Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Si manis legen

Minuman dari pohon siwalan, legen, sudah ada yang di jual dalam botol. cuma rasanya tak sesegar yang di jual dalam bumbung. soal pemasaran, minuman khas jawa timur ini telah masuk ke jakarta. (ils)

15 Mei 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RASANYA memang manis. Sedikit beraroma cuka. Tapi tak kecut. mirip rasa air kelapa.Itulah legen.Benda cair segar dan enak diminum ini berasal dari pohon yang di daerah Jawa Timur disebut siwalan. Pohonnya mirip kelapa, tapi juga hampir menyerupai enau. Selama ini biasanya dijajakan orang-orang desa di dalam tabung bernama bumbung. Yaitu batang bambu 3 - 4 buku yang dilubangi sekat-sekatnya. Orang kota biasanya cuma meliriknya sambil mengangkat bahu dan mencibir: huh. Tapi kini, itu legen sudah berbaju baru. Dalam botol ukuran green spot lan sebangsanya. "Legen adalah minuman nenek moyang", tutur Moenawar, Kuasa Usaha PT Kaliroto, pembuat legen dalam botol tersebut. Tentu saja agak berbeda dengan yang dalam bumbung yang biasanya masih segar karena langsung dari pohon. Sedang yang dalam botol ini sudah terlebih dulu dimasak dan diolah memakai resep tertentu. "Biar rasanya tetap enak, bersih dan tahan lama", tutur Moenawar lagi. Tentu saja kini, tak lagi "merendahkan" orang gedongar yang mau mencicipinya. Meski bentuk botol dan etiketnya masih tetap tampak "kampungan". Tapi tak kurang dari 2 tahun sejak tahun 1973 PT Kaliroto Surabaya, yang dikenal sebagai pembuat pcrmen, vitamin dan obat-obatan, melakukan percobaan pembotolan legen. Sampai akhirnya mencapai bentuk yang sekarang. Minuman khas Jawa Timur ini,sudah pula menjalar ke Jakarta. Meski belum lebih dari 1000 peti (a 24 botol) per bulannya. Harganya agak lebih mahal dari harga di tempat asalnya, Surabaya. Sebab harus dikeluarkan ongkos Rp 250 per peti, pulang pergi, begitu alasan yang empunya perusahaan. Sedang di Surabaya masih lebih murah ketimbang Coca Cola atau F & N. Dimana perusahaan itu menjualnya Rp 1100 sampai ke tempat dan Rp 900 buat agen. Konon eceran di warung-warung cuma Rp 75, pakai es pula. Menurut Mocnawar, perusahaannya berani melempar legen ke Jakarta, setelah ia memperkenalkannya kepada Menteri Perindustrian Moh. Yusuf. Waktu itu Menteri Yusuf melakukan peninjauan ke perusahaan kosmetika Viva di Rungkut, Jatim. Moenawar menyodorkan legen kepada sang Menteri. Tentu saja dengan maksud propaganda. Dan sang Menteri tampak manggut-manggut, merasakan legen. Yang diartikan Moenawar bahwa legen buatannya "boleh". Saingan Waktu Mohammad Noer masih gubernur, legen jadi perhatiannya pula. "Mutu yang sekarang cukup baik. Tapi kalau bisa ditingkatkan lagi untuk ekspor", komentarnya. Tapi sampai sekarang Moenawar masih fikir-fikir. Sebab, "harganya bakal tinggi sekali akibat ongkos angkutnya". Dan harus bersaing dengan minuman-minuman asal asing, dalam bab harga. Sebab, katanya, minuman-minuman itu cuma dibuat dari air dan essence. Sedang legen dari tumbuh-tumbuhan khas Jawa Timur yang meski banyak terdapat di Tuban Gresik atau Madura, tentunya memerlukan uang cukup besar mendapatkannya. Tapi dengan begitu memang legen mampu bertahan menghadapi sedikitnya 3. perusahaan minuman ringan di Jatim. Termasuk perusahaan asing besar PT Perusahaan Limun Indonesia yang seinduk dengan Bier Bintang dan Prem Bottling Company, pembuat RC Cola dan Canada Dry. Yang agak menjengkelkan itu perusahaan pengolah minuman rakyat ialah nongolnya perusahaan baru yang mengolah legen. Yang tentu saja seperti lazimnya perusahaan begitu, mereka akan meniru-niru. Sampai-sampai ke etiketnya. Meski dinilai, "kadang-kadang kecut dan tak enak", toh Kaliroto tak bisa berdiam diri. "Kami akan menyelesaikannya lewat pengadilan", ujar Moenawar, yang merasa merk dagang dan patennya terdaftar. Dan itu tentunya risiko berdagang. Dan usaha dagang seperti itu tampaknya juga menggembirakan petani-petani penggarap bahan legen tersebut. Sebab Kaliroto tersebut secara tetap setiap harinya mampu menampung 20 - 25 jerigen legen mentah dari para petani. Menurut seorang petani siwalan, satu jerigen berisi 20 liter pernah dibeli seharga Rp 800. Tapi mereka tak selalu bisa menjual legennya. Karena sebelumnya harus diperiksa laboratorium milik itu perusahaan. Bila,menilainya kurang baik, tak mau membelinya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus