Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Bentrok Antarwarga atau Antarsatuan?

Lebih dari seratus orang tewas di Ambon dalam dua pekan ini. Benarkah militer turut bentrok?

8 Agustus 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEPERTI baru dikejar hantu, Mujahid, warga Desa Batumerah, Ambon, terengah-engah. "Saya baru datang dari Kampung Aster, Desa Galala, ikut membalas serangan yang dilakukan mereka terhadap keluarga kami dua hari yang lalu,'' kata anak muda 38 tahun itu, yang menyerang Galala bersama 300 orang warga Batumerah lainnya. "Siapa yang tidak geram melihat saudara kami dbacok, ditembak, dan rumah-rumahnya dibakar tanpa bisa membela diri?'' ujar pemuda yang selalu siaga di Posko Nangka di Desa Batumerah itu. Ibarat penyakit kambuhan, setelah dua pekan reda, bentrok antarwarga dan korban tewas kembali menjadi pemandangan sehari-hari di bumi Ambon. Jika dihitung sejak kerusuhan pertama Januari lalu, sudah lebih dari 120 orang penduduk tewas. Dan 70 ribu orang mengungsi—ke luar Ambon atau membangun barak di sekitar kepulauan itu. Kali ini pemicunya adalah mobil patroli berisi anggota Brigade Mobil (Brimob) yang menabrak mobil angkutan umum di depan Masjid An-Nur, Desa Batumerah, Senin pekan lalu. Angkutan itu jumpalitan dan api langsung memangsa kendaraan itu. Sedangkan mobil penabrak kabur ke Desa Mardika, desa tetangga yang kerap bentrok dengan Batumerah. Maka, dua desa yang berbatas sebuah kali kecil itu pun kembali "berperang". Keadaan makin sulit karena aparat keamanan ikut terbawa-bawa. Warga Mardika dibantu Brimob, sedangkan warga Batumerah dibantu Kostrad. Awalnya, saat warga Batumerah menyerang Mardika, dari atas bukit meletus tembakan bertubi-tubi. Merasa kewalahan, warga Batumerah minta pertolongan pasukan Kostrad 413 Sambernyowo, yang berasal dari Solo, Jawa Tengah, yang poskonya di dekat Batumerah. Letusan berbalas. Puluhan orang dari dua desa itu menjadi korban, malah seorang anggota Kostrad, Prajurit Dua Achmad Naisomudin, tewas tertembak. Bentrokan kemudian meluas ke hampir seluruh pelosok Kota Ambon. Malah, di Desa Galala, sekitar dua kilometer dari Batumerah, Komandan Kostrad Kapten Chaerul dikabarkan tertembak. Dua hari serang-menyerang itu akhirnya membuat 16 aparat dari dua kesatuan yang kena peluru dirawat di rumah sakit tentara Ambon. Untuk sementara, Rabu pekan lalu, "perang kota" itu berhenti. Tapi hanya sehari. Kamis siang, kelihatan sekitar 3.000 orang menggotong tiga layon, jenazah korban tewas akibat tembakan aparat, dari Desa Ahuru ke Markas Polda Ambon. Massa menuntut Kapolda Ambon, Kolonel Bugis Saman, bertanggung jawab atas tewasnya warga dan segera turun dari jabatannya. Ketika itulah dari sebuah mobil hard-top sekelompok orang menembaki massa. Dan empat orang pengunjuk rasa tewas di tempat kejadian. Ambon pun kembali marah. "Kami yakin, yang menembaki massa itu aparat keamanan. Mereka sering bertindak brutal,'' kata Machmud, sekretaris posko Masjid Al-Fatah. Pernyataan itu didukung Semmy, ketua tim advokasi Gereja Maranatha. "Aparat yang bertindak tidak netral dan brutal, apakah itu Kostrad, Zipur, ataupun Brimob, harus segera ditarik," katanya. Di tempat lain, di Kampung Aster, Desa Galala, pertikaian antardesa yang berbeda agama terjadi dan puluhan orang jadi korban, tiga di antaranya tewas tertembak. Serangan terjadi saat pasukan Kostrad ditarik dari tempatnya, dan pasukan Artileri Medan (Armed) belum menempati posnya di Aster. Warga yang diserang keteteran. Orang-orang yang rumahnya dibakar mengungsi ke Masjid Al-Fatah. Padahal, sudah lebih dari seribu orang tinggal di tenda-tenda di halaman masjid itu. Jumat pagi, bentrokan terjadi juga di Desa Poka. Sisa rumah yang ada di desa itu pun dibakar habis. "Kami bakar semua rumah yang ada, karena sebelumnya semua rumah saudara kami sudah rata dengan tanah setelah dijarah dan dibakar," ujar Mujahid dari Batumerah, yang mengaku ikut menyerang. Akibatnya, ratusan orang mengungsi ke Gereja Ebenhaezer, padahal di sana juga sudah tinggal ratusan orang pengungsi. Kerusuhan merember cepat: ke Desa Airsalobar, Ahuru, dan desa sekitarnya, sampai Sabtu sore lalu. Kerusuhan selama lima hari itu, menurut sebuah sumber, menyebabkan 115 orang mati, 1.267 rumah habis terbakar. Yang mencemaskan, di hutan di dekat Desa Poka telah berdiri tenda-tenda berisi ratusan senjata dan bom rakitan. "Kalau tentara terus-terusan turut serta dalam pertikaian ini, kemungkinan besar perang gerilya bisa terjadi,'' kata Mujahid. Wakil Kepala Pusat Penerangan TNI, Brigjen Sudrajat, membantah berita tentang perang antarmiliter di Ambon itu. "Tidak benar isu Brimob melawan Kostrad dan diteruskan campur tangan Marinir di Ambon. Perseteruan di Ambon memang terjadi sudah cukup lama antara kelompok muslim dan nonmuslim. Jadi, penanganannya juga harus hati-hati,'' kata Brigjen Sudrajat kepada Hani Pudjiarti dari TEMPO. Panglima TNI Jenderal Wiranto di Jakarta juga menegaskan. "Tidak ada perpecahan TNI di Ambon." Jadi, apa yang terjadi di Ambon? Ahmad Taufik dan Friets Kerlely (Ambon)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus