Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Mengaduk-aduk SI

Syarifuddin dan Achda dipecat dari keanggotaan PPP karena dianggap telah melanggar peraturan partai.Syarifuddin juga mengaduk-aduk syarikat islam sehingga terjadi pecat memecat sesama pengurus SI. (nas)

5 Januari 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AKHIRNYA vonis buat Syarifuddin Harahap dan B.T. Achda jatuh. Dengan suatu surat keputusan tertanggal 18 Desember yang ditandatangani Ketua UmumJ. Naro dan Sekjen Mardinsyah, Syarifuddin dan Achda dipecat dari keanggotaan PPP. Keputusan itu telah dikirimkan ke daerah dan cabang-cabang. "Syarifuddin dan Achda dianggap telah melanggar peraturan partai. Perbuatan mereka merusakkan citra partai. Kami telah memanggil mereka tiga kali, tapi mereka tak datang," ujar Mardinsyah. Menurut dia, 22 dari 27 Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) PPP mendukung keputusan itu. Sebelumnya, dengan SK 3 Desember, kedua orang itu telah dicopot dari jabatannya di DPP PPP. Syarifuddin sebelumnya menjabat wakil ketua Majelis Pertimbangan Pusat, dan Achda pimpinan Departemen Luar Negeri DPP PPP. Keputusan pemecatan itu hingga akhir pekan lalu kabarnya belum dikirimkan ke pimpinan DPR. Itu berarti, keanggotaan Syarifuddin dan Achda di DPR belum diutik-utik. Tampaknya Naro bersikap amat berhati-hati dan tidak lansun me-recall keduanya karena khawatir akan terganjal pihak-pihak yang selama ini "memberi angin" pada kedua pembangkang itu. Syarifuddin sendiri agaknya tak begitu peduh dengan pemecatan itu, seperti juga ia tak mengacuhkan pemecatannya dari DPP PPP. Ia tetap menganggap pemecatan itu tak sah. "Karena muktamar PPP Agustus lalu yang sah tidak menghasilkan putusan yang sah, sebab bertentangan dengan undang-undang yang ada," katanya. Sebagai contoh ia menyebut Anggaran Dasar PPP yang masih menyebut "ukhuwah Islamiyah", serta adanya ketentuan anak cabang dan ranting partai di kecamatan dan desa, yang tidak sesuai dengan ketentuan undang-undang. Pada 22 Desember lalu Syarifuddin dan Achda malahan telah membagikan rancangan AD/ART serta program partai yang "disempurnakan". Mereka juga merencanakan menyempurnakan DPP. "Sudah ada beberapa orang yang masuk nominasi. Pokoknya, calon ketua umum dan sekjen sudah ada," ujarnya. Ia mengharapkan tokohtokoh bukan Islam dan aliran kepercayaan bersedia menjadi pengurus PPP, supaya "kongkret keterbukaan PPP". Gebrakan Syarifuddin bukan cuma melawan Naro. Ia juga mengaduk-aduk Syarikat Islam. Pada 23 Desember lalu, Syarifuddin Harahap selaku ketua umum DPP SI mengeluarkan maklumat. Isinya: penyempurnaan DPP SI, antara lain Mahdi Tjokroaminoto selaku ketua umum Dewan Pusat diganti Mansyur Burhan. Juga pernyataan bahwa SI organisasi independen. Karena PPP bukan lagi partai Islam, SI tidak lagi terikat pada deklarasi fusi 1973, khususnya keanggotaan SI pada PPP. Selain itu, maklumat juga mencabut seluruh pemecatan yang dilakukan DPP, DPW, dan DPC SI sejak 1971. Kelompok Syarifuddin merencanakan mengadakan tahkim (kongres) SI setelah Undang-undang Keormasan disahkan. "Paling lambat Juni 1985," kata Syarifuddin. Kongres itu, katanya, akan dihadiri ketiga kubu SI yang ada: plmpman M. Ch. Ibrahim, pimpinan M.A. Gani dan yang dipimpin Syarifuddin. "Warga SI dari kubu mana pun boleh datang ke kongres tanpa surat mandat," kata Syarifuddin. Karena kongres memerlukan bantuan materi dan pemikiran pemerintah, pada 27 Desember lalu Syarifuddin mengirim surat kepada Menteri Agama, meminta bantuannya mempersatukan kembali SI yang terpecah. Mahdi TJokroaminoto, yang disingkirkan Syarifuddin, membantah. Menurut dia, Syarifuddin Harahap bukan lagi ketua umum Pimpinan Pusat (PP)dan anggota SI karena telah dinonaktifkan sejak 1 Desember 1984. Keputusan yang ditandatangani antara lain oleh Mahdi selaku ketua umum Dewan Pusat SI dan Sekjen PP SI Djauhari S. itu menyebut alasan tindakan tersebut: Syarifuddin dianggap telah melakukan tindakan yang menjurus ke perpecahan dalam PPP dan umat Islam. Yang menarik, pada 18 Desember lalu Sekjen PP SI Djauhari yang ikut menandatangani SK pemecatan Syarifuddin berbalik arah: ia mencabut tanda tangannya lalu bergabung dengan Syarifuddin. Ia malah ikut menandatangani SK yang mendepak Mahdi Tjokroaminoto pada 23 Desember tadi. Senin pekan ini Mahdi membalas. Ia mengeluarkan SK memecat Djauhari dari SI. Mahdi juga tidak membenarkan DPP SI yang dipimpin Syarifuddin Harahap. Pecat-memecat tampaknya sudah umum terjadi di SI. Pada 1971, majelis tahkim Partai Syarikat Islam Indonesia di Majalaya memilih M. Ch. Ibrahim sebagai Ketua PP (Lajnah Tanfidziyah) dan Bustamam sebagai ketua Dewan Pusat. Anwar Tjokroaminoto tersingkir selaku ketua PP. Beberapa bulan kemudian T.M. Gobel mengkup Ibrahim dan Bustamam dengan alasan antifusi dan membentuk "pimpinan darurat PSII" dipimpin Anwar Tjokroaminoto dan Syarifuddin Harahap sebagai sekjen. Kepemimpinan SI kemudian beralih ke tangan Gobel dan M.A. Gani. Namun pada 1983, Mahdi Tjokroaminoto bersama Syarifuddin - dengan dukungan J. Naro - mengkup Gobel dan Gani dengan membentuk DPP baru. Gobel dan Gani balik memecat para pelaku kup tersebut. Berarti, sampai saat ini ada empat kelompok yang semuanya mengaku pimpinan SI: kelompok Ibrahim, Gani, Syarifuddin, dan Mahdi. Pada pemilu 1971 PSII memperoleh 20 kursi DPR, sedang setelah pemilu 1977 kursi yang diperoleh SI (setelah berfusi dalam PPP) melorot tinggal 14. Setelah pemilu 1982, wakil SI di DPR tinggal 12 orang, antara lain M.A. Gani, Syarifuddin Harahap, T.M. Gobel (almarhum), Yusuf Rizal Tjokroaminoto, dan Ismail Mokobombang. Menurut Gani jumlah anggota SI di seluruh Indonesia sekitar 3 juta orang dari 230 cabang yang ada, walau baru 175 yang disahkan. "Mereka semua tetap di bawah pimpinan kami," kata Gani. Tapi menurut Mahdi Tjokroaminoto, "Yang resmi diakui pemerintah adalah DPP SI di PPP yang saya pimpin." Ketiga DPP lainnya, pimpinan Ibrahim, Gani, dan Syarifuddin "cuma ada secara formalitas, dan tak ada kegiatannya." Bagaimana sikap pemerintah? Kepala Biro Humas Depdari. Feisal Tamin. menjelaskan, "Mengenai masalah Syarikat Islam, tidak ada istilah diakui oleh pemerintah. Menteri Dalam Negeri Soepardjo Roestam pernah mengucapkan, urusan ormas adalah urusan mereka sendiri. Apa pun yang terjadi, perpecahan atau bentrokan, itu urusan mereka. Pemerintah selalu mengembalikan pada apa anggaran dasar dan anggaran rumah tangganya. Dalam masalah SI, kita belum melihat istilah pecah dan sebagainya, karena dampak yang terjadi tak terasa."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus