Subhanallah wa astaghfirullah. Saya merasa kredibilitas saya telah diruntuhkan dan nama baik saya dicemarkan atas tulisan Majalah TEMPO Edisi 5-11 Januari 2004. Pada halaman 30 ditulis, ”Pencalonan kembali Lukman Hakiem Saefuddin (ejaan yang benar: Lukman Hakim Saifuddin), yang saat ini duduk di Komisi VI DPR, dicibir sejumlah pengurus teras partai berlambang Ka’bah itu. Lelaki yang selalu tampil necis di Senayan itu dianggap tak cukup komunikatif dalam bergaul dengan daerah konstituennya. Cabang-cabang di Jawa Tengah tak ada yang mau mencalonkannya.” Selanjutnya TEMPO menulis, ”Sumber TEMPO di PPP menyebut dia punya kartu penting. Selain putra mantan Menteri Agama Saefuddin Zuhri (ejaan yang benar: Saifuddin Zuhri), Lukman dekat dengan Ketua Umum Hamzah Haz. Mau tak mau pengurus wilayah bersedia mencalonkannya. ’Dia jago dalam berteori, tapi mungkin tak pernah tahu wilayah binaannya di mana,’ sindir seorang pengurus teras PPP yang tak mau disebut namanya sambil tertawa.”
Apa indikator komunikatif versi TEMPO pada tulisan tersebut? Saya selalu hadir dan bahkan diminta berbicara pada hampir se-tiap jenis permusyawaratan dan rapat yang diadakan Dewan Pimpinan Wilayah PPP Jawa Tengah yang melibatkan semua pengurus cabang di tingkat kabupaten/kota. Tak terhitung komunikasi saya dengan pengurus partai di tingkat provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, dan desa, bahkan dengan anggota dan simpatisan PPP, baik dalam bentuk tatap muka langsung maupun melalui media cetak dan elektronik. Hal itu saya lakukan tak hanya ketika reses, tapi juga setiap saat sejak saya menjadi anggota DPR/MPR-RI tahun 1997 hingga kini.
Bagaimana TEMPO bisa sampai pada kesimpulan bahwa cabang PPP di Jawa Tengah tak ada yang mau mencalonkan saya dalam Pemilu 2004? Kenyataannya, sejumlah DPC PPP dari beberapa daerah pemilihan di Jawa Tengah meminta saya dicalonkan. Sengaja saya tak menyebutkan secara eksplisit DPC PPP mana yang ingin mencalonkan saya, semata untuk memberikan kesempatan bagi TEMPO mengkonfirmasikannya ke pengurus DPW PPP Jawa Tengah dan 35 DPC PPP tingkat kabupaten/kota.
TEMPO telah menggiring opini pembacanya bahwa pengurus wilayah PPP, apa boleh buat, terpaksa mencalonkan saya karena saya memiliki kartu penting, putra mantan Menteri Agama Saifuddin Zuhri dan dekat dengan Ketua Umum Hamzah Haz. Masya Allah.... Salah satu pesan orang tua yang hingga kini terus saya pegang adalah ”usahakan betul dalam hidup ini jangan pernah meminta tentang dua hal, uang dan jabatan.” Jangankan meminta untuk menjadi anggota DPR, meminta menjadi pengurus partai pun saya pantang melakukannya. Apalagi membuat orang lain (pengurus wilayah) terpaksa mencalonkan saya. Saya amat berharap TEMPO bersedia mengkonfirmasikan kepada pengurus DPW PPP Jawa Tengah bagaimana kronologi proses pencalonan saya sebagai anggota DPR, baik pada Pemilu 1997 dan Pemilu 1999 maupun menjelang Pemilu 2004. Subhanallah, (kalaupun ada) ”keuntungan” sebagai putra Saifuddin Zuhri dan karena kedekatan dengan Hamzah Haz, hal itu tak pernah saya jadikan landasan dalam berkiprah, apalagi dijadikan sebagai ”kartu penting”. Mereka memiliki kebesaran masing-masing dan saya berpijak pada integritas, kredibilitas, dan kapasitas saya sendiri.
Sungguh, ajaran orang tua dan guru-guru saya melarang saya mengungkapkan hal yang bisa membawa kesan ”membusungkan dada” sendiri. Kalaulah bukan karena ulasan TEMPO dalam berita yang berjudul Yang Terempas dan yang Terkandas, yang secara langsung menyebut nama saya, tak hendak saya menulis hal-hal semacam itu.
Hal yang paling saya sayangkan dan amat saya sesalkan, majalah sekelas TEMPO, satu-satunya majalah yang kerap saya baca sejak duduk di bangku SD hingga saat ini, tak melakukan tabayun atau klarifikasi apa pun terhadap informasi yang diterima dari sumber berita dengan cara mengkonfirmasikannya kepada saya. Pantaskah saya ”mengajari” TEMPO tentang prinsip-prinsip check and recheck atau cover both sides dalam jurnalisme? Jika semua hal yang ditulis TEMPO menyangkut diri saya itu benar adanya, mengapa si sumber berita, yang oleh TEMPO disebut pengurus teras PPP, tak mau disebut namanya dan TEMPO melindunginya? Salahkah bila saya kemudian menduga-duga? Kalaulah pengurus teras PPP yang menjadi sumber berita TEMPO itu benar adanya, TEMPO telah dijadikan alat dan ikut terlibat menebar fitnah menjelek-jelekkan saya. TEMPO harus mengungkap siapa sumber beritanya itu agar tidak dijadikan media oleh para politikus (busuk?) dalam menghadapi rivalitas secara tak sehat. Atau, kalaulah sumber berita TEMPO yang pengurus teras PPP itu fiktif alias tokoh rekaan belaka, dengan memanfaatkan dan berlindung di balik ketentuan bahwa sumber berita harus dirahasiakan, TEMPO dan wartawannya sedang menjalankan skenario tertentu untuk mendiskreditkan saya dan/atau memiliki agenda tertentu untuk kepentingan pihak tertentu dengan cara menebar fitnah memecah belah solidaritas antarpengurus PPP. Menjelang Pemilu 2004, sahkah analisis semacam itu, bahkan terhadap majalah sekaliber TEMPO sekalipun?
Saya berharap TEMPO bersedia meralat berita tentang saya pada edisi mendatang. Bila semua ini terjadi karena khilaf semata, dengan tulus saya memaafkan dan turut berdoa semoga TEMPO tetap enak dibaca dan perlu, tidak terjebak permainan politikus busuk, apalagi menjadi wadah jurnalis busuk. Nauzubillah min dzalik, kita berlindung kepada Allah dari semua itu....
Lukman Hakim Saifuddin
Anggota DPR RI
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini