TEMPO sejak pekan lalu memasuki tahun ke-14. Ini satu sentimeter baru dalam sebuah titian panjang yang terkadang licin. Majalah ini dimulai ketika jenis mingguan berita masih merupakan hal yang asing. Waktu TEMPO pertama kali terbit, seorang manajer pemasarannya bahkan berkata, "Majalah ini tak mungkin laku." Tapi, syukurlah, dengan pesimisme seperti itu, toh ia bersama rekan-rekan lain bekerja terus. Kini oplah TEMPO bergerak antara 104 dan 108 ribu. Masih jauh dari oplah beberapa koran harian, tapi lumayanlah. Kami merasa berterima kasih: Tuhan memberi kami napas yang cukup. Pemberian seperti itu mutlak penting. Menghasilkan setiap pekan majalah berita sejenis ini adalah proses yang makan urat saraf. Dua kali setiap minggu, untuk menyiapkan sebuah nomor, hampir seluruh TEMPO siaga penuh. Itu hari-hari deadline. Melanggar batas waktu ini berarti merusakkan seluruh jaringan kerja. Khususnya pada Senin malam dan Selasa dinihari. Itu jam-jam paling tegang. Pemimpin redaksi, wakilnya, para redaktur pelaksana, para penanggung jawab rubrik, para reporter, petugas perpustakaan, petugas lab dan dokumentasi foto, para staf koordinasi reportase - dan terutama tenaga di bagian tata muka - harus hadir. Mereka terpaksa makan malam bersama di kantor - dan juga menginap. Di kantor-kantor TEMPO di luar Jakarta, kesiagaan yang serupa berlaku. Sampai Selasa pukul 9 pagi. Atau, bila perlu, sampai tengah hari. Beberapa jam kemudian, setelah sebentar tidur (kalau pun bisa tidur), mulai lagi awal persiapan nomor berikutnya. Dengan dihangatkan oleh kopi dan beberapa potong kue, rapat dibuka. Tentu saja masih ada yang terkantuk-kantuk. Suatu diskusi dihidupkan. Usul dari seluruh Indonesia dan dari koresponden di luar negeri diseleksi, mana yang layak dijadikan isi TEMPO mendatang. Diskusi dan perencanaan betapapun merupakan bagian penting dalam proses kerja TEMPO. Setelah itu, bergeraklah seluruh tenaga wartawan, memenuhi rencana yang sudah disepakati. Sementara itu (tak boleh lupa), tiap wartawan harus berpikir, tengok kiri tengok kanan, adakah cerita yang akan ditulisnya tak tergolong "berbahaya". Artinya, bisa menyebabkan TEMPO kena "musibah". Artinya, urat saraf, tekanan darah, otak, dan juga otot. Tipikal dari jungkir-balik itu ialah yang dikerjakan untuk nomor ini. Khususnya oleh Syafiq Basri Assegaf, wartawan TEMPO di Bandung, yang tengah merampungkan kuliahnya di Fakultas Kedokteran Unpad. Berdua dengan Ida Farida, rekannya yang di tingkat terakhir Jurusan Sejarah Fakultas Sastra, ia misalnya ikut razia polisi malam hari, setelah beberapa hari mengumpulkan bahan (bukan menulis skripsi): Dari Syafiq pula usul cerita ini datang, dan diterima rapat. Children of God memang perkara kecil bagi kehidupan negara. Tapi bagi wartawan yang bekerja, soal kecil pun memakan seluruh energinya. Mudah-mudahan, kita bisa cukup umur dan tetap bersemangat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini