Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KRISIS ekonomi boleh mendera, tapi mimpi besar tak bisa surut. Ungkapan ini agaknya berlaku bagi proyek jembatan Suramadu (Surabaya-Madura). Proyek jembatan yang akan menghubungkan Jawa Timur dan Pulau Madura itu menjadi contoh megaproyek yang tak kunjung rampung. Saking lamanya mengendap, lebih dari sepuluh tahun, sampai-sampai muncul guyonan bahwa Pemerintah Daerah Jawa Timur enggan membangunnya. Soalnya, pemerintah daerah takut nanti besi baja jembatan di Selat Madura itu akan dipreteli orang Madura, yang dikenal sebagai pedagang besi tua.
Tentu saja itu cuma guyonan khas Jawa Timur. Guyonan ini pun sekarang tak laku lagi. Mulai tahun 2002 ini, rencana besar pembangunan jembatan Suramadu akan diwujudkan. Dalam empat tahun, jembatan itu ditargetkan sudah harus berdiri. Untuk itu, kini pem-bebasan tanah dan pembangunan fondasi tiang pancangnya sudah dimulai. ”Dana tahap pertama sudah pasti turun, tak ada penundaan,” kata Wakil Ketua Badan Perencanaan Pem-bangunan Daerah Jawa Timur, Chairul Jaelani.
Tampaknya, Chairul optimistis. Apalagi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dikabarkan telah membentuk sebuah tim khusus untuk mendesain jembatan Suramadu. ”Detail desainnya sendiri sudah kelar sejak 1994,” ujar Dwi Agus Purnomo, salah seorang anggota tim dimaksud di BPPT.
Dalam cetak birunya, jembatan itu akan dibangun sepanjang 5,43 kilometer. Dengan enam jalur jalan, median, dan pagar pembatas, total lebar jembatan itu diperkirakan sekitar 28 meter. Pembangunannya menggunakan teknik precast prestressed box girder. Dengan cara ini, pilar-pilar jembatan didirikan lebih dulu. Tak kurang dari 120 pilar akan menopang jembatan tersebut.
Setelah pilar berdiri, balok-balok beton bertulang baja yang telah dibuat (precast) di darat akan diangkut ke lokasi dan dipasang satu demi satu di atasnya. Balok-balok ini bersambungan dan menautkan dua titik landasan di kedua ujung jembatan. Satu landasan terletak di Desa Tambakwedi, Surabaya, sedangkan landasan berikutnya ada di Dusun Sekarbungu, Bangkalan, Madura.
Secara teknis, jembatan ini terdiri atas tujuh bagian. Dua bagian berupa landasan, yakni landasan di Surabaya sepanjang 1.400 meter dan landasan di Bangkalan sepanjang 1.880 meter. Setelah kedua landasan ini jadi, dibangunlah dua bagian berikutnya, yaitu dua potong beton yang simetris satu sama lain sepanjang 440 meter.
Kemudian dipasang bagian kelima dan keenam, yang terdiri atas dua lonjor beton masing-masing sepanjang 382 meter. Terakhir, bagian ketujuh, berupa potongan beton sepanjang 554 meter. Bagian ini akan menjadi penentu yang menghubungkan Surabaya dan Madura.
Hingga jembatan berdiri, dibutuhkan biaya sedikitnya Rp 2,1 triliun. Kendati dana ini tergolong besar, tak otomatis konstruksi pada megaproyek jembatan Suramadu terhitung spektakuler.
Menurut seorang pakar konstruksi, Wiratman Wangsadinata, teknik yang diterapkan di Suramadu tergolong lama. Metode semacam itu sudah jamak dipakai dalam pembangunan jembatan dan jalan tol. Bedanya, pada jalan tol, misalnya jalan layang Cawang-Priok, penampang gelegarnya berbentuk tiang I, sedangkan di Suramadu dibuat seperti kotak. Memang, Wiratman sependapat bahwa teknik itu layak diterapkan di Suramadu lantaran arus Selat Madura tak seberapa deras.
Namun, Wiratman mengkritik desain jembatan Suramadu. Katanya, bentang pendek-pendek seperti kaki seribu pada jembatan itu tak layak digunakan. Ia lebih memilih jembatan dengan satu bentang sehingga tak akan mengganggu pelayaran.
Guru besar di Institut Teknologi Bandung itu bahkan mempertanyakan pentingnya pembangunan jembatan Suramadu. ”Kebutuhan jembatan itu tak mendesak,” ucapnya. Alasannya, lalu lintas Surabaya-Madura masih bisa dilayani dengan kapal feri. Dengan belum adanya kegiatan ekonomi yang menonjol di Madura, tentu perlu waktu lama untuk mengembalikan biaya pembangunan jembatan dimaksud.
Memang, itu kritik dari kampus. Sedangkan harapan besar bagi berdirinya jembatan Suramadu agaknya tak lagi mengawang seperti mimpi.
Darmawan Sepriyossa, Wahyu Dhyatmika (Surabaya)
Barelang:
Enam Kukuh di Barelang ENAM jembatan besar di Kepulauan Riau tampaknya menjadi mahakarya dunia konstruksi Indonesia. Enam jembatan pada proyek Barelang (Batam-Rempang-Galang) itu menghubungkan pulau-pulau di situ. Memang, dari segi konstruksi, keenam jembatan itu pantas dibanggakan. Para pakar konstruksi menyebut keenam jembatan itu sebagai tipikal jembatan generasi keempat. Jembatan generasi pertama diwakili oleh Golden Gate di San Francisco, Amerika Serikat, yang menggunakan tiang pancang dan dek relatif kaku. Pada generasi kedua, dengan tiang pancang masih kaku, deknya sudah fleksibel. Contohnya jembatan Humber di Inggris. Adapun generasi ketiga diwakili oleh jembatan di Selat Messina, Italia. Sementara itu, jembatan generasi keempat, selain fleksibel, optimum dalam waktu pelaksanaan pembuatannya dan mudah pemeliharaannya. Ciri-ciri inilah yang ada pada enam jembatan Barelang. Keenam jembatan di Barelang terdiri atas:
Selat Sunda:
SEMASA B.J. Habibie menjadi Ketua BPPT, pernah ada tim penguji kelayakan pembangunan jembatan Selat Sunda. Bahkan Profesor Wiratman, yang ditugasi mempelajari rencana pembangunan jembatan yang menghubungkan Pulau Jawa dan Sumatra itu, sempat meninjau proyek jembatan di Selat Gibraltar. Bila dibangun, jembatan itu akan membentang sepanjang 27,5 kilometer dan bisa menjadi jembatan terpanjang di Indonesia. Bentang tengahnya berkisar antara 3.000 dan 3.500 meter. Biaya pembangunannya ditaksir mencapai US$ 7 miliar atau sekitar Rp 70 triliun. Menurut Wiratman, secara teknis tak ada masalah pada rencana pembangunan jembatan itu. ”Apalagi dengan ditemukannya serat karbon yang sangat kuat dan ringan,” katanya. Sayang, hingga kini, jembatan itu baru merentang dalam mimpi. |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo