Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Adalah Byron J. Good, pakar antropologi medis dari Universitas Harvard, Amerika Serikat, yang merekam fenomena depresi ini di Yogyakarta. Byron menggelar penelitian bersama Subandi, dosen Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada. Dari September 1999 sampai Februari 2000, Byron mengamati 391 pasien gangguan jiwa di rumah sakit jiwa dan klinik psikiatri yang ada di Yogyakarta. Para pasien ini menderita gangguan jiwa berbagai tingkatan, dari yang paling ringan (organik psikosis), manic, depresi, hingga yang paling berat (skizofrenia).
Pencetus depresi cukup beragammulai masalah keluarga, ekonomi, sampai pekerjaan. Yang menarik, Byron menemukan empat pasien yang mengalami depresi gara-gara gencarnya berbagai macam kekerasan. Kategori kekerasan, dalam penelitian Byron, termasuk kekerasan fisik ataupun praktek politik yang kasar. Berbagai model kekerasan inilah pemicu (stressor) gangguan jiwa yang lazim disebut post-traumatic stress disorder (PTSD).
Seorang pasien, misalnya, terganggu jiwanya setelah menyaksikan kekerasan dalam sebuah kerusuhan di Jakarta. Ada pula Wijoyo, bukan nama sebenarnya, yang mengidolakan sosok Megawati Sukarnoputri. Simpatisan PDI Perjuangan berusia 50 tahun ini sangat mendambakan Mega menduduki kursi presiden. Namun, apa daya, saat bertarung di parlemen, Mega hanya sanggup meraih kursi wakil presiden. Sejak itu, Wijoyo, yang kaget plus kecewa, terserang depresi.
Pasien lain, Budiman (juga bukan nama sebenarnya) terkena depresi sejak pemilu tahun lalu. Selama menjadi pegawai negeri di masa Orde Baru, Budiman mencoblos Golkar pada setiap pemilu. Namun, setelah Presiden Soeharto lengser, peta politik berganti dan Budiman tak lagi mencoblos Partai Golkar. Alhasil, "Budiman dihantui rasa bersalah akibat kekalahan Golkar," kata Byron.
Byron mengakui, memang hanya empat pasien yang jelas-jelas terserang depresi karena akrobat sosial-politik. Namun, Byron memastikan, penderita depresi yang sebenarnya jauh lebih banyak. Sayang, data yang pasti tidak terekam karena sebagian besar masyarakat malu atau segan berobat. Lagi pula, jumlah dokter jiwa di Indonesia masih terbatas, dengan rasio satu dokter untuk sejuta penduduk.
Syukurlah, kondisi lingkungan di Indonesia memungkinkan proses penyembuhan depresi yang lebih cepat ketimbang di negara maju. Alasannya, kehidupan masyarakat masih sarat dengan nilai gotong-royong. Hal ini membuat penderita depresi tidak merasa sendirian menanggung beban. Diskusi, ngobrol, dan bermain sangat membantu proses kesembuhan.
Selain itu, kadar kepercayaan terhadap agama dan mitologi dalam masyarakat Indonesia masih kental. Pasien dengan penuh harapan bisa memilih berobat ke paranormal atau jalur lain yang nonrasional. Sehingga, "Harapan untuk sembuh juga relatif lebih tinggi," kata Byron. Berbeda dengan di negara maju, sakit jiwa dianggap sebagai kerusakan otak. Alhasil, gangguan jiwa di negara maju tergolong penyakit yang sangat sulit sembuh.
Mardiyah Chamim dan R. Fadjri (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo