TANPA publikasi istimewa, publik yang datang mengunjungi
pergelaran orkes kamar Stuttgart, 21 April di Teater Arena TIM.
lebih dari daya tampung gedung. Kursi tambahan dipasang,
sehingga jarak penonton terdepan dengan pemain sedemikian dekat.
Ditaksir lebih dari 450 pasang telinga dengan tekun menerima
nomor-nomor pilihan Stutgart. Meskipun mayoritas penyaksi adalah
saudara-saudara kita berkulit putih, toh malam pergelaran boleh
dianggap titik yang makin terang dalam hidup musik serius di
bumi dangdut ini.
12 buah biola,sebuah kontra bas dan 3 buah cello berada di
tangan para lelaki yang sudah separuh umur. Profesor Karl
Munchinger - pendiri dan pemimpin - seorang organis dan pemain
musik gereja dengan rambut putih perak, malam itu mengenakan jas
hitam. Dalam formasi separuh lingkaran mereka melakukan gebrakan
pertama dengan Johann Sebastian Bach. Sementara itu ruangan
benar-benar panas, walaupun 2 buah kipas angin tambahan dengan
giat. memompa udara. Pianis Irawati Sudiarso sudah cemas-cemas
saja andaikan keadaan itu terlalu gawat bagi anggota Suttgart.
Lagi pula seorang tokoh musik yang belakangan ini jarang
kelihatan, dengan yakin mengatakan bahwa temperatur udara yang
kelewat panas bisa memulurkan dawai biola sehingga bunyi yang
dihasilkan bisa rendah: Konrad Neander, pemain double bass
mengaku sendiri kepada TEMPO bahwa keadaan dalam teater memang
agak menyusahkannya.
Dalam usia 30 tahun Suttgart telah menjelajahi dunia, sementara
di Eropa kumpulan ini terus dihormati sebagai kampiun yang
berhasil untuk karya-karya Bach. Bahkan komposisi
pemain-pemainnya pun tetap mengikuti komposisi zaman Barok.
Sebagai diketahui Bach mempunyai karakter ganda. Pertama sebagai
orang Jerman yang memancarkan semangat Jerman dalam
karya-karyanya. Kemudian sebagai seorang manusia yang
terpengaruh gaya Barok Itali, khususnya Vivaldi. Dalam komposisi
jenis terakhir ini Bach sangat menonjol dalam melodi. Barangkali
inilah salah satu musabab mengapa keplok tangan sangat seru
malam itu, sesudah usai diperdengarkan,'Konserto untuk biola dan
hobo serta orkes gesek D minor' yang terdiri dari Allegro.
Adagio dan Allegro. "Clement peniup hobo, telah menunaikan
tugasnya sebagai solois dengan baik. Dialah yang telah
mengangkat suasana menjadi hangat", komentar Irawati Sudiarso.
Meskipun Clement sesungguhnya bukan anggota Stuttgart, tetapi
orang State Opera Munich, dengan keserasian hobo yang meningkahi
suara biola malam itu memang pantas dipuji. Mendengar musik yang
mantap itu hampir tak terasa lagi masa jedah tiba. Persembahan
yang pertama dari Bach: komposisi Ricercare, bagian dari musikal
Opfer yang kemudian disusul karya Bach yang lain,'Konserto
Braudenberg No.3 C mayor', juga tak kalah mantapnya. "Ini
kesempatan yang jarang dan bernilai bagi kita yang hidup pada
zaman ini, untuk mendengarkan sejumlah orang tua yang memainkan
musik begitu sempurna interpretasinya. begitu mantapnya", tukas
Suka Harjana, yang kelihatan mabok juga karena pergelaran itu.
Dalam babak kedua, Karl tua yang angguh itu memimpin
kawan-kawannya membawakan Mozart. Ia memilih Divertimento No. 7
F mayor -- Nomer Kochel 334 yang terdiri dari Allegro,Andante,
Menuetto, Adagio dan Rondo. Kemudian dengan ramahnya menambahkan
sebuah karya Haydn bagian ke-2 untuk kwartet gesek - tatkala ia
menyaksikan betapa antusiasnya minat hadirin. Mereka
makhluk-makhluk tropis, sedikitpun tidak terpengaruh keadaan
ruangan. "Publik di Jakarta ini sudah bagus. Hampir mirip publik
di Jerman", komentar Konrad lagi sambil mengusap peluhnya yang
membanjir. Sayang sekali orkes ini hanya memiliki kesempatan 1
kali tampil, karena mereka harus melanjutkan perjalanan jauhnya
melintasi beberapa kota-kota Asia. Orkes yang telah memulai
debutnya di Zurich dan Paris tahun-tahun 1948 dan 1949 ini,
bahkan sudah menjebol Uni Soviet pada 1959. Ia membukakan hati
kita untuk mengatakan bahwa musik yang bagus tak pernah basi -
manakala ia dibawakan demikian meyakinkannya karena pesona yang
meloncat dari kemantapan itu sendiri benar-benar luar biasa.
Lebih-lebih kalau kita terlalu sering melihat musik dibawakan
dengan pas-pasan. Siapapun yang hadir pada malam pergelaran itu,
untuk sejenak seperti terbius dan menerima keindahan-keindahan
murni seakan-akan dilemparkan dari tangan pertama.
Seperti Anggur
Irawati menamakan pergelaran yang apik itu nyaris spirituil
lainnya. Ia mengaku jarang mendengar Bach dibawakan dengan
jempolan. "Stuttgart orkes yang baik sekali. Musik kamar yang
jarang ditemui. Mereka terlampau sempurna dalam teknik. Segi
kemanusiaannya dalam juga, tetapi rasa musiknya sedikit
terganggu sehingga agak dingin", ujar Irawati. Sementara Suka
Harjana sendiri, sesudah membenarkan keunggulan teknis Stuttgart
tidak merasa bahwa mereka menjadi mekanis karena keunggulan
tekniknya. Baginya pergelaran tersebut justru menampilkan
perpaduan bagus antara keunggulan teknis dan rasa kemanusiaan
yang dalam--dari Karl yang begitu getolnya berusaha mencari
lapisan pertama yang berdegup dalam diri Bach.
Karl Munchinger tak ayal lagi sebuah nama yang besar. Bukan saja
karena dengan rajin dan setia menyelenggarakan penampilan musik
abadi dalam festival-festival internasional di Munchen
Schetzingen, Edinburg, Amsterdam, Besancon, Lyon,
Aixen-Provence, Menton, Athena dan Baalbeck. Tetapi karena ia
dengan pemain-pemain setengah bayanya (komposisinya yang normal:
9 pemain biola, 4 biola besar, 4 celo dan obo, 3 terompet) telah
memperlihatkan bahwa musik bergerak menuruti zaman. Seperti
anggur yang bermutu, makin tua makin mantap rasanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini