Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEPUTUSAN untuk menetapkan pengganti bagi sebuah jabatan yang kosong memang selalu sulit. Begitulah ciri sukses jabatan. Ada alternatif, sulit. Tanpa alternatif, lebih-lebih lagi. Ketika kehilangan Redaktur Pelaksana Bastari Asnin, TEMPO sendiri jadi bingung memilih pengganti. Aga Sampoerna alias Liem Swie Ling, pemilik pabrik rokok kretek Sampoerna, pun menghadapi situasi sulit ketika harus memilih satu di antara ketiga putranya untuk diserahi tongkat estafet. Hanya satu yang ia yakini tegas-tegas: tak boleh ada dua kapten di atas satu kapal. Ia lalu memilih seorang "putra mahkota". Dua orang anaknya yang lain diberi modal cukup untuk memulai bisnis sendiri. Dengan bisnis milik sendiri itu mereka tidak akan punya waktu untuk ikut campur dalam pabrik rokok. Sedankan sang putra mahkota dengan tekun dan keras dipersiapkannya menjadi kapten pada "kapal besar" Sampoerna. Dan ketika kapten muda itu sudah gapa memegang kemudi, Aga pun mengundurkan diri. Suatu sikap yang konsekuen: pada sebuah kapal udak boleh ada dua kapten. Saya pernah bekerja pada Union Carbide, perusahaan yang kini sedang menggemparkan duma. Dl sana berlaku sebuah sistem manajemen yang diadopsi dari sistem Louis Allen. Antara lain, seorang manajer harus mengisi kartu yang dinamakan succession chart, yaitu sebuah peta baru tentang orang-orang yang akan menggantikan kedudukannya bila ia pergi atau dipindahkan. Saya telah mengisi kartu itu. Tetapi beberapa tahun setelah saya meninggalkan jabatan itu, perusahaan ternyata belum juga menunjuk dan mengangkat manajer baru pengganti saya. Artinya, succession chart toh tidak merupakan kata akhir. Ia hanya merupakan basa-basi bisnis yang.- untungnya sering berperanan. Ada sebuah artikel menarik dalam Fortune yang baru terbit. Bahwa bila Anda bekerja pada sebuah perusahaan besar, maka pilihan "putra mahkota" itu tidak tergantung pada Anda. Tetapi pada bos Anda. Dan tentu dengan alasan yang lebih baik. Di Indonesia situasinya mungkin berbeda. Perusahaan besar atau perusahaan kecil, tetap babe punya kuasa. Jangankan untuk jabatan manajer, untuk Syeny si kasir saja diperlukan seorang babe untuk memutuskannya. Tak heran bila ada seorang direktur pergi, lalu babe memilih satu di antara lima manajer sebagai direktur baru, kemudian tiba-tiba secara en masse keempat manajer lain meminta pengunduran diri. Dalam hal suksesi jabatan, kita mengenal dua sistem: membuat sebuah daftar antrean - setiap calon mempunyai nomor gilirannya - atau mempersiapkan sebuah pool, yaitu setiap orang yang dianggap berbakat untuk menduduki jabatan lebih tinggi dimasukkan dalam suatu "kotak" yang berjenjang sama. Sistem Union Carbide, yang dijabarkan dalam bentuk succession chart itu, termasuk sistem yang pertama. Tetapi adalah Exxon, sebuah perusahaan mimyak, yang dianggap palimg berhasil menerapkan sistem ini. Bahkan pejabat militer yang dianggap paling lancar dalam melakukan suksesi jabatan ikut iri melihat hasil Exxon. Exxon tidak hanya membuat succession chart yang disimpan di laci, dan baru dicari kalau ada pejabat yang pergi, tetapi mereka terus-menerus melakukan review. Dalam rapat mingguan dengan 14 manajer puncaknya, presiden direktur Exxon selalu menyempatkan meneliti daftar antrean itu. Kadang kala sebuah nama digugurkan, dan diganti nama seorang supermanager yang baru muncul. Setidaknya, setiap tahun sekali rapat puncak itu memperbarui daftarnya, yang menyebutkan nama-nama yang bakal menjadi pengganti, bila satu atau lebih dari ke-14 manajer puncak.itu mengundurkan diri. Persis seperti membuat top hit list atau best seller list. Sistem peta suksesi ini memang lebih memberi kemungkinan berlakunya demokrasi dalam pola manajemen, dan lebih memberi bobot pada arti sistem appraisal (penilaian karya). Sedangkan sistem pool lebih memberi banyak kesempatan bagi. bos guna menentukan pilihannya secara bebas ketika kebutuhan untuk itu tiba-tiba muncul. Yang jelas, keduanya memberikan fasilitas yang lebih baik untuk menegakkan clta-cita promotion from within, karena perusahaan selalu dalam keadaan siap memilih pengganti. Dengan demikian, tidak selalu terjadi injeksi manajer profesional dari luar, sehingga manajer dan dalam merasa terinjak jempol kakinya, karena dianggap tidak mampu menjawab tantangan jabatan senior itu. Bondan Winarno
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo