Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MASALAH korupsi mencuat kembali. Kali ini Ketua MPR Amien Rais melontarkan gagasan untuk membentuk Komisi Independen Antikorupsi. Gagasan pembentukan komisi ini didasarkan pada pertimbangan banyaknya pejabat yang berwenang mengusut dan mengadili koruptor yang berkesan masih ogah-ogahan. ”Ada pihak-pihak yang membela korupsi. Beberapa (oknum) dari Kantor Kejaksaan Agung masih menghalangi (pengungkapan kasus korupsi). Dari kepolisian, ada sebagian (beberapa) oknum yang tidak suka kalau korupsi dieliminasi, bahkan mungkin di beberapa departemen ada usaha-usaha untuk memblokir pengadilan korupsi,” kata Amien Rais seusai berbicara dalam acara ”The Prudential Forum on Business Ethics and Anti-Corruption Reform (Kompas, 18 Februari 2000).
Sementara itu, beberapa pakar hukum pun menyangsikan korupsi akan bisa diberantas, karena terkendala oleh perundang-undangan antikorupsi yang belum memadai. Guru besar Universitas Airlangga Prof. Soetandyo Wignjosoebroto, ahli sosiologi hukum Universitas Diponegoro Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, dan sosiolog Universitas Airlangga Hotman Siahaan mengatakan bahwa korupsi sulit diberantas karena tidak lagi merupakan individual corruption, tapi sudah menjadi institutional corruption.
Pendapat para pakar tersebut bisa dibuktikan dengan banyaknya kasus korupsi yang divonis bebas oleh pengadilan. Di Makassar, misalnya, dalam kurun waktu Januari 1999-Januari 2000, ada 20 kasus korupsi yang divonis bebas. Terakhir, di Banda-aceh, terdakwa mantan Wali Kota Banda-aceh Sajed Husein Alhaj dan mantan stafnya, Sajed Zainuddin, divonis bebas oleh Pengadilan Negeri Banda-aceh.
Masalah korupsi ini tampaknya sudah mengakar jauh ke dalam tubuh birokrat di Indonesia, dari pusat sampai daerah, bahkan terakhir sudah menghinggapi LSM-LSM yang mestinya bersih dari penyakit korupsi yang sudah kronis ini. Contohnya, pelaksanaan program JPS dan program KUT yang dipercayakan kepada LSM ada yang diselewengkan. Hal ini tidak mengherankan karena selama kurang-lebih 32 tahun korupsi seakan-akan dipelihara dan ditumbuhkembangkan oleh pemerintah Orde Baru. Dengan kata lain, korupsi sudah menjadi budaya birokrat pemerintah Orde Baru, yang sampai sekarang masih belum terjamah.
Untuk mengatasi penyakit yang sudah kronis ini, tidak ada jalan selain harus dilakukan operasi. Harus dilakukan pembongkaran sampai ke akar-akarnya. Dalam hal ini, diperlukan adanya pressure group yang tak henti-hentinya melakukan kampanye antikorupsi, dari pusat sampai daerah. Seharusnya, partai-partai yang mempunyai jalur hierarki sampai ke daerah-daerah, seperti PDI Perjuangan, PKB, PAN, dan PBB, memegang peranan penting dalam mengontrol dan menghentikan terjadinya korupsi di berbagai instansi pemerintah di seluruh Tanah Air. Sayangnya, pimpinan partai-partai itu sendiri masih banyak yang diragukan idealisme dan integritasnya terhadap gerakan reformasi. Hal ini terbukti dengan masih banyaknya berita tentang money politics yang terjadi dalam pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota di beberapa daerah.
Tampaknya, sebagian besar pemimpin partai masih berorientasi terhadap kekuasaan. Mereka bergabung ke dalam partai bukan dengan idealisme untuk memperjuangkan rakyat kecil yang menjadi korban penindasan penguasa, melainkan hanya untuk menjadi menteri, gubernur, bupati, atau wali kota, atau setidaknya duduk di lembaga-lembaga perwakilan ”rakyat”, dari pusat sampai daerah. Karena itu, tidak aneh kalau gebyar gerakan partai-partai di daerah hanya terjadi pada saat kampanye pemilihan umum. Pada saat itu, mereka jorjoran. Kalau perlu, mereka menghalalkan segala cara untuk meraih suara sebanyak-banyaknya dengan harapan mendapat pembagian jatah kursi. Sungguh sangat menyedihkan.
H. SUPARMAN AMIRSYAH
[email protected]
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo