Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DUGAAN suap proyek listrik yang menyeret politikus Golkar, Eni Maulani Saragih, menyingkap tabir korupsi di Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang masih laten hingga hari ini. Eni dicokok Komisi Pemberantasan Korupsi di rumah dinas Menteri Sosial Idrus Marham di kompleks Widya Candra, Jakarta, Jumat dua pekan lalu, lantaran diduga menerima Rp 500 juta dari bos BlackGold Natural Resources Limited, Johanes Budisutrisno Kotjo. Uang itu adalah sebagian dari sogok sebesar 2,5 persen dari nilai proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap Riau-1: Rp 12,87 triliun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pangkal soal perkara ini ada pada penunjukan langsung pengampu proyek. Di tengah era keterbukaan dan persaingan, PLN justru diberi wewenang menunjuk langsung penggarap pengadaan listrik 35 ribu megawatt senilai Rp 1.100 triliun dengan dasar Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2017. Cara ini melanggengkan praktik tanpa tender sejak zaman Orde Baru.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Artikel majalah Tempo edisi 21 November 1992 berjudul "Selisih Satu Juta Dolar" membahas penunjukan Sumitomo Corporation dalam proyek Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap (PLTGU) Tambaklorok, Semarang, yang bermasalah. Soalnya, harga yang ditawarkan lebih mahal dan merugikan negara.
Ketika pemerintah akan membangun di Tambaklorok, banyak pihak yang lega. Untuk membangun pembangkit berkapasitas 500 megawatt (memenuhi 10 persen kebutuhan listrik) ini, pemerintah menunjuk Sumitomo Corporation. Dalam urusan pembangkit listrik, Sumitomo memang bukan nama baru.
Penunjukan langsung tanpa tender tampaknya didasari keberhasilan Sumitomo mengerjakan pembangkit listrik tenaga gas (PLTG) di Muara Karang, Jakarta. Jalan mulus pun terbuka bagi Sumitomo untuk mendapatkan alokasi kredit ekspor pembiayaan proyek Tambaklorok, yang bernilai Rp 1,02 triliun. Sumber-sumber di Pertamina menilai proyek yang disetujui pemerintah dalam proyek Tambaklorok lebih mahal dibanding jika melalui tender terbuka.
Penunjukan langsung oleh Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri Radius Prawiro kepada Sumitomo itu ditengarai merugikan PLN karena harga listrik hampir dua kali lipat harga jika melalui tender terbuka. Sumitomo menawarkan US$ 1.000 per kilowatt, padahal di PLTGU Tanjung Priok harga per kilowatt hanya US$ 540.
PLN membantah tuduhan ini. Menurut Direktur Utama PLN Zuhal, persetujuan Menteri Radius yang diturunkan pada Agustus tahun itu baru untuk pembelian tiga unit gas turbin. Peralatan ini digunakan untuk membangun PLTG, belum sampai ke tahap PLTGU, yang mesti ditambah dengan unit steam cycle. Bahkan, untuk sampai tahap lanjut, akan ada repeat order.
Setelah melewati empat tahap negosiasi, pemerintah menyetujui kontrak dengan Sumitomo untuk pembelian dan pemasangan tiga unit gas turbin, yang bernilai total US$ 217,67 juta. Dengan nilai kontrak sebesar itu, biaya per kilowatt di PLTGU Tambaklorok akan menjadi US$ 636,48.
Mahalkah harga itu? "Untuk menilainya, bisa dibandingkan dengan tender yang sudah pernah dilakukan," kata Zuhal. Misalnya dengan PLTG Tanjung Priok yang dikerjakan General Electric. Untuk tiga unit pembangkit dengan kapasitas sama, General Electric menawarkan US$ 216,69 juta dengan unit cost US$ 633,6 per kilowatt. "Jadi ada selisih 1 juta dolar saja," ucap Zuhal.
Selisih US$ 1 juta dianggap masih bisa ditoleransi. Selisih tersebut ada tak hanya karena premi asuransi di Tambaklorok 7 persen sedangkan di Tanjung Priok cuma 3 persen, tapi juga lantaran harga di Tambaklorok sudah termasuk fasilitas umum, antara lain tangki yang dua kali lebih besar, hydrogen plant, dan tiang pancang yang tiga kali lebih panjang. Berbagai fasilitas itu diperlukan untuk memperbaiki kondisi geografis Tambaklorok yang buruk. "Dari situ tampak bahwa unsur kerugian PLN tidak terbukti," ujar Zuhal.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo