Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Maleo hadiah majapahit

Cerita burung maleo hadiah kerajaan majapahit di kecamatan batui kabupaten banggai. penduduk batui tak berani makan telur maleo sebelum mengadakan upacara yang mereka sebut tumbe.

15 Mei 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADA legenda di kalangan luas masyarakat kabupaten Banggai, burung maleo (TEMPO 8 Mei 1976) berasal dari Jawa, hadiah kerajaan Majapahit kepada raja Banggai. Oleh raja Banggai maleo hadiah itu diserahkan lagi kepada salah satu wilayahnya untuk dipelihara dan kebetulan terpilih Batui (sekarang daerah habitat). Kemudian populasi maleo terbesar di Sulawesi Tengah. Legenda ini mungkin juga ada benarnya karena menurut beberapa ungkapan sejarah, pada zaman kerajaan Majapahit nama Banggai telah dikenal dengan istilah Benggawi sebagai salah satu bagian kerajaan Majapahit Raya. Di dalam buku "Negara Kartagama" ditulis dalam tahun saka 1278 atau 1365 Masehi oleh pujangga Majapahit Mpu Prapanca -- terdapat ungkapan wilayah keprabuan Majapahit Raya yang termuat dalam syair (no. 14 bait ke-5) menyebut-nyebut tentang Benggawi. Konon di zaman kerajaan itu sembarang orang penduduk Batui boleh memungut telor maleo tetapi sebutir harus disisihkan sebagai upeti untuk raja mereka yang bermukim di pulau Banggai. Telor upeti itu disebut tumbe dikumpulkan oleh petugas kerajaan dari setiap rumah tangga setiap tahun kemudian dengan perahu dibawa ke pulau Banggai. Nah, sebelum tumbe. diantar kepada raja lebih dahulu wajib diadakan upacara pelepasan yang seronok animisme diikuti oleh seluruh penduduk Batui. Acara pelepasan upeti maleo itu sampai sekarang setiap tahun dilaksanakan di Batui 54 km dari Luwuk ibukota kabupaten Banggai. Malah biaya upacara ini sudah masuk anggaran belanja tetap kecamatan. Penduduk di sana tidak berani melepaskan tradisi ini karena ada kepercayaan apabila tidak dilaksanakan seluruh burung maleo akan musnah dan jika pun bertelor maka isinya berubah menjadi racun. Di samping itu musibah banjir dan gempa bumi bakal menimpa Batui yang sekarang mempunyai luas wilayah kecamatan 78.43 km' dengan 20 desa. Penduduk kecamatau Batui yang sekarang berjumlah 13.72 jiwa, jarang sekali berani memakan telor maleo itu sebelum ada pelaksanaan upacara tumbe. Api & Keris Camat Batui A. Moidady BSc ketika memberikan foto-foto acara tumbe tahun lalu kepada TEMPO juga tak habis heran bagaimana bisa acara animisme ini bertahan dan menjadi kepercayaan kokoh penduduk termasuk yang sudah maju dan berpendidikan. Hebatnya dalam acara yang seronok itu diiringi tabuhan genderang dan gong bertalu-talu tiga hari suntuk. Dukun tua perempuan tampil dengan selempang kain merah menari-nari dalam kesurupan mengitari telor-telor tumbe itu. Dukun tua ini lari berlompat-lompat di atas nyala api sambil menikam dirinya dengan keris tanpa sedikitpun hangus atau cedera. Lebih aneh lagi suara wanita dukun itu berobah menjadi suara laki-laki dan konon adalah suara pria penjaga Batui yang merasuk masuk ke dalam tubuh dukun wanita itu. "Semuanya tak masuk akal tetapi saya menyaksikan dengan jelas". tutur Moidady BSc. Camat lepasan APDN itu mengaku terus-terang, tidak berhasil menghapus tradisi ini karena nampak berakar kuat dalam masyarakat. "Saya malah mereka dudukkan sebagai pemimpin acara setiap tahun", tutur sang camat yang beristeri orang dari Solo itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus