Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Kisah Calo Bergaji Dolar

17 Oktober 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Polisi menangkap enam pegawai Kementerian Perhubungan dan seorang calo sedang menerima suap terkait dengan izin perkapalan. Kepala Kepolisian RI Jenderal Tito Karnavian menjelaskan barang buktinya hanya puluhan juta rupiah. ¡±Tapi, kalau diakumulasi dengan uang lain, jumlahnya mencapai miliaran rupiah. Ini sudah lama terjadi,¡± katanya pekan lalu.

Tempo edisi 29 Juni 2014 menurunkan hasil investigasi tentang kapal-kapal penangkap ikan siluman atau izinnya abal-abal yang beroperasi di Indonesia. Pada bagian kedua tulisan memaparkan soal suap perizinan di Kementerian Perhubungan serta Kementerian Kelautan dan Perikanan dengan judul ”Kisah Calo Bergaji Dolar”.

Wartawan Tempo mewawancarai Luther Palambi, yang jabatan resminya nakhoda kapal Mabiru 15, berbobot sampai 365 gross tonnage. Kapal penangkap ikan berbendera Indonesia ini baru saja sandar di dermaga Pelabuhan Perikanan Nusantara Ambon, Maluku, pada medio Maret 2014. ”Sebenarnya ada dua kapten di Mabiru. Satunya orang Thailand,” kata Luther, pelaut lulusan Sekolah Pelayaran Poso.

Rupanya, kapten seperti Luther tak aneh di banyak pelabuhan perikanan di Indonesia. Di Ambon, Bitung, Tual, sampai Sorong, banyak pelaut Indonesia yang dipekerjakan sebagai ”kapten boneka”. Mereka semua bertugas di atas kapal siluman berbendera Indonesia yang sebenarnya dikendalikan orang asing.

Kepala Kantor Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Bitung Pung Nugroho Saksono membenarkan fenomena ini. Membuktikannya pun, kata dia, tak sulit: semua kapal siluman pasti melakukan perawatan berkala alias docking ke negara asalnya. ”Ini mencurigakan karena ada banyak galangan kapal di Bitung,” ujar Pung. ”Kalau kapal itu memang milik orang Indonesia, kenapa harus docking jauh-jauh?”

Pung lalu membuka data pengawasan lembaganya di Bitung dan menunjukkan tabel berisi daftar penerbitan surat izin berlayar sepanjang 2013. Tercatat ada sedikitnya 52 kapal penangkap ikan yang berlayar ke Pelabuhan General Santos di Filipina dan Pelabuhan Kaoshiung, Taiwan, untuk perawatan. ”Padahal, secara legal, kapal-kapal itu milik perusahaan dalam negeri,” kata Pung sambil geleng-geleng.

Seorang pengusaha yang pernah mengendalikan ratusan kapal siluman di Batam, Bitung, sampai Sorong bercerita bahwa hal pertama yang dibutuhkan hanya selembar surat izin usaha perikanan. Berbekal surat itu, seorang calo bisa memohon alokasi area penangkapan kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Berbekal kedua dokumen itu, mereka pergi ke Pelabuhan Songkhla di Thailand, General Santos di Filipina, atau Kaoshiung di Taiwan. ”Di sana banyak pemilik kapal ikan yang siap diajak bekerja sama,” ujar si pengusaha.

Jika harga disepakati, sang calo kembali ke Tanah Air dan mulai mengurus dokumen perizinan untuk kapal asing itu. ”Seluruh biaya ditanggung pemilik kapal,” katanya. Pertama-tama, calo harus mengurus perubahan kepemilikan kapal dari berbendera asing ke bendera Indonesia. Ini diurus di Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan.

Setelah itu, kapal harus mengantongi surat izin penangkapan ikan dan surat izin kapal pengangkut ikan di Kementerian Kelautan dan Perikanan. Meski kedua izin terakhir harus diurus di kantor kementerian di Ibu Kota, makelar di pelabuhan semacam Bitung dan Ambon sudah punya jejaring sampai ke Jakarta. ”Mereka punya orang dalam,” kata pengusaha ini.

Seorang calo di Bitung bercerita dia dibayar Rp 10 juta setiap bulan selama kapal siluman beroperasi di Indonesia. Itu belum termasuk komisi untuk keberhasilan mengurus izin yang bisa sampai Rp 100 juta per kapal. Jika kapal asing itu minta lokasi penangkapan ikan di sekitar Natuna, makelar akan minta honor US$ 5.000 per bulan alias lebih dari Rp 50 juta.

Adapun tarif makelar di Laut Sulawesi bagian utara mencapai US$ 7.000. Tarif untuk makelar yang bisa mencarikan area penangkapan ikan di Laut Arafura adalah yang paling mahal: US$ 10 ribu. ”Soalnya, ikan di sana masih banyak,” katanya.

Bekas Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Aji Soelarso menjelaskan, uang ratusan juta rupiah untuk mendapatkan izin dari pintu belakang tak ada artinya bagi pemilik kapal siluman.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus