HEBOH pasien menuntut dokter ke pengadilan akibat malapraktek tampak mengguncang ketenteraman para tenaga medis itu. Dari Sukabumi, misalnya, dikabarkan, setelah seorang pasien menggugat dokter yang salah mengoperasi matanya Rp 30 juta, selama beberapa hari tak ada operasi di rumah sakit umum sana. "Cerita yang menarik untuk dijadikan Laporan Utama," usul Hasan Syukur dari Biro Jawa Barat. Dan usul itu, setelah dilengkapi dengan kasus malapraktek lain, diterima secara aklamasi pada rapat perencanaan di Jakarta, pekan lalu. Ternyata, di lapangan, mengumpulkan bahan tak mudah. Para dokter, umumnya, tutup mulut mengenai malapraktek ini. Untung, dr. Husaini, yang digugat pasiennya, Muhidin, untuk matanya yang hilang, mau menjelaskan duduk persoalan, sekalipun untuk itu Hasan harus bolak-balik Bandung-Sukabumi. Terakhir, Jumat lalu, Hasan mengikuti temu muka antara Husaini dan anggota Komisi VIII DPR-RI. Sekalipun pertemuan itu tertutup, bukan halangan bagi Hasan untuk merekam pembicaraan mereka. Apa penyebab utama malapraktek itu? Dr. Hasan (tanpa Syukur, lho) menyebut kurang intimnya hubungan kemanusiaan dengan pasien mendorong dokter itu bekerja gegabah. Di Jakarta, kabarnya, ada dokter anak yang memeriksa empat pasien sekaligus, dan baru menulis resep yang diberikan setelah anak-anak itu dibawa ke luar ruangan. Kasus-kasus malapraktek yang kami tulis selama ini, umumnya, juga karena kegegabahan dokternya. Bocah Andriani, yang menjadi cacat seumur hidup setelah dioperasi di RS Mata Aini, Jakarta, misalnya, tak lain karena kelalaian dokter anestesi yang bertugas. Orangtua Andriani juga menuntut dokter anestesi itu ke pengadilan. "Tapi, satu hal yang suka dilupakan orang, berapa banyak pasien yang disembuhkan dokter," kata Jim Supangkat, yang menulis Laporan Utama tentang malapraktek ini. Bagi Jim, yang lebih dikenal sebagai pematung dunia kedokteran bukan dunia yang asing. Sejak kecil, Jim sudah terbiasa melihat ayahnya, seorang dokter, menangani pasien dan mengatasi kasus-kasus malapraktek. Salah satu kekurangan kita, kata Jim, kita belum punya Undang-Undang Kesehatan yang mampu menjawab tantangan-tantangan ini. UU Kesehatan yang disahkan pada tahun 1960-an lebih banyak berbicara tentang soal pelayanan kesehatan, dan hampir tak menyinggung masalah pelayanan medis. Reporter di Jakarta, setelah berdiskusi dengan sejumlah dokter, memperoleh kesimpulan, kalau setiap malapraktek berbuntut ke pengadilan, bukan mustahil biaya pengobatan akan melambung. "Kalau tidak, dari mana kami harus membayar penuntut jika mereka menang di pengadilan?" kata salah seorang dokter.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini