MEREKA datang dengan naik taksi, Rabu pagi 29 Februari, ke kedutaan besar Belanda di Jalan Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan. Esoknya tersiar berita: Empat warga Irian Jaya "minta suaka politik" kepada pemerintah Belanda. Diberondong pertanyaan oleh pers pekan lalu, Menlu Mochtar Kusumaatmadja mengelak. "Tidak ada masalah suaka di sini. Mereka itu cuma orang yang minta ticket ke kedutaan besar Belanda. Kalau mereka berhasil mendapat karcis pesawat terbang, semua orang akan ikut pergi," katanya. "Sekarang terserah kedutaan Belanda." Menlu Mochtar mengakui, kalau memang tidak ada apa-apa, boleh saja seseorang minta suaka ke suatu pemerintah asing. "Bagaimana kita bisa bilang tidak boleh?". Tapi urusan yang menyangkut orang itu, kalau ada, harus diselesaikan dulu. Dan itu tidak terbatas pada masalah politik saja. "Kalau dia punya utang, masak boleh pergi begitu saja," kata Mochtar. Atase kebudayaan dan pers kedubes Belanda di Jakarta, Peter van Vliet, akhir pekan lalu mengakui keempat pemuda Irian Jaya itu masih ada di kompleks kedutaan. Maksud mereka belum jelas. "Sampai sekarang kami masih mengadakan pembicaraan dengan mereka tentan maksud mereka. Apakah mereka akan meminta perlindungan politik, kami belum tahu," katanya. "Demi kemanusiaan, mereka kami beri makan. Mungkin saja mereka akan dibawa ke Belanda," katanya. Karena kesulitan tempat untuk menampuns mereka, kabarnya pihak kedubes Belanda terpaksa menempatkan keempat pemuda itu di kamar kecil di samping kolam renang. Akibatnya, kolam itu dikeringkan dan tak bisa dipakai untuk sementara. Sebuah sumber TEMPO menjelaskan, kasus "permintaan suaka" itu ada hubungannya dengan peristiwa yang terjadi di Irian Jaya beberapa pekan terakhir ini. Peristiwa itu pula yang menyebabkan sejumlah warga Irian Jaya, menurut Menlu Mochtar "sekitar seratus orang", menyeberang perbatasan menuju PNG. Kisahnya dimulai 9 Februari. Kamis pagi itu seseorang terbunuh dalam suatu perkelahian di Pasar Sentral Jayapura. Kabarnya, perkelahian antara dua warga Irian ini bermula pada soal tawar-menawar harga ikan antara penjual dan pembeli. Tatkala calon pembeli tewas tertusuk golok, pasar geger dan dikosongkan polisi dan tentara. "Setelah perkelahian berdarah itu, Jayapura sepi dan suasananya seperti sedang perang," cerita seorang penduduk. Hari itu keadaan Siaga I (siaga penuh) memang diberlakukan di Jayapura. Insiden itu memang berbuntut panjang. Teman-teman calon pembeli yang terbunuh menyerbu kampung si pembunuh untuk membalas dan jatuh korban. Kejadian ini menggusarkan warga kampung tersebut, termasuk yang menjadi anggota Batalyon 751. Konon, karena niat mereka membalas dendam dihalangi, sejumlah prajurit melakukan desersi sambil membawa senjata M16 mereka. Ada juga yang membawa pesawat komunikasi SSB. Pelarian mereka ternyata diikuti beberapa orang sipil, sepertidosen Universitas Cenderawasih, dan beberapa perawat Rumah Sakit Umum Jayapura yang kabur membawa beberapa peti obat-obatan. Sebagian pelarian membawa serta keluarga mereka. Kota Jayapura bertambah gempar pada 13 Februari. Kamis pagi itu, seorang anggota Polantas Polres 1701 Jayapura yang pulang piket melihat bendera OPM terpasang setengah tiang di halaman gedung DPRD. Begitu laporannya diterima, pasukan polisi yang dipimpin Komandan Resort Letnan Koionel Rusman Hadi segera menyerbu. Dua orang yang diduga pengibar bendera OPM tewas setelah terlibat tembak-menembak. Bendera OPM berwarna hitam, dengan 13 setrip putih dan sebuah bintang kuning segera diturunkan. Salah seorang yang tewas diketahui bernama Ellyas Warsay, kopral satu pada Koramil Kota Jayapura. Pangdam Cenderawasih Brigjen Sembiring Meliala agaknya memilih pendekatan persuasif-kultural untuk menyelesaikan peristiwa ini daripada operasi militer. Selama berhari-hari, helikopter terbang di atas hutan yang diduga menjadi tempat sembunyi para pelarian ini, menyerukan agar mereka insaf kembali. Judul seruannya "Panggilan Kasih Seorang Bapak". Para pelarian inilah yang diduga telah menyeberangi perbatasan dan masuk wilayah PNG. "Dalam dua hari mereka bisa tiba di Kota Venalo," kata sebuah sumber. Venalo kira-kira terletak 10 km dari garis batas. Menurut sebuah laporan dari PNG, sewaktu memasuki Desa Wutung di Distrik Vanimo, polisi PNG melucuti senjata yang dibawa sebagian penyeberang ini. Suasana Jayapura sendiri kini sudah tenang. Bioskop, restoran, dan bar mulai ramai lagi. Sejak Jumat pekan lalu, keadaan Siaga III diberlakukan. Dengan kata lain, situasi sudah kembali normal. "Diperhitungkan, sebelum Mei tak bakal ada apaapa yang terlalu mengancam. Paling banter akan ada pelarian yang kabur ke hutan," kata sebuah sumber. Menjelang 1 Mei, hari "kemerdekaan" Papua yang pernah dijanjikan Belanda pada 1963, golongan tak puas di Irian Jaya biasanya memang mencoba melakukan kegiatan, semacam "unjuk diri". Pelarian massal dan "permintaan suaka" pertengahan bulan lalu diduga juga berlatar belakang ini. Para pelarian ke PNG, menurut Menlu Mochtar, akan dipulangkan pemerintah PNG, "karena mereka kini tahu ini kejadian lokal yang tidak menyebabkan gangguan yang mengkhawatirkan. Ini insiden yang sudah selesai," katanya. Sampai awal pekan ini, belum jelas nasib keempat pemuda peminta "suaka" itu. Mereka: Yohannes Rumbiat, Luth Sarakan, Ottis Simupiarip, dan Yakob Amas D.G. dikenal sebagai orang sipil yang ikut melarikan diri ke hutan bersama tentara yang desersi. Menurut sumber TEMPO, mereka bukan karyawan Pemda Irian Jaya dan tidak ada yang terlibat penggelapan uang. Entah bagaimana mereka bisa lolos dan terbang keJakarta, lalu muncul di kedubes Belanda, Rabu pagi itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini