Sebagai siswi SLTA, saya merasakan citra buruk yang ditimbulkan oleh sebagian pelajar akhir-akhir ini. Lihatlah di warung-warung makanan, para pelajar duduk "nongkrong" dan "mejeng" sambil tertawa, berteriak-teriak tanpa peduli dengan lingkungannya. Di kios-kios pinggir jalan, para pelajar menyatukan asap rokok dengan polusi jalanan. Lalu, di pusat perbelanjaan, duduk sekolompok pelajar yang bercerita tentang apa saja. Dan terakhir, di halte-halte bus kota, beberapa pelajar memegang batu, siap untuk menyerang atau menghadapi serangan dari pelajar lain. Akibatnya, kami -pelajar yang lain -menjadi korban citra buruk itu. Banyak bus kota atau Metro Mini tidak mau mengangkut pelajar. Mungkin, selain takut kaca pecah, ongkos yang diterima dari pelajar juga kecil. Bahkan, saya pernah tidak diperkenankan masuk ke pusat perbelanjaan untuk membeli buku. Alasannya, kami tergolong "mereka yang memakai abu-abu putih". Kondisi di atas menimbulkan banyak pertanyaan di benak saya: mengapa kami jadi korban dari segelintir pelajar yang kacau. Bila hal itu terjadi di banyak sekolah, siapa yang salah. Apakah kebrutalan muncul karena perasaan teman-teman saya sama dengan perasaan saya, yakni bingung setelah tamat SLTA. Soalnya, sekolah negeri (yang murah) terbatas, sekolah swasta mahal, dan lowongan pekerjaan tidak ada, dan lain-lain. Kami tak ingin menjadi korban citra yang jelek. Kami juga tak ingin jadi korban kondisi yang jelek untuk masa depan kami. Oh, Bapak-bapak pemimpin republik tercinta ini, tolonglah kami pelajar-pelajar Indonesia. INDAH NURMALASARI d/a Batu Ampar V No. 16 Rt 13 Rw 05 Jakarta 13520
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini