79 buah lukisan dengan format yang kecil tampil di Balai Budaya
26 April s/d 3 Mei yang lalu. S. Sorentoro dan Lie Tjoen Tjay,
kedua pelukisnya mendapat banyak karangan bunga pada hari
pembukaannya. Barangkali kedua nama ini mempunyai posisi yang
tertentu pada hati sejumlah orang, meskipun tidak begitu sering
kita dengar.
Sepintas kilas sudah terasa kedua orang ini mempunyai persamaan
watak yang barangkali membuat orang bersimpati. Lukisan mereka
secara emosionil sederhana, tidak memojokkan penikmatnya pada
sesuatu sikap atau pandangan tertentu. Tapi mereka juga tidak
hanya teknis tok, sehingga kanvas-kanvasnya yang netral itu
tetap basah dan memberikan peluang pada keharuan terutama dalam
memotret lingkungan pribumi pada Sorentoro dan memotret
puisi-puisi kecil dari alam dalam buah tangan Lie Tjoen Tjay.
Cinta Lingkungan
Sebagai seorang pelukis figuratip, Sorentoro memotret kegiatan
hidup sehari-hari, di jalan raya, di kampung di pinggir kali, di
pantai dan pada beberapa pojok yang mungkin terlalu kotor bagi
orang. Warna-warnanya gembira, sehingga memang kadangkala tidak
menampilkan segi-segi hitam dalam kehidupan pojokan yang
ditampilkannya. Tapi ini diimbangi dengan tidak adanya upaya
untuk menyulap, memperbaiki atau menonjol-nonjolkan keindahan.
Gambar-gambarnya bersifat ilustratip, dengan garis-garis pendek
sebagai penegas, tanpa diikuti oleh dramatisasi pada cahaya.
Memang akan terlalu jauh untuk mencari bandingan pada Utrillo
(1883-1955) itu pelukis yang melukis dengan lugu isi kota Paris,
sehingga lukisannya dimasukkan pada katagori lukisan-lukisan
naif. Tapi keluguan Sorentoro yang merekam misalnya Menara Sunda
Kelapa, Kampungdi TanjungPasir, Jembatan Ujung jalan Pinangsia,
Rumah pinggir kali di Malang--akan merupakan dokumen objektip
terhadap kehidupan, di masa nanti.
Sikap menahan diri Sorentoro boleh saja disangkakan sebagai
tanpa sikap. Tetapi pendekatannya pada manusia melalui kegiatan
di jalan raya atau di pinggir sungai -- jelas menunjukkan bahwa
tuntutannya dalam melukis bukan menampilkan problim. Ia
menampilkan suasana-suasana lokal, bukan suasana yang bertolak
dari konflik. Meskipun lukisannya kadangkala bisa berbelok
menjadi bersolek dan propaganda keindahan seperti Pantai Kusamba
toh ia tak sampai melacurkan diri pada potret-potret ilusi
seperti Basuki Abdullah atau wadag-wadag alam yang sudah mati
scperti gambar-gambar yang diobral di sepanjang jalan. Sorentoro
tukang potret yang memiliki setidak-tidaknya rasa cinta pada
lingkungan yang sederhana.
Tikus Dan Tupai
Lebih banyak bisa dibicarakan adalah lukisan-lukisan cat air Lie
Tjoen Tjay yang juga memamerkan lukisan cat minyaknya yang
bernada lugu. Tjoen Tjay tak ayal lagi telah menampilkan diri
dengan mantap pada cat air ketimbang cat minyak. Dalam lukisan
cat minyaknya yang mengambil objek potret kegiatan manusia dalam
lingkungan luar rumah, ia memandangi kehidupan dengan rasa
persahabatan. Hal mana berbeda sekali tatkala ia mempergunakan
cat air. Dalam kesempatan ini ia seringkali mendramatisir
cahaya, sehingga sesuatu yang dramatik muncul, tetapi seringkali
ditegaskannya dengan beberapa sosok manusia atau burung di
udara.Sehingga suasana dramatik tersebut sedikit kehilangan
kesatuan. Tetapi pada beberapa lukisan lain, seperti Burung
jalak, Bunga Wijaya Kusuma, Panorama -- Tjoen Tjay telah
menampilkan sesuatu yang lebih sederhana. Bukan permainan
cahaya. tetapi suasananya sendiri yang membuat gambar itu
menjadi dramatik.Seekor burung jalak yang mengerling di tengah
daun yang hijau, Pagoda di bukit (Taiwan) misalnya yang
menjulang menjangkau angkasa dan sunyi, menimbulkan perasaan
haru sederhana terhadap kesunyian dan keheningan serta
kesendirian.
Tjoen Tjay menunjukkan pula kebolehannya dalam melukis dengan
gaya lukisan-lukisan Cina. Ia memiliki kekuatan pada garis dan
masih tetap sanggup melantunkan puisi dari bidang-bidangnya yang
kosong seperti galibnya lukisan-lukisan Cina. Lukisan Tikus
misalnya, yang menampilkan seekor tikus di samping buah labu,
tidak hanya menunjukkan kemahiran teknis, tetapi melantunkan
haiku itu sajak-sajak pendek dari Jepang yang jitu menggambarkan
kenyataan dalam hidup. Demikian juga lukisannya yang bernama
Tupai, di mana tampak seekor tupai sedang makan buah anggur
menyebabkan kita mengerti bahwa bentuk masih tetap mampu
menyampaikan bermacam pengalaman batin -- meski pun sudah sering
dikaji-kaji.
Penampilan Sorentoro,terutama Lie Tjoen Tjay, bukan penampilan
yang istimewa memang.Tapi selayaknya dalam perkembangan
senilukis non figuratip khususnya pada masa ini, ada toleransi
dari para pendukungnya terhadap senilukis figuratip. Karena
hanya dengan cara demikian senilukis "non" itu sendiri dapat
dengan cepat mengesankan dirinya 'Sada". Artinya kemudian bahwa
"gaya" tetaplah hanya merupakan wadag dari nilai apa yang hendak
disampaikan oleh pelukisnya. Walaupun gaya kadangkala adalah
merupakan nilai terpenting dari sebuah pembaharuan atau
pencaharian seorang pelukis.
Putu Wijaya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini