Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bursa calon Kepala Kepolisian Republik Indonesia memanas. Meski masa pensiun Jenderal Sutarman masih cukup lama, yaitu Oktober mendatang, Komisi Kepolisian Nasional telah menyiapkan lima nama calon penggantinya. Salah satunya adalah Kepala Lembaga Pendidikan Polri Komisaris Jenderal Budi Gunawan. Nama Budi sebelumnya pernah memunculkan kontroversi karena diduga memiliki rekening gendut.
Pada era Presiden Abdurrahman Wahid, pergantian Kapolri sempat menimbulkan gejolak. Saat itu Gus Dur menonaktifkan Kapolri Jenderal Surojo Bimantoro. Kontroversi ini direkam dalam liputan yang disajikan majalah Tempo edisi 17 Juni 2001.
Ada pemandangan tak lazim di Markas Besar Polri pekan lalu. Ketika salat Jumat hendak berlangsung, Kapolri nonaktif, Jenderal Surojo Bimantoro, terlihat mengambil tempat di luar masjid. Ia ditemani mantan Wakil Kapolri Komisaris Jenderal Pandji, Sekretaris Jenderal Polri Inspektur Jenderal Yun Mulyana, dan Brigadir Jenderal Dadang Garnida. Mereka duduk di atas sajadah berlapis koran di bawah pohon akasia. Padahal biasanya mereka selalu memilih tempat di dalam. Bahkan Wakil Kapolri Komisaris Jenderal Chaeruddin Ismail pun, walau terlambat datang, masuk ke masjid. Adakah ini garagara pergantian pemimpin Polri itu?
Entah. Yang jelas, keputusan Presiden Abdurrahman Wahid menonaktifkan Kapolri Jenderal Surojo Bimantoro dan mengangkat Andi Chaeruddin Ismail menjadi Wakil Kapolri telah mengundang kontroversi. Selain Polri sendiri menunjukkan tandatanda perlawanan, kalangan tentara dan politikus di Dewan Perwakilan Rakyat mempersoalkannya.
Tak lama sesudah diminta mundur, Bimantoro melakukan commander's call kepada seluruh jajaran kepala kepolisian daerah. Dalam tempo singkat, keluar pernyataan dari 102 pejabat teras Markas Besar Polri serta Kepala Kepolisian Daerah Irian Jaya, Aceh, Jawa Barat, Metro Jaya, Jambi, dan Sumatera Selatan, yang isinya mendukung Bimantoro. Jenderaljenderal itu menyatakan institusi Polri tidak boleh dipolitisasi.
Jajaran Kepolisian Daerah Jakarta juga langsung melakukan apel siaga di Lapangan Silang Monas, pekan lalu. Apel yang dipimpin Kapolda Metro Jaya Inspektur Jenderal Sofjan Jacoeb itu diikuti sekitar 7.000 personel, lengkap dengan pelbagai persenjataan. Kendati Kepala Dinas Penerangan Polri Inspektur Jenderal Didi Widayadi mengatakan apel tersebut bukan bentuk "perlawanan" kepolisian terhadap penonaktifan Bimantoro, melainkan sekadar menyatukan komitmen polisi dalam menyikapi suhu politik di Tanah Air, awam menafsirkan lain. Polisi dianggap sedang merapatkan barisan.
Para anggota parlemen di Senayan tak kalah sigap. Komisi I DPR segera menggelar acara dengar pendapat dengan Bimantoro. Dalam acara itu, Kapolri kembali menjelaskan bahwa dia tidak mau mundur kecuali Presiden Abdurrahman Wahid sendiri yang memecatnya. "Yang saya tolak—dan ini ingin saya ulang lagi kepada pers karena seolaholah saya telah menolak keinginan Presiden—adalah permintaan untuk mengundurkan diri," kata Bimantoro, "Saya tidak mau mundur begitu saja tanpa pernah mempertanggungjawabkan apa yang telah saya lakukan selama menjabat Kapolri."
Menurut pengamat politik dan militer Salim Said, apa yang dilakukan jajaran Polri sejatinya tak terlepas dari perlawanan yang dilakukan musuh politik Abdurrahman yang lain, yakni para politikus di DPR, juga Wakil Presiden Megawati. Pergantian kabinet yang dilakukan Presiden Abdurrahman sendiri membuat Megawati tidak senang. Polri tahu persis situasi ini, sehingga mereka melawan.
Bagaimana menyelesaikan kontroversi itu? Menurut Salim Said, solusinya adalah kompromi, yakni membiarkan Bimantoro terus menjadi Kapolri hingga masa pensiunnya tiba pada November nanti. Di pihak lain, Polri juga harus bisa menerima Chaeruddin Ismail sebagai Wakil Kapolri. Pada November nanti, Chaeruddin bisa dilantik menjadi Kapolri. "Solusi ini menguntungkan kedua belah pihak," kata Salim.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo