Saya tertarik ikut nimbrung tentang "Fatwa Green Sands" (TEMPO, 11 Mei 1991, Komentar). Saya terheran-heran, kenapa terhadap minuman yang berbusa dan membuat orang kliyengan itu masih dicari-cari excuse untuk menghalalkan. Apakah ada bedanya orang minum segelas air dengan segelas Green Sands? Kalau tak ada bedanya tidak perlu diragukan lagi, Green Sands halal. Kalau yang meminum itu kliyengan, maka jangan ragu-ragu mengatakan haram. Tentu, dalam hal ini, kondisi fisik harus kurang lebih sama. Misalnya, sama-sama perut kosong, berat badan sama, dan belum pernah minum Green Sands. Mohon dicatat juga, derajat "mabuk" itu mulai dari rasa pusing sampai kepada pingsan tak tahu diri. Apakah definisi mabuk harus menunggu sampai orang terhuyung-huyung lantas digotong? Apakah agama harus menunggu umatnya sampai mengoceh kehilangan kepribadian, baru ulamanya menjatuhkan hukum haram? Tidakkah sebaiknya ulama memberikan peringatan kepada umatnya tentang berbagai minuman yang berpotensi membawa kepada kondisi mabuk? Nah, peringatan ulama itulah yang dibahasakan dengan bahasa haram, makruh, dan jaiz. Di samping itu, harus disadari bahwa semua orang Islam bertanggung jawab terhadap masa depan generasi yang akan datang: apakah akan bebas dari alkohol atau menjadi pecandu alkohol. Sekali satu generasi menjadi alkoholik, maka pengorbanan sosial menjadi tak terkirakan besarnya. Sampai putus urat leher mubaliq memfatwakan haramnya khamar, minuman itu akan tetap dilahap orang. Lagipula, hampir tidak pernah seseorang menjadi pecandu alkohol, melainkan lebih dulu melalui fase coba-coba dengan minuman alkohol yang ringan. Lalu minuman ringan itulah yang akan mengantarkan seseorang menjadi pecandu berat alkohol. Nah, tugas para ulama untuk membikin jelas agama kepada umat, dan bukan untuk membikin bingung. DR. MUSLIM GUNAWAN Jalan Cabe Raya 17 Pondok Cabe Udik, Ciputat Tangerang, Jawa Barat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini