Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara sedang dibelit pusing. Sampai akhir pekan silam, 27 ribu pejabat negara belum mengembalikan formulir daftar kekayaan yang dibagikan Komisi. Dari 41 ribu formulir, baru 34 persen yang kembali. Urat leher para anggota Komisi seakan mau putus karena tak hentinya ”berteriak” menagih formulir yang sudah setahun ada di tangan pejabat. Para penggede negeri ini seperti tak menggubris ancaman masuk penjara, bila Pasal 216 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dipakai menghukum yang lalai.
Dalih mereka klasik: sibuk. Alasan lain juga lucu. Mereka tak mengerti bagaimana cara mengisi formulir itu. Lebih konyol lagi, ada juga yang merasa tersinggung dengan pertanyaan-pertanyaan dalam formulir itu. Kepada Andi Dewanto dari Tempo News Room, Imam Mundjiyat, legislator asal PDIP, saat membaca pertanyaan dalam formulir itu, dirinya merasa menjadi maling yang lagi diinterogasi.
Keruan saja hal ini membuat komisi yang dibentuk untuk mengawasi kekayaan para pejabat ini sewot. ”Kalau tidak mau kekayaannya diketahui masyarakat, sebaiknya tidak usah jadi wakil rakyat,” kata Abdullah Hehamahuwa, wakil komisi ini, dengan mangkel.
Kekecewaan ini bukan hanya milik Abdullah, tapi juga bagian terbanyak responden jajak pendapat TEMPO. Menurut mereka, selayaknya para pejabat yang mangkir itu segera diberi sanksi pidana sesuai dengan ketentuan yang disepakati. Siapa pun yang menolak berarti menghalangi usaha menegakkan hukum yang tengah dirintis. Bukankah dengan mengetahui lalu lintas kekayaan pejabat sebelum dan sesudah menjabat, segalanya bisa lebih transparan? Ujung-ujungnya, diharapkan korupsi bisa lebih terkendali di negeri nomor lima terkorup di dunia ini.
Nah, Bapak dan Ibu Pejabat, segera hitung nilai rumah dan Mercy-mu.
Irfan Budiman
Apakah pejabat negara yang belum mengembalikan formulir Komisi perlu diberi sanksi? | |
Ya | 76,35% |
---|---|
Tidak | 23,65% |
Jika ya, apa alasan Anda? | |
Agar Komisi lebih berwibawa | 33,50% |
Sebagai contoh penegakan hukum | 44,58% |
Kekayaan mereka terkait dengan jabatan | 31,74% |
Jabatan mereka rawan praktek korupsi | 37,03% |
Bikin jera pejabat negara lainnya | 24,94% |
Jika tidak setuju, apa alasan Anda? | |
Belum pernah ada sanksi hukum yang tegas | 41,46% |
Harta pejabat negara merupakan milik pribadi | 17,89% |
Komisi bukan lembaga penegak hukum | 30,89% |
Formulir Komisi tidak jelas | 14,63% |
Sanksi bukan jaminan pejabat negara bebas korupsi | 30,08% |
Apa sebaiknya bentuk sanksi untuk pejabat negara yang belum mengembalikan formulir? | |
Sanksi moral dari masyarakat | 10% |
Sanksi administratif | 24,23% |
Kenakan ancaman pidana | 28,85% |
Pecat dari jabatan | 19,81% |
Kembalikan harta bukan miliknya kepada negara | 17,12% |
Apa sebaiknya bentuk sanksi moral bagi mereka? | |
Publikasikan nama mereka di media cetak, radio, dan televisi | 40% |
Dilarang mencalonkan diri sebagai anggota legislatif | 43,08% |
Tidak boleh menjabat untuk periode berikutnya | 43,46% |
Terlarang menjadi anggota partai politik | 16,73% |
Apa saran Anda agar Komisi kelak lebih efektif bekerja mengawasi kekayaan pejabat negara? | |
Kerja sama dengan Direktorat Jenderal Pajak | 27,50% |
Koordinasi dengan Kejaksaan Agung dan polisi | 41,92% |
Pejabat negara mesti melaporkan kekayaannya setiap tahun | 47,31% |
Komisi boleh memeriksa rekening pejabat negara di bank | 23,08% |
Metodologi jajak pendapat :
Jajak pendapat ini dilakukan oleh Majalah TEMPO bekerja sama dengan Insight. Pengumpulan data dilaksanakan mulai tanggal 3 sampai 5 September 2002 dari 520 responden di lima wilayah DKI. Taksiran parameter dari kesalahan sampel (margin of error) diperkirakan 5 persen. Penarikan sampel dikerjakan melalui metode acak bertingkat (multistage random sampling) dengan unit kelurahan, RT, dan kepala keluarga. Pengumpulan data dilakukan lewat kombinasi antara wawancara tatap muka dan melalui telepon.
Independent Market Research
Tel: 5711740-41, 5703844-45 Fax: 5704974
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo