Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Surat Dari Redaksi

Kolumnis tempo

Sejumlah penulis di tempo dengan latar belakang kegiatan/karier masing-masing. (sdr)

5 Januari 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ABDURRAHMAN Wahid sudah jarang muncul di kantor TEMPO. Dulu, tokoh yang kini ketua Tanfidziyah NU itu akan tiba-tiba saja dijumpai sedang mengobrol dengan salah seorang anggota Redaksi, atau duduk mengetik dengan cepatnya untuk pengisi kolom majalah ini. Kami memang pernah menyediakan satu meJa kosong, terutama setelah melihat kemunculannya yang sering - seperti juga kolumnis lain, Onghokham. Perpustakaan TEMPO memang turut menjadi penarik kedatangan mereka. Tidak hanya Cak Dur dan Ong. Tapi juga Burhan Magenda, misalnya, sarjana sosial dari Universitas Cornell itu, meski tulisannya di majalah ini terhitung jarang. Dan memang, kami tidak (bisa) berharap semua kolumnis akan begitu "produktif". Ruangan kita sendiri sangat terbatas - hanya satu sampai tiga tulisan rata-rata tiap terbit. Dan bila tokoh seperti Tuwono Sudarsono, ahli politik luar negeri dari London School of Economics, atau para budayawan seperti Umar Kayam atau orang ekonomi seperti Sediono Tjondronegoro dan Winarno Zain, atau Aswab Mahasin dari LP3ES, atau bekas orang TEMPO sendiri, seperti A. Dahana, yang sedang menyelesaikan program doktornya di Hawaii, terhitung jarangmenulis, itu kebetulan sejalan saja dengan kenyataan bahwa, di kalangan kita, menjadi kolumnis tidak merupakan "satu-satunya profesi". Dunia di luar kolom (yang secuil) itu, untuk negeri yang kelebihan tenaga kerja dan kekurangan tenaga ahli, memang bisa menuntut perhatian lebih besar. Demikianlah, meskipun tokoh seperti Pater M.A.W. Brouwer, psikolog dan dosen itu, atau Mahbub Djunaidi, tokoh NU, bekas ketua umum PWI dan sastrawan, di sebagian kalangan lebih dikenal sebagai kolumnis. Faktor "kesibukan" itu juga yang menyebabkan tidak hanya Abdurrahman Wahid jarang muncul di TEMPO. Emil Salim, misalnya, dulu kolumnis majalah ini sebelum menjadi menteri perhubungan, kemudian menteri PPLH, dan menteri KLH. Sedangkan Moh. Sadli kembali menulis setelah tak lagi menteri pertambangan. Sadli salah satu yang kami mintai "tulisan mendadak" (untuk perkembangan aktual tertentu dalam ekonomi) seperti juga Hadi Soesastro, misalnya. Penulis lain yang tak kurang digemari: Soetjipto Wirosardjono, wakil kepala Biro Pusat Statistik, Masri Singarimbun, direktur Pusat Penelitian dan Studi Kependudukan UGM, Bondan Winarno (yang juga penunggu rubrik Kiat, bersama M.T. Zen yang menulis di Teleskop), atau Arwah Setiawan yang humoris - di samping dua penulis muda usia Fachry Ali dari LP3ES dan Emha Ainun Najib, sastrawan & teaterwan. Juga nama-nama seperti Sudjoko, Th. Sumartana, Ignas Kleden, Ismail Marahimin, Taufiq Ismail, Pendeta Eka Darmaputera, di samping Andi Hakim Nasution, rektor Institut Pertanian Bogor itu, atau penulis dari luar, seperti William Frederick dari Ohio State University.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus