Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Surat Pembaca

Kasus ’Jawa Pos’-NU

11 Juni 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERSETERUAN antara Jawa Pos (JP) dan GP Anshor telah berakhir. Namun, masih ada hal yang tak mengenakkan, bahkan sejumlah ulama NU mengeluarkan fatwa untuk mengharamkan NU membeli dan membaca JP.

Aksi protes Banser GP Anshor karena JP dianggap memfitnah Ketua Umum PBNU, Hasyim Muzadi, dan mendiskreditkan NU. Ini menimbulkan polemik dan komentar dari berbagai pihak. Tindakan menduduki kantor JP dianggap telah melanggar kebebasan pers dan UU Pers Nomor 40/1999. Rangkaian peristiwa yang terjadi dari perseteruan itu yang dilakukan dengan cara main hakim sendiri terasa tidak mengenakkan, apalagi pada saat supremasi hukum ingin ditegakkan.

Meskipun demikian, pemicu kesalahan pertama adalah pers. Jangan kita mengadopsi sistem Barat, yang menganggap kebebasan pers sebagai argumen untuk membenarkan fakta dan menyebar opini untuk bisa merusak kehormatan individu dan kelompok masyarakat. Kebebasan pers akan memenuhi fungsinya secara sehat bila bersandar pada obyektivitas dan nilai kebenaran yang baku. Apalagi kita sebagai seorang muslim, tentu pencarian fakta tidak untuk menyingkap aib seorang muslim dan ahli zhimmah. Kecuali tokoh itu dapat membahayakan kehidupan umat Islam, sehingga membukakan aibnya dapat lebih mendatangkan maslahat bagi negara dan kaum muslimin. Itu pun hendaknya setiap pemberitaan disertai tabayyun (cek dan ricek). Sebab, inilah yang diajarkan oleh Islam (QS Al-Hujuraat: 16).

Begitupun tindakan kasar yang dilakukan Banser dan GP Anshor terhadap JP juga tidak dapat dibenarkan. Sebagai seorang muslim, Banser dan GP Anshor seharusnya memperingatkan dulu JP dengan makruf, tentang dosa besar bagi orang yang merusak kehormatan seorang muslim, dan menasihatinya agar bertobat. Tetapi bila ia masih juga bersikeras menyebar fitnah, jalur hukum dapat ditempuh. Tindakan Banser GP Anshor merupakan pelanggaran yang dilarang oleh Islam. Karena Rasulullah bersabda: ”Setiap muslim atas muslim yang lain ada batas keharaman, berkaitan dengan darah (jangan saling melukai), kekayaan dan kehormatannya (H.R. Muslim dari Abi Hurairah).

Begitupun dengan para ulama, yang seharusnya melakukan amar ma’ruf nahi munkar dan bersikap adil pada kedua belah pihak, karena keduanya adalah bagian dari umat yang perlu dibimbing. Dengan adanya fatwa keharaman membeli JP oleh sebagian ulama, kita harus melihat fungsi asal penggunaan hukum itu sendiri dalam Islam, yaitu diperuntukkan bagi seluruh umat, bukannya untuk kelompok tertentu.

LINA H.
Margacinta, Bandung

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus