KERUKUNAN NU, ternyata, belum juga di ambang pintu. Sepekan setelah empat kiai utama NU - As'ad Syamsul Arifin, Masjkur, Ali Ma'shum, dan Achmad Siddiq - bertemu dengan Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri, belum juga ada tanda-tanda pendekatan resmi antara pihak-pihak yang bersengketa. Yang terjadi, seperti biasa, masih tetap adu pernyataan walau, belakangan ini, perang pernyataan yang terjadi jauh lebih lunak karena kelompok Idham Chalid dan ulama tampaknya makin menyadari bahwa keretakan NU tak bisa dibiarkan berkepanjangan. Peranan pemerintah untuk menengahi sengketa itu ternyata menonjol. Walaupun demikian, Menteri Agama Munawir Sjadzali, yang berperan penting, bersikap merendah. "Pemerintah hanya mendorong terciptanya kerukunan itu. Kedua kelompok sebenarnya sudah ingin rukun. Ini sepenuhnya masalah intern NU," katanya Senin lalu. Pertemuan keempat kiai dengan kedua menteri, di rumah Menteri Dalam Negeri Soepardjo Roestam 26 Februari lalu, menurut sebuah sumber, bukan atas undangan pemerintah. "Para kiai itu yang meminta bertemu," kata sumber pemerintah itu. Sumber yang sama membantah dugaan yang mengatakan pertemuan tadi merupakan bukti dukungan pemerintah kepada pihak ulama. "Kelompok Idham juga sering mengadakan pertemuan dengan pemerintah," katanya. Idham Chalid sendiri, misalnya, pernah bertemu dengan Presiden Soeharto. Menteri Munawir juga pernah datang menemui Idham di rumahnya. Dari kelompok Idham, Imam Sofwan dan Nuddin Lubis yang ditunJuk sebagai penghubung dengan pemerintah. Namun, pertemuan 26 Februari itu memang membawa perkembangan penting. Antara lain kesepakatan untuk mengadakan Muktamar NU sekitar September atau Oktober mendatang, atau pada bulan Muharam. "Muktamar akan dilangsungkan setelah undang-undang keormasan selesai. Kami tidak ingin bermuktamar sebelum undang-undang itu disahkan agar jangan ada hal baru yang membuat kami harus bekerja dua kali," kata Kiai Masjkur, penghubung kelompok ulama dengan pemerintah. Kesepakatan itu agak memukul kelompok Idham Chalid, yang sudah jauh hari mencanangkan akan menyelenggarakan muktamar pada April 1984. Chalid Mawardi, ketua panitia muktamar kelompok Idham, mengakui bahwa sejak dibentuk panitia yang dipimpinnya memang belum pernah mengadakan rapat. Tapi Chalid tidak bersikeras. "Jika kepanitiaan itu mau diubah, ya, silakan, asal memenuhi ketentuan anggaran dasar." Chalid agaknya membuka diri terhadap salah satu hasil kesepakatan pemerintah dengan keempat kiai: "pembentukan panitia muktamar yang mencerminkan kerukunan," yang akan direalisasikan oleh para kiai. Belum jelas kapan dan bagaimana susunan panitia muktamar yang baru itu. Ada gagasan agar panitia itu secara organisatoris dipegang oleh sekretariat jenderal PB NU di bawah Sekjen Munasir, yang tampaknya bisa diterima karena kedua kelompok sama-sama terwakili di sana. Seperti biasa, jauh sebelum muktamar berlangsung, pergunjingan dan perebutan kepemimpinan NU yang bersatu sudah mulai diramalkan. Salah satu isu yang dilontarkan adalah gagasan untuk memilih Kiai As'ad Syamsul Arifin sebagai rais akbar, jabatan yang pernah dipegang pendiri NU, K.H. Hasjim Asj'ari. Disebut-sebut juga nama K.H. Achmad Siddiq sebagai calon ketua umum PB Tanfidziah. Munculnya figur Kiai As'ad sebagai ulama yang paling berwibawa dalam NU memang tak terelakkan. Sejak Kiai Bisri Syansuri meninggal, hilang juga tokoh kharismatik dalam NU. Kiai Ali Ma'shum, yang terpilih sebagai rais aam dalam Munas Kaliurang pada 1981, dianggap kurang berwibawa. Berlarutnya keretakan dalam tubuh NU dianggap sebagai bukti kurang berhasilnya Kiai Ali. Akibatnya, para ulama kemudian lebih sering berpaling pada Kiai As'ad. Adalah Kiai As'ad sendiri yang tahun lalu menemui langsung Presiden Soeharto dan meminta izin menyelenggarakan munas ulama. "Jadi, pemerintah memberi izin karena Kiai As'ad, bukan karena syuriah. Karena itu, selesai munas, Kiai As'ad pribadi yang melaporkan hasilnya pada Pak Harto," kata sebuah sumber pemerintah. Yang menjadi masalah, Kiai As'ad, 86, sejak lama dikenal enggan memegang jabatan resmi dalam NU. Kabarnya, pemerintah sendiri menginginkan Kiai As'ad dipilih sebagai rais aam, agar NU bisa utuh. Pemerintah konon jua ingin melihat tampilnya Kiai Achmad Siddiq sebagai ketua umum PB Tanfidziah NU menggantikan Idham Chalid. Idham sendiri tampaknya tidak mungkin kembali ke jabatan ketua umumnya. Kabarnya, ia pernah menegaskan kepada Menteri Munawir keinginannya untuk mundur, walau pihak ulama sejak pertengahan 1982 tidak menganggapnya lagi sebagai ketua umum. "Masalahnya sekarang, bagaimana menempatkan dia nanti hingga tetap memiliki kedudukan terhormat," kata seorang pejabat. Disebut-sebut, misalnya, kemungkinan Idham menduduki abatan salah satu rais atau sebagai mustasyar (penasihat) PB Syuriah. Jabatan Achmad Siddiq saat ini adalah sebagai salah seorang mustasyar PB Syuriah. Nama pimpinan Pesantren Siddiqiya, Jember, Jawa Timur, ini mendadak beken setelah konsepnya diterima dan praktis diambil alih sebagai keputusan Munas Ulama NU Desember lalu. Dalam pertemuan keempat kiai dengan dua menteri bulan lalu, Achmad Siddiq juga yang diminta Kiai As'ad berpindah tempat duduk menggantikannya, diapit Menteri Soepardjo dan Munawir, untuk menjelaskan sembilan sasaran pokok Munas Ulama Situbondo. Tampaknya, Soepardjo dan Munawir terkesan pada penampilan Achmad Siddiq, termasuk konsep-konsepnya. Pencalonan Achmad Siddiq juga didukung beberapa tokoh muda NU yang tidak ingin melihat Abdurrahman Wahid sebagai ketua umum NU. Abdurrahman Wahid, 43, cucu pendiri NU Hasjim Asj'ari, sebaliknya didukung sebagian ulama yang menganggap Achmad Siddiq - walau kuat sebagai konseptor - belum tentu cocok sebagai ketua umum. Tentu saja, siapa yang nanti akan terpilih terserah kepada muktamar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini