API menyala di tengah sawah. Suara daun tebu terbakar, bergemeretak. Asap pun membubung, membawa bunga api dan serpih-serpih abu ke atas. Lalu . . .. ya Allah, seru orang-orang, "tebuku terbakar". Mereka pontang-panting menembus pekatnya malam dengan sejumlah ember di tangan. "Habis sudah semuanya," keluh Supardi, 35, warga Mangaran, Situbondo, Jawa Timur. Akhirnya, empat hektar tebu miliknya menjadi bagian serial pembakaran tebu yang -- entah siapa pelakunya -- mula-mula terjadi akhir Puasa lalu, dan masih terus berlangsung hingga kini. Akhirnya, lebih dari 100 ha tebu di wilayah itu harus termakan api, yang menjadikan wilayah tanam yang berlindung pada Pabrik Gula (PG) Panji terbakar 162 ha dari 1.800 ha arealnya. Empat pabrik gula lainnya di Situbondo, menurut catatan Pemda setempat, juga kehilangan sekitar 265 ha tebu milik petaninya. Tingkat kerusakan diduga jauh lebih besar dari angka 427 ha milik Pemda itu. Sumber berita di PG De Maas, misalnya, menyebut tingkat kebakaran tebu di arealnya mencapai sekitar 80 ha, bukan 11 ha seperti yang tercatat. Sumber lain di PG Asembagus juga merevisi angka kebakaran di daerahnya dari 43 ha menjadi 60 ha. "Ini berarti 10 persen dari seluruh areal tebu di Situbondo telah terbakar," kata seorang anggota DPRD setempat, yang enggan dikutip namanya. Bekas kebun tebu yang terbakar memang tampak berpencar-pencar, dan hampir merata di seluruh Kabupaten Situbondo. Ya, di Kecamatan Mangaran itulah yang paling parah. Melihat munculnya api yang sporadis, R. Soedjihadi -- Ketua LKMD Panjilor -- berkomentar, "Ini tampaknya memang pembakaran yang dikoordinir rapi." "Saya lelah terus-terusan berteriak soal TRI ini," ujar Margono Samsidi, Bupati Situbondo. Tebu rakyat intensifikasi, maksudnya. Dua tahun ia berupaya agar tak terjadi pembakaran tebu di wilayahnya, dan tahun lalu berhasil. "Entah mengapa tahun ini terjadi lagi." Ada beberapa kemungkinan penyebab kebakaran itu, seperti dituturkan Bupati Margono. Bukan tidak mungkin, katanya, pembakaran ini dilakukan oleh petani pemilik tebu itu sendiri. Melihat tebu tua, pabrik gula belum ada tanda-tanda -- mau menebangnya, sedang petani sudah ingin menanam padi, putusan membakar tebu memang masuk akal. Dengan cara ini, menurut Budiono, 42, sinder PG Panji, petani masih mendapat uang sekitar Rp 600 ribu per ha, kendati dalam keadaan biasa -- kalau baik bisa sampai Rp 2 juta. KEMUNGKINAN kedua, tebu sengaja dibakar oleh buruh tebang. Pengalaman di Pleihari, Kalimantan Selatan, memang memudahkan penebangan tebu setelah daunnya terbakar. Ketiga, persaingan antarkelompok TRI. Apalagi banyak ketua kelompok TRI yang tak memiliki tebu sendiri. Sedang keempat, "mungkin memang bukan kesengajaan." Dalam terik dan kering cuaca begini, puntung rokok yang terembus angin pun bisa membakar daun tebu. Pada masyarakat malah ada yang menuding pabrik gulalah yang mendalangi rangkaian peristiwa ini, agar sistem TRI diubah lagi. "Karena TRI memang tidak menguntungkan mereka," tutur seorang penduduk. Ada memang yang sudah ditangkap, tapi di Ponorogo, bukan di Situbondo. "Saya dan dua teman saya disel dua hari," kata Supadi, penduduk Cokromenggalan, Ponorogo. Setelah ia meyakinkan bahwa dirinya benar-benar hanya bermaksud membakar momol -- daun tebu kering -- agar tanah sawahnya bisa segera diolah lagi, dan bahwa ia benar-benar tak kuasa mencegah merembetnya api ke kebun tebu sebelahnya, maka polisi pun melepaskannya. Berapa rugi memang belum dihitung. Walaupun tebu bakar masih bisa digiling pabrik, rendemennya (kadar gula) -- menurut Toyyibun, dokter gula di PG Panji -- melorot tinggal 3-4 persen. Padahal, tebu di Situbondo biasanya berendemen 7-9 persen. Jadi, rugi, 'kan? Zaim Uchrowi, Laporan Masduki Baidlawi (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini