Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SAYA kaum menengah yang rentan miskin tapi kepo terhadap isi majalah Tempo. Saya juga penggemar majalah fisik yang belum pernah sama sekali membeli majalah digital. Alasan saya sama dengan yang menyukai koleksi majalah fisik lain: membaca majalah fisik tidak boros kuota Internet, bisa membaca offline, dan majalah fisiknya bisa disimpan di rak buku serta dibaca kembali tanpa harus membuka telepon seluler.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berat bagi saya mengeluarkan uang sebesar Rp 200 ribu hanya untuk berlangganan Tempo sekalipun promonya untuk akses 12 bulan, yang kalau dikalkulasi memang jauh lebih hemat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Coba Tempo digital menyediakan pilihan berlangganan per hari. Kalau membayar full Rp 200 ribu, bagi kami kaum kelas menengah ke bawah, itu berat juga.
Kami mau membaca berita sekadarnya, bukan yang setiap kali ada waktu senggang mencari informasi ke situs Tempo. Misalnya biaya langganan Tempo digital 24 jam seharga Rp 5.000. Kalau promosi Tempo bisa menjangkau 1 juta pelanggan baru, pelanggan harian 1 juta x Rp 5.000, banyak juga kan duitnya?
Untuk tetap update dengan edisi Tempo setiap pekan, saya terbantu oleh adanya akses gratis laman Nawala di Tempo.co dan beberapa cuplikan singkat Opini Tempo di Majalah.tempo.co, juga dengan mengikuti akun media sosial Tempo. Biasanya, jika ada edisi yang menarik, saya akan membeli majalah fisik terbaru atau menunggu edisi itu menjadi majalah bekas yang dijual lebih murah di lokapasar.
Saya juga sangat menantikan edisi khusus kaleidoskop rezim Jokowi, rekap catatan 10 tahun kinerja dan kebijakannya. Apa saja kejahatannya? Apa saja kebaikannya? Supaya kita semua enak tidur nanti malam, biar kita semua clear dengan segala kegaduhan yang diobok-obok rezim ini.
Hardi Yan
Indragiri Hilir, Riau
Usul Anda sangat menarik. Kami coba timbang. Soal edisi khusus sepuluh tahun Joko Widodo, kami sedang menyiapkannya.
Belanja di Shopee
“GARANSI Bebas Pengembalian. Berubah Pikiran? Tidak Sesuai? Balikin Saja, Gampang!” Begitulah janji manis promosi Shopee yang gencar menghiasi berbagai media. Tapi praktiknya tidak segampang itu.
Saya membeli sebuah jam tangan pintar merek JS Watch 6 Classic senilai Rp 400 ribu di Shopee pada 8 Maret 2024. Jam bermasalah sejak awal, harus diisi daya setiap hari. Perkembangannya, gambar bergerak dan berpindah sendiri ke fitur lain. Akhirnya layarnya mati total.
Shopee menyatakan “tidak bisa klaim garansi”. Padahal saya telah memenuhi tiga syarat klaim garansi sebagaimana yang tertulis di deskripsi Toko Lima Star. Saya telah meminta admin memberikan lembar formulir kartu garansi. Kertas tersebut terselip dan hilang. Tapi kata admin Toko Lima Star tidak bisa. Saya meminta pertanggungjawaban Shopee.
M. Adib
Surabaya
Anggaran Makan Siang Gratis
RENCANA penyediaan makan siang gratis yang bertujuan mulia menyisakan beberapa pertanyaan mendasar. Apakah anggaran sebesar Rp 15 ribu per porsi per hari sudah memadai untuk menyediakan makanan 4 sehat 5 sempurna? Selain itu, dari jumlah kurang-lebih 82,9 juta murid sekolah yang akan mendapatkan makan siang gratis, apakah memang benar semuanya membutuhkan? Untuk kedua hal tersebut, perlu dilakukan kajian secara lebih mendalam dengan melibatkan pakar-pakar yang menguasai bidang terkait.
Menurut hitung-hitungan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional, anggaran yang diperlukan sebesar Rp 182,2 triliun per tahun. Sedangkan Kementerian Koordinator Perekonomian menyebutkan angka sebesar Rp 257,2 triliun per tahun. Bahkan penghitungan Tim Kampanye Nasional Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka memunculkan angka yang sangat fantastis: Rp 450 triliun per tahun.
Bagaimana cara menghitungnya? Apakah sudah melalui survei secara ilmiah? Tetap saja biaya makan siang gratis bukanlah pengeluaran yang sedikit.
Melihat jumlah rupiah berukuran jumbo, akan terbuka peluang terjadinya penyalahgunaan anggaran. Para pengusaha jasa boga, baik yang kelas kakap di tingkat nasional maupun yang kecil di daerah-daerah, tentu akan berlomba-lomba dan berusaha dengan berbagai cara untuk ikut menikmati kue anggaran yang menggiurkan tersebut. Belum lagi keterlibatan pengusaha yang memasok bahan-bahan mentah. Maka akan terjadi praktik suap, korupsi, permintaan komisi, dan permainan harga. Bukan rahasia lagi, akan muncul oknum-oknum politikus yang berperan sebagai calo. Bisa jadi program makan siang gratis akan menjadi lahan korupsi baru.
Apabila memang program makan siang ini terwujud, sebaiknya lakukan secara bertahap dan tidak serentak di seluruh Indonesia, dimulai dari wilayah-wilayah yang secara ekonomi masih tertinggal. Pantau tingkat keberhasilannya, pertimbangkan dampak positif serta negatifnya, dan lakukan perbaikan atas berbagai kekurangan yang terjadi.
Jangan lupa, masih banyak sekolah yang kurang memadai dan tidak layak baik dari segi sarana maupun prasarana. Bukankah lebih baik anggaran makan siang yang jumbo tersebut sebagian besar digunakan untuk membangun sekolah? Belum lagi nasib para guru yang masih berstatus kontrak dan honorer serta yang dibayar seadanya karena tidak adanya anggaran.
Samesto Nitisastro
Depok, Jawa Barat