembali terpusat pada kebijakan suku bunga bank sentral Amerika Serikat atau The Federal Reserve pekan ini. Keputusan bank sentral mengenai suku bunga sebetulnya perkara rutin belaka. Tapi, kali ini, pasar memang jauh lebih tegang. Mungkin saja The Fed akan bertindak agresif dalam menentukan suku bunga.
Sebab utamanya apa lagi kalau bukan inflasi. Tadinya pasar berharap inflasi di Amerika Serikat mulai reda pada Agustus lalu. Menurunnya harga minyak dunia sepanjang bulan lalu memunculkan harapan itu. Jika demikian halnya, semestinya kebijakan bunga The Fed akan lebih lunak pula.
Harapan itu menguap ketika data inflasi terbit pekan lalu. Inflasi bulanan selama Agustus ternyata 0,1 persen lebih tinggi ketimbang pada Juli. Kenaikan tingkat inflasi inti, yang tidak mencakup harga makanan dan energi, lebih mengagetkan. Inflasi inti di Amerika per Agustus meningkat 0,6 persen dibanding pada Juli. Secara tahunan, angka lonjakannya bahkan mencapai 6,3 persen. Ini sungguh di luar dugaan pasar.
Adapun dalam berbagai kesempatan sebelumnya, The Fed sudah mengirim sinyal keras: tak akan ragu bertindak demi menjinakkan inflasi, apa pun konsekuensinya dan berapa pun ongkosnya. Dan arsenal yang tersedia di tangan The Fed adalah kenaikan suku bunga. Kalau toh akibatnya pertumbuhan ekonomi melemah, The Fed melihat hal itu hanya sebagai ongkos yang mesti dibayar untuk meredakan inflasi. Ini masih lebih baik ketimbang cekikan inflasi yang makin kuat.
Walhasil, pasar kini mengantisipasi serangkaian kenaikan bunga The Fed yang lebih cepat, lebih tinggi, dan besar kemungkinan akan bertahan lebih lama. Inflasi di Amerika terbukti bandel dan liar sehingga membutuhkan pengetatan kebijakan moneter yang lebih agresif untuk menjinakkannya.
Masalahnya, bukan hanya ekonomi Amerika yang akan melambat jika bunga The Fed melonjak tinggi dan bertahan lama. Bank Dunia sudah memperingatkan, penetapan bunga tinggi The Fed, yang pasti akan disusul kebijakan serupa dari bank-bank sentral lain, sangat berpotensi memicu resesi global tahun depan. Hal ini bisa merusak ekonomi banyak negara.
Selain itu, beberapa negara harus menghadapi persoalan yang lebih berat daripada sekadar melambatnya pertumbuhan ekonomi. Muncul tekanan besar yang menggerus nilai mata uang karena terjadi pelarian modal secara masif di mana-mana. Bunga tinggi dalam dolar Amerika membuat alokasi dana investasi di seluruh dunia berbalik arah, mengalir ke berbagai aset dalam dolar. Itulah langkah mencari aman sekaligus menggali imbal hasil yang lebih tinggi.
Dalam konteks ini, sekali lagi Indonesia sungguh amat beruntung. Ekonomi kita masih menikmati surplus neraca perdagangan sehingga rupiah aman dari gejolak pasar. Kurs rupiah relatif stabil meski mata uang negara-negara lain tertekan berat dan kehilangan nilai cukup besar.
Di Korea Selatan, misalnya, pemerintah dan bank sentral mulai kelabakan karena nilai won terhadap dolar Amerika merosot hingga 16,8 persen sejak awal tahun hingga akhir pekan lalu. Yen Jepang merosot lebih dalam, 24,29 persen pada periode yang sama. Sebagai pembanding, rupiah hanya merosot 4,7 persen.
Pada Agustus, meski harga berbagai komoditas ekspor Indonesia mulai turun, nilai ekspor Indonesia justru masih tumbuh dengan pesat, yaitu 9,17 persen dibanding pada Juli 2022. Hal itu terjadi karena ada lonjakan volume ekspor yang amat besar pada minyak sawit dan besi baja, terutama ke Cina.
Pertumbuhan sebesar ini, hanya dalam sebulan, adalah rezeki nomplok yang amat signifikan. Jika dihitung sejak awal tahun hingga akhir Agustus 2022, angka surplus perdagangan Indonesia sudah mencapai US$ 34,92 miliar. Angka ini tumbuh 68,6 persen jika dibanding pada periode yang sama tahun lalu yang sebesar US$ 20,71 miliar. Surplus super-gendut ini yang menyelamatkan ekonomi Indonesia untuk sementara waktu.
Namun jangan terlena, surplus gendut bisa datang dan pergi dengan cepat ketika pasar global bergejolak selepas kenaikan suku bunga. Jika betul tahun depan resesi global akan melanda, ekspor Indonesia besar kemungkinan bakal melambat. Tanpa bantalan surplus gendut, ekonomi Indonesia akan menghadapi cobaan yang sebenarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo