Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
UNTAIAN melati dikalungkan ke lehernya. Tepuk tangan meledak. Laki laki bertubuh sedang itu, dengan kaca mata yang tebal, rupanya begitu terharu. Lebih-lebih ketika serombongan desainer muda naik panggung, menyerahkan sehelai sutera putih dengan tanda tangan mereka, lalu mencium dan memeluk laki-laki itu. Cup. Cup. Lalu diulurkan hadiah: sebingkai kayu yang memuat namanya - Peter Sie - dari emas. Matanya masih berkaca-kaca ketika esok harinya dia bercerita, "Semua itu tak saya sangka. Begitu besar kehormatan yang saya terima." Acara pergelaran busana malam itu didahului oleh jamuan koktil, santap malam, dan tarian anak-anak memang diadakan bertepatan dengan genap 30 tahun Peter Sie menjadi perancang pakaian. Penyelenggaranya, sebuah panitia yang diberi nama Malam Dana Mitra Busana (dari para nyonya hartawan dan pejabat tinggi pencinta mode), berniat mengisi peringatan itu dengan usaha pengumpulan dana sosial. Saluran mereka: Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia - yang malam itu berhasil mendapat Rp 62 juta. Maklum, ruang BalIroom Hotel Mandarin sendiri, Selasa pekan lalu itu, terasa terlalu kecil untuk menampung para tamu yang terdiri dari "orang-orang apik" dari Jakarta. Peter, sampai kini, terhitung yang paling top di antara para perancang busana yang tidak banyak di tanah air. Bukan dalam arti kreasinya paling hebat: rekan-rekannya bahkan merasa canggung untuk membicarakan mutu rancangannya - justru karena faktor kepeloporannya dalam bidang yang satu itu. Masa 30 tahun bukanlah sedikit bagi dunia perancang mode di Jakarta yang bukan Paris maupun Tokyo. Dan, berbeda dari rekan-rekannya, ia hampir sama sekali tidak bergerak dari "istana" haute couture alias "jahitan tinggi", yang dikerjakan dengan tangan dan dengan kehadiran sang pemesan. Tentu, "jahitan tinggi" berharga tinggi. Lahir di Bogor di tengah tujuh bersaudara, si bungsu yang berayahkan seorang pemilik warung ini tertarik jahit-menjahit di bawah pengasuh Mak Wek, penjahit keluarganya yang datang setiap dua minggu. "Kalau Mak Wek datang, saya tidak main bola, berenang, atau main layangan," ujarnya. Diam-diam dia memperhatikan perempuan itu memegang gunting dan memutar-mutar roda mesin jahit. "Neng Piet nakal sekali," ujar Mak Wek - meskipun Peter anak laki-laki. Mak Wek kini berusia sekitar 90. Dalam usia belasan tahun, Piet sudah mulai menjahit baju untuk teman-teman dan kakaknya. Ketika usianya 15 tahun, dia sudah berketetapan hati menjadi tukang jahit. Sekolah formalnya berantakan. Ketika usianya 17 tahun, kakak iparnya mengajaknya ke Negeri Belanda - supaya menjadi "benar". Tapi di sana ia malah masuk Vakschool voor Kleermaker Coupeuse di Den Haag, dan menyelesaikan sekolah empat tahun itu dalam waktu dua setengah tahun. Lulus dengan pujian untuk memotong dan menjahit pakaian pria, dia kemudian kerja praktek di dua perusahaan pembuat baju dingin. Berikutnya belajar menggunting dan merancang busana wanita. "Lebih banyak tantangannya," katanya. Sampai kini sebagian besar langganannya malah wanita-yang mukti dan mapan. Yakni mereka yang tidak merasa sayang membeli sehelai gaun seharga Rp 2 juta. "Langganan saya biasanya yang sudah mengerti bagaimana berpakaian bagus," begitu anggapannya. Setiap pakaian kemudian dirancang khusus dengan memperhatikan "material, body, dan karakter si pemakai," katanya. Nama-nama Mien Darpo dan Martina Widjaja, dua-duanya istri usahawan terkemuka, Dian Ciputra (istri pengusaha real estate), Pia Alisyahbana (pemimpin redaksi Dewi), atau Kartini Mulyadi, notaris terkenal, diketahui sebagai langganannya. Beberapa dari langganan yang lain bahkan merupakan penyambung langganan orangtuanya. "Kesetiaan langganan saya ini yang membuat saya bahagia," ujarnya. Karenanya, dia kini hidup mapan dan nyaman. "Tapi saya tidak kaya," ujarnya. Rumahnya di Tebet - yang ditempati sejak 1971 - bukan di kawasan mahal. Benda-benda antik merajai ruangan, tapi itu sudah lama dikumpulkannya. Hanya kebun dan rumah ditata apik dan asri. Seperti juga para langganannya, Peter adalah jenis orang yang dikuasai oleh cita rasa keindahan dan dikejar-kejar bayangan "kesempurnaan" penampilan. Bujang lapuk ini memulai debutnya sebagai penjahit tak terkenal pada tahun 1954. Langganannya nyonya-nyonya Cina seputar rumahnya saja di bilangan Mangga Besar, Jakarta. Tahun 1958 dia memulai membuat sketsa-sketsa. Tahun berikutnya berpameran di Hotel Des Indes. Waktu itu perancang perhiasan dari Olislaeger turut membantunya - dengan perhiasan sungguhan, bukan imitasi. Tahun-tahun berikutnya Peter muncul pada malam-malam dana, biasanya diselenggarakan kedutaan asing. Krisis dialaminya pada tahun 1974, ketika tak ada seorang langganan pun dalam tempo beberapa bulan. Eddie Soefendi, yang sampai kini sudah bekerja (sama) dengan dia 17 tahun, menyarankan bikin saja baju jadi beberapa buah. Nah, tindakan darurat itu menyelamatkan. "Saya merasa syukur tak perlu menunggak gaji pegawai saya." Hubungannya yang akrab dengan pegawai merupakan salah satu kunci kerjanya. Fendi yang tadi, ayah lima anak, meski punya perusahaan pakaian jadi, tetap saja bekerja bersama Peter. Bahkan 30% "ciptaan" Peter "sebetulnya kreasi Fendi ", kata Peter sendiri. Seorang penjahit lain sudah bekerja padanya selama 25 tahun. Si mbok tukan masak bahkan 26 tahun. Keawetan hubungan seperti itu termasuk jarang di perusahaan jahit-menjahit di kalangan kita. Rancangannya sendiri seperti cerita wayang. Sudah pakem. Orang bilang, cita rasanya tergolong "neoklasik". Dia berusaha menciptakan bentuk-bentuk elegant dengan keluwesan seorang wanita. Mode-mode yang trendy, gaya hippies, patcbwork, atau gaya karung seperti pada desainer Jepang, tak pernah hinggap di kepalanya. Paris adalah kiblatnya. "Terus terang, saya tak bisa menhindar dari pengaruh Barat," kata pengagum Pierre Balmain dan Balenciaga ini, tentu saja. Dan tentu saja Peter Sie bukan seorang "pembaru" dalam dunia mode. Siapa pun tidak, agaknya - sementara kiblatnya memang tidak di sini. Yang diperhitungkan adalah kualitas karya - atau, paling tidak, nama. Di samping kesetiaan pada profesi. Beberapa perancang busana lain timbul tenggelam, baik oleh arus waktu maupun materi, dan Peter tetap saja tekun. "Saya ini Cina yang kagak bisa bisnis," katanya mengaku, ketika bercerita tentang usahanya yang "begini-begini saja". Tetapi, "Saya tak akan stop jadi tukang jahit."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo