Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TULISAN Mati Dem Asal Ngetop yang dimuat di TEMPO Edisi 17-23 Maret 2003 membuat bulu kuduk saya merinding. Terbayang Palembang sebagai kota yang penuh dengan darah. Manusianya sangar, mudah tersinggung, temperamental, tak bisa diajak kompromi, dan mau menang sendiri. Sehingga orang bukan hanya tak mau datang ke Palembang, tapi juga enggan bersahabat dengan orang dari sana.
Persoalan itu sebenarnya bukan dipengaruhi oleh perilaku masyarakat setempat, melainkan bagaimana pemerintah dapat melayani semua keperluan masyarakat, termasuk (dan yang paling penting) menyediakan lapangan pekerjaan. Banyak bangsa dan suku di dunia yang memiliki sejarah dan peradaban yang kelam, tapi mereka berubah seiring dengan makin terpenuhinya kebutuhan dasar untuk hidup.
Palembang sendiri sama sekali tak pernah mengenal ”budaya tujah”. Tujah hanyalah terjemahan dari kata ”tusuk”. Seperti cincang atau iris, tujah adalah bagian dari fungsi sebuah benda tajam. Jika kemudian tujah menjadi bagian dari aksi kriminalitas, itu karena menyangkut hak hidup. Inilah akar persoalannya, yang sama sekali tak pernah kita pikirkan penyelesaiannya.
Saya khawatir tulisan tersebut akan menjadi alat pembenar bagi pemerintah untuk tidak melakukan kewajibannya. Itu sama seperti kasus banjir di Jakarta. Sutiyoso bisa melenggang kembali menjadi Gubernur DKI karena banjir dianggap bukan tanggung jawabnya, melainkan ”sudah dari sononya.”
Ungkapan seperti mati dem asal top (mati sudah asal populer) atau nedo mbono mati jadia (tidak membunuh, mati jadilah) itu memang berasal dari daerah di Sumatera Selatan. Hanya, ungkapan ini hanya menjadi bahan olok-olok daerah setempat, tidak benar-benar diyakini sebagai perilaku. Yang sering melontarkannya adalah masyarakat kelas bawah dan sampai sekarang belum seorang pun tahu kapan ungkapan tersebut pertama kali dimunculkan. Itu sebabnya, agar fenomena itu tidak disalahpahami oleh kriminolog, perlu penelitian mendalam yang melibatkan banyak unsur, sehingga secara sosiokultural masyarakat Palembang tidak dirugikan.
NURHAYAT ARIF PERMANA
Jalan Puding 1301, Palembang
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo