Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
|
Di penjara Takengon itu, hidup menjadi sunyi, redup, dan tanpa nama. Ada sang "lelaki salat" (Amak Baldjun), yang rajin memanggil warga penjara untuk salat; ada seorang pemuda ideolog yang sibuk berpidato tentang gunanya ideologi dalam hidup; ada "lelaki tua bijaksana", yang penuh saran dan nasihat; ada "wanita dapur tua", yang penuh trauma (Ati Cancer), dan "wanita dapur muda" (Berliana Fibrianti), yang menjadi impian setiap lelaki; ada "lelaki tutup telinga", yang selalu merasa lebih aman menyumpal kedua telinganya agar terhindar dari apa pun yang menakutkan, dan ada "penyair didong", yang setiap kali ditugasi Pak Sipir Penjara untuk membungkus para tawanan dengan karung goni sebelum dieksekusi.
Begitukah akhir hidup ini? Garin Nugroho mengisi 86 menit yang mencekam dengan gambar hitam-putih yang menambah efek dramatik film Puisi Tak Terkuburkan, yang akan beredar bulan ini. Dengan bertumpu pada cara bertutur tradisi lisan didong (dari tanah Gayo), Garin berupaya menampilkan sebuah kisah nyata kehidupan Ibrahim Kadir dan warga Takengon lainnya di dalam penjara. Masing-masing memikul "dosa" yang tak jelas dan hanya mengisi detik-detik penantian eksekusi dengan rintihan, tangis, kisah-kisah masa lalu, dan kerinduan kepada istri.
Kemanusiaan tampil dengan menawan saat para tahanan lelaki berkisah bagaimana mereka bertemu dengan para mantan pacar yang sekarang sudah menjadi istri. Momen itu tiba-tiba melempar warga tahanan pengap itu ke sebuah dunia yang damai di masa lalu, sebuah dunia penuh cinta ketika hidup masih belum penuh curiga dan bau mesiu. Adegan manis ini ditampilkan dengan wajar dan bersahaja tanpa pretensi apa pun, sesuatu yang tak mudah dicapai oleh sutradara Indonesia.
Tetapi setelah sekelumit kebahagiaan, senja pun datang. Kegelapan selalu menyimpulkan hidup para tahanan. Bunyi derak truk yang membawa para tahanan yang dibungkus karung goni adalah sebuah tanda bahwa hidup mereka dihitung dalam bilangan detik. Saat-saat mencekam seperti itu digambarkan dengan rekaman gambar yang menampilkan suasana yang sangat menekan dan nyaris mematikan daya hidup. Diiringi ilustrasi musik Tony Prabowo yang menggerus-gerus emosi, adegan-adegan sunyi yang mencekam itulah yang menjadi daya tarik utama film ini.
Adegan-adegan monolog Ibrahim Kadir yang menjadi "jeda" dari beberapa segmen film ini selalu menyentakkan, jika tak membingungkan, karena teknik percampuran gaya dokumentasi dan film cerita. Inilah sebuah gaya sinematik Garinyang memang unggul dalam karya dokumenteryang tercermin dalam karya sebelumnya, Surat untuk Bidadari dan Daun di Atas Bantal; sebuah gaya yang belum tentu disetujui sineas Indonesia sebelumnya.
Dalam film ini, "dokumentasi" terasa kental saat Ibrahim melakukan monolog yang berisi kesaksiannya atas peristiwa kelam itu. Gaya ini kemudian sekaligus menjadi kerangka utama penuturan film ini: tradisi lisan didong.
Berbeda dengan perannya dalam film Tjoet Nya' Dhien karya Eros Djarottempat ia juga berperan sebagai seorang penyair yang mendampingi Dhien dengan campuran gaya yang bijak dan sekaligus konyolkini Ibrahim Kadir tampil sebagai dirinya sendiri: serangkaian kontradiksi dalam sebuah pribadi. Lembut tapi ribut. Penuh kepedihan dan keriangan. Penuh luka tapi tanpa dendam.
Problem Garin dalam penggarapan film ini adalah dia mencoba mengangkat kisah pribadi seseorang dengan sebuah seting besar, peristiwa Gerakan 30 September. Upaya ini membawa risiko tersendiri: pribadi Ibrahim kurang tergali secara mendalam karena konsentrasi terbagi-bagi ke banyak kepala di dalam penjara.
Kompleksitas Ibrahim Kadir akan lebih mencuat jika latar belakang pribadinya lebih tergali. Apa perasaannya bahwa ia selalu diperintah sipir untuk mengikat tangan para tawanan? Proses apa gerangan yang dilaluinya hingga dia bisa menjadi korban yang hidup tanpa dendam? Garin membiarkannya menguap.
Membuat sebuah film sepanjang 86 menit dengan lokasi di dalam sebuah penjara yang pengap dan kelabu ini juga mengundang risiko lain. Pertama, sang sutradara harus memiliki alasan konseptual untuk hanya menyorot peristiwa di dalam penjara selama 22 hari itu. Kedua, sang sutradara juga harus menyadari kecenderungan rasa pengap penonton untuk bertahan secara intens menyaksikan adegan indoor selama 86 menit. Garin menjawabnya dengan mudah. Ia sengaja membuat film ini tanpa pretensi historis ataupun revisionis. "Ini adalah sebuah penafsiran terbuka tentang peristiwa G30S," kata Garin. Dan itulah sebabnya dia sengaja hanya menyorot peristiwa 22 hari tanpa sedetik pun menunjukkan gambaran besar sejarah hitam yang memayungi peristiwa itu. Garin ingin menyorot sisi individual, sisi yang paling mikro dan pribadi, meski akhirnya pribadi-pribadi yang tampil itu adalah sosok tak bernama.
Dan bagaimana Garin mencoba mengikat penonton Indonesia untuk tetap betah di tempat duduknya?Tentu saja tidak cukup hanya dengan menampilkan Berliana Fibriantiyang selama ini lebih dikenal sebagai aktris sinetronyang cantik itu, dan tentu saja tak cukup hanya dengan mengandalkan akting El Manik yang jempolan, atau Ibrahim Kadir yang tampil natural. Apalagi, di antara akting para pemain yang bersinar itu masih terselip beberapa penampilan yang teatrikal.
Toh, film ini masih bisa mengikat kita hingga detik terakhir. Garin bertumpu pada keberhasilan membangun sebuah suasana. Delapan puluh enam menit yang menekan dan mencekam itu adalah sebuah hasil kolaborasi yang integratif dari sinematografi yang dahsyat (Winaldha E. Melalatoa), musik (Tony Prabowo), dan artistik (Rudjito dan Tonny Trimarsanto).
Sudah berkali-kali Garin Nugroho dan kawan-kawannya mencoba menulis puisi melalui film; baru kali ini mereka terjun ke dalam dunia sastra.
Leila S.Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo