Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JIKA saja para politikus Dewan Perwakilan Rakyat tidak membangkang atas putusan Mahkamah Konstitusi, mungkin situasi Indonesia saat ini masih aman. Buntut rencana jahat para politikus merevisi Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah tanpa mengindahkan suara rakyat menyebabkan masyarakat geram dan berdemonstrasi di berbagai kota hingga berhari-hari.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dari Riau, kami menyaksikan saudara-saudara kami di Jakarta, Semarang, Banjarmasin, dan kota-kota lain menjadi korban kebrutalan aparat kepolisian yang menangani unjuk rasa mengawal putusan Mahkamah Konstitusi dan menolak dinasti politik Presiden Joko Widodo. Berita dan videonya viral di media sosial, khususnya Instagram.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saya jengkel karena Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma'ruf Amin mendiamkan situasi ini. Jika Presiden Jokowi malu bertemu dengan rakyat yang berunjuk rasa, minimal Ma'ruf Amin menggantikannya. Apakah pekerjaan wakil presiden cuma hadir dalam berbagai acara peresmian?
Lalu siapa yang bisa kita salahkan atas aksi unjuk rasa di pengujung bulan Kemerdekaan Republik Indonesia ini? Apakah Presiden Jokowi yang ngebet anak bungsunya sukses di pilkada 2024? Atau para politikus DPR yang ingin menjegal tokoh-tokoh yang berpotensi memenangi pilkada?
Hardi Yan
Tembilahan, Riau
Politikus Oportunis
HAROLD Dwight Lasswell, ilmuwan politik terkemuka Amerika Serikat, pencetus teori komunikasi, dan profesor di Yale University, mengatakan, “politik memang urusan siapa yang mendapat apa, kapan, dan dengan cara bagaimana”. Pernyataan Lasswell tecermin dalam politik di Indonesia dan kita bisa lihat kembali saat Pemilihan Umum 2014 dan 2019. Partai-partai yang sebelumnya berlawanan dan kalah dalam pemilu ramai-ramai merapat ke kubu pemenang tanpa rasa malu demi mendapat pembagian porsi kekuasaan. Mereka mengabaikan kepercayaan rakyat yang telah memberi suara untuk mereka.
Tahun 2024, kita semua berharap akan ada perubahan dan sistem politik berjalan sesuai dengan koridor berpolitik yang sehat dan mengutamakan etika. Ada yang mengontrol dan dikontrol. Namun yang terjadi malah jauh tidak masuk akal. Bukan hanya merapatnya pihak yang kalah ke pihak pemenang dengan tanpa rasa bersalah, tidak peduli etika berpolitik, banyak pula peraturan serta undang-undang yang diakali agar menguntungkan pihak-pihak tertentu demi melanggengkan kekuasaan. Bahkan hal ini sampai menimbulkan gelombang protes dari berbagai elemen masyarakat berupa demonstrasi di Jakarta dan berbagai kota besar lain di Indonesia. Barangkali akal-akalan untuk mengubah berbagai peraturan dan undang-undang akan terus dilakukan apabila tidak ada penolakan masyarakat.
Sampai 1998, kehidupan berpolitik di Indonesia tidak sehat karena dikendalikan dan dikontrol pemerintah Orde Baru. Setelah Orde Baru tumbang, semua orang bisa menjadi politikus dan sekaligus mendirikan partai politik. Artinya, sudah 26 tahun para politikus belajar berpolitik yang baik dan benar dengan segala risikonya. Apakah mereka akan menjadi bagian dari pemerintah atau di luar pemerintahan. Tapi yang terjadi adalah partai politik didirikan sekadar untuk mengejar kekuasaan dan para politikus hanya mencari kekayaan.
Namun Lasswell juga menegaskan, “politikus yang efektif harus mampu mengedepankan motif dan kepentingan publik daripada urusan pribadi”. Sebaiknya para politikus kita meresapi dan merenungkan ucapan Lasswell. Kapan hal tersebut terwujud di Indonesia?
Samesto Nitisastro
Depok, Jawa Barat
Soal Indonesia Emas 2045
PERINGATAN Hari Kemerdekaan sudah berlalu. Ibarat pesta kawin raja-raja, Hari Kemerdekaan kali ini dirayakan dengan beragam kemewahan. Sebuah pesta senantiasa lepas dari alam nyata keseharian. Masalah tengkes (stunting), guru yang kesejahteraannya tak kunjung ditingkatkan, pemutusan hubungan kerja, gangguan keamanan, ketimpangan sosial, dan banyak lainnya seolah-olah sirna sesaat.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan sumber daya manusia bermutu dapat terbangun saat masyarakat didominasi orang muda yang produktif dan orang tua yang berkecukupan secara ekonomi. Mantan Menteri Keuangan, Chatib Basri, berkali-kali mengingatkan kita jangan sampai telanjur tua sebelum menjadi kaya. Bermimpi mencapai Indonesia Emas 2045 adalah wajar. Tapi seyogianya hal ini diimbangi dengan pemimpin yang memiliki wawasan luas dan empati serta mengerahkan segenap kecerdasan.
Hadisudjono Sastrosatomo
Jakarta
Setelah Upacara Kemerdekaan
IBARAT manusia, Indonesia sudah lumayan matang. Namun saat ini Indonesia masih memiliki pekerjaan rumah cukup banyak. Ada masalah korupsi, hukum, hingga nepotisme. Yang tak kalah seru adalah masalah sosial-ekonomi, terutama kemiskinan. Jumlah penduduk miskin Indonesia masih berada di angka 25,2 juta. Penurunan tingkat kemiskinan masih di bawah 1 persen, sangat kecil dan belum membawa perubahan yang signifikan dibanding target 6 persen.
Seorang pedagang sayur di pasar mengatakan dia bersyukur bila dalam sehari memperoleh untung bersih Rp 20 ribu. Cukup untuk makan sehari. Apalagi dia berpegang pada falsafah Jawa “nrimo ing pandum” (menerima apa yang dibagikan). Jumlah tersebut sesuai dengan nilai garis kemiskinan Indonesia Rp 19.400 per hari.
Ada tiga strategi pemerintah dalam menanggulangi kemiskinan, yaitu pengurangan beban pengeluaran masyarakat seperti melalui bantuan langsung tunai dan bantuan sosial, peningkatan pendapatan dan pemberdayaan masyarakat, serta pengurangan jumlah kantong kemiskinan.
Dari ketiganya, yang paling “berhasil” adalah bantuan langsung tunai. Kita bisa saksikan pada tanggal tertentu ada antrean panjang warga di bank pemerintah atau kantor pos. Mereka setia dan sabar menanti kucuran dana BLT sejak pagi sampai siang. Sangat miris melihat mereka sebagai pihak dengan “tangan di bawah”, bukan “tangan di atas”.
Ada pendapat masyarakat bukan tak berdaya, tapi tidak memiliki kesempatan produktif. Hal ini dapat diatasi dengan memberikan kesempatan kerja seluas-luasnya sehingga produktivitas masyarakat bisa dimanfaatkan. Di sisi lain, hal itu dapat mengurangi angka pengangguran dan meningkatkan pendapatan.
Kosmantono
Banyumas, Jawa Tengah