Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Edy adalah salah satu korban yang terpaksa mengungsi dari kampungnya di Kota Halmahera, Pulau Ternate, setelah konflik berbau agama meruyak daerah itu setahun lalu. Bila malam hari, kamp pengungsian itu sering berubah mirip bar kaum koboi Amerika. Kebanyakan pengungsi laki-laki dewasa menenggak berbotol-botol minuman keras, yang katanya demi menghilangkan perasaan tertekan. Usai minum, tak jarang perkelahian meledak di antara mereka.
Itulah gambaran suasana kehidupan di kampung pengungsian para korban kerusuhan Maluku. Sebanyak 7.150 jiwa hingga kini masih mengungsi di beberapa lokasi di daerah Bitung dan Manado. Rata-rata mereka dikabarkan mengalami perasaan gelisah dan tertekan. Maklum, mereka tinggal di tempat darurat dengan fasilitas terbatas selama berbulan-bulan. Yang berkeluarga tak bisa menyalurkan kebutuhannya karena tak tersedia kamar khusus untuk suami-istri. Berlarutnya hidup di kamp pengungsian itu, menurut teori dalam buku psikologi Barat, bisa menyebabkan pengungsi mengalami gangguan stres pascatrauma (post-traumatic stress disorder).
Gangguan kejiwaan semacam itu biasanya dialami oleh mereka yang terlepas dari bencana, misalnya gempa bumi, kecelakaan pesawat terbang, pengeboman oleh teroris, kekerasan, pemerkosaan, perang, dan genosida. Gangguan yang semula hanya banyak terdapat pada veteran perang itu juga menimpa penduduk sipil, dan lebih banyak menyerang perempuan daripada laki-laki. Gejalanya, antara lain, intrusi (kenangan traumatik muncul tiba-tiba), avoidance (penderita cenderung mengambil jarak dengan orang lain karena takut mengingat peristiwa yang traumatik), dan hyper-arousal. Pada gejala terakhir ini, penderita merasa dirinya terus-menerus dalam bahaya. Mereka bisa tiba-tiba saja marah dan jengkel tanpa sebab.
Ada juga sebagian penderita yang berusaha melepaskan diri dari kesepian dan rasa sakit dengan mengonsumsi alkohol dan obat-obatan. Bahkan, ada sebagian penderita yang ingin bunuh diri. Ketiga gejala itu biasanya muncul tiga bulan setelah peristiwa traumatik itu terjadi.
Beberapa gejala ringan memang terlihat di kalangan para pengungsi seperti yang dilaporkan wartawan TEMPO. Tapi benarkah banyak pengungsi yang mengalami gangguan mental pascatrauma itu? Sayang, penelitian tentang perilaku para pengungsi belum ada yang melakukannya.
Anehnya, yang jelas terlihat di mata beberapa psikolog yang terjun di lapangan justru fenomena yang berbeda. "Kami membayangkan bahwa para pengungsi akan tampak depresif dan semacamnya, toh ternyata setelah kami melihat, mereka tidak demikian," kata Kristi Poerwandari, Koordinator Pusat Penanganan Krisis Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, yang pernah terjun ke wilayah pengungsi Ambon.
Para pengungsi ternyata dapat bertahan dan memiliki kemampuan adaptasi luar biasa. Hal itu diduga karena orang Indonesia memiliki karakter khusus dalam merespons peristiwa traumatik, yang bagi kalangan masyarakat Barat bisa mengguncangkan jiwa hingga bisa menimbulkan gangguan yang disebut post-traumatic mental disorder.
Karakter khusus itu, menurut Kristi, karena orang Indonesia memiliki cara pandang yang khas terhadap hidup, yaitu kepercayaan kepada faktor tertentu yang mengendalikan hidup manusia. Faktor itu bisa bersifat internal (bahwa hal yang berada dalam diri manusialah yang menentukan nasibnya), juga bisa bersifat eksternal (bahwa Tuhan yang menentukan nasib manusia). "Saya menduga cara pandang itulah yang membuat mereka lebih mampu bertahan," kata Kristi. Benar atau tidak dugaan itu, "aset psikologis" orang Indonesia itu sebaiknya memang menjadi bahan kajian.
K.M.N., Gita W. Laksmini, Verrianto Madjowa (Manado)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo