Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TERBONGKARNYA kasus suap dalam proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap Riau-1 pekan lalu menunjukkan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) masih belum bersih dari praktik korupsi. Ulah lancung Wakil Ketua Komisi Energi Dewan Perwakilan Rakyat Eni Maulani Saragih menerima sogokan Rp 4,8 miliar dari Johanes Budisutrisno Kotjo, pemilik BlackGold Natural Resources Limited-rekanan anak perusahaan PLN dalam proyek Riau-tak lepas dari buruknya tata kelola perusahaan setrum milik negara itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Minimnya transparansi dan lemahnya mekanisme pengawasan di satu sisi, plus luasnya kewenangan pucuk pimpinan PLN di sisi lain, merupakan resep bencana yang bisa mengganggu penyediaan dan pengelolaan energi di negeri ini. Dibutuhkan audit menyeluruh untuk mengidentifikasi bagian mana dari struktur dan proses kerja PLN yang berpotensi mengundang masalah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Silang sengkarut proyek Riau-1 ini sudah dimulai saat penugasan anak perusahaan PLN, PT Pembangkitan Jawa-Bali dan PT PLN Batubara, sebagai pelaksana pembangunan pembangkit listrik mulut tambang itu. Meskipun skema penunjukan langsung diperbolehkan dalam Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2017 tentang Percepatan Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan, petunjuk teknisnya sampai sekarang belum ada. Walhasil, keputusan PLN menggandeng BlackGold Natural Resources Limited dari Singapura dan China Huadian Engineering Co Ltd sebagai mitra konsorsium adalah sepenuhnya kewenangan Direktur Utama PLN.
Momentum Membersihkan PLN
Komisi Pemberantasan Korupsi menuding Johanes Kotjo menjanjikan uang terima kasih sebanyak 2,5 persen dari nilai proyek PLTU Riau-1, sekitar Rp 12,87 triliun, sebagai imbalan atas penunjukan perusahaannya. Itu artinya sama dengan sekitar Rp 320 miliar. Dengan demikian, suap yang diterima Eni Saragih sebesar Rp 4,8 miliar hanya seujung kuku dari total nilai kongkalikong yang dirancang dalam proyek pembangunan pembangkit listrik berkapasitas 2 x 300 megawatt ini. Pertanyaannya: siapa lagi yang telah dan akan menikmati uang terima kasih yang dijanjikan Johanes?
Arah penyidikan Komisi Pemberantasan Korupsi bisa diraba ketika mereka menggeledah rumah Direktur Utama PLN Sofyan Basir, Ahad pekan lalu-dua hari setelah Eni dicokok. Petugas KPK juga memeriksa Menteri Sosial Idrus Marham, tokoh yang disebut-sebut sebagai patron politik Eni Saragih, selama sebelas jam pada Rabu pekan lalu. Ketika ditangkap KPK, Eni memang sedang berada di rumah dinas Idrus. Selayaknya kita mendorong KPK agar tak surut langkah meski harus berurusan dengan nama-nama besar yang diduga berada di balik skandal ini. Siapa pun tidak boleh mengintervensi proses penyidikan KPK.
Lebih dari itu, terbongkarnya skandal ini juga bisa menjadi momentum untuk mereformasi PLN. Di luar soal penunjukan langsung, ada banyak potensi patgulipat lain dalam tata kelola sistem kelistrikan nasional kita selama ini. Bahkan soal yang paling mendasar, yakni cetak biru megaproyek strategis nasional 35 ribu megawatt, juga bermasalah. Proyek percepatan penambahan pasokan listrik itu dirancang dengan asumsi pertumbuhan ekonomi sebesar 6-7 persen. Saat ini, ketika angka pertumbuhan meleset dari target, tentu dibutuhkan penyesuaian.
Masalahnya, ketika Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral merevisi Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik, muncul potensi main mata baru antara pemerintah dan penyedia listrik swasta alias independent power producer. Kewenangan untuk meneruskan atau menunda proyek berada di tangan pejabat Kementerian Energi, tanpa mekanisme pengawasan yang memadai.
Skema pembelian listrik swasta atau power purchase agreement antara PLN dan penyedia listrik independen juga perlu dikaji kembali. Selama ini, negosiasi penentuan harga pembelian dilakukan secara tertutup dengan kendali di tangan Direktur Utama PLN. Padahal selisih harga sekian sen per kilowatt-jam saja bisa menentukan berapa persentase keuntungan yang dinikmati perusahaan pembangkit listrik. Kongkalikong amat rawan terjadi di sini.
Ikhtiar pemerintah menggenjot pembangunan infrastruktur, termasuk di bidang kelistrikan, selama empat tahun terakhir patut dipuji. Tapi hendaknya transparansi dalam tata kelola berbagai proyek itu tak diabaikan. Semua celah untuk pelanggaran perlu diantisipasi karena mengandalkan niat baik semata tidak cukup. Kita tak ingin skandal suap di proyek PLTU Riau-1 terulang di proyek pembangkit listrik lain.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo