ADA sejumlah nama yang tak terpisahkan dari TEMPO sejak terbit sampai sekarang -- bahkan di tahun-tahun mendatang. Itulah para kolomnis, dan penulis resensi (buku, film, mode, musik, teater, dan seni rupa) yang hampir tak pernah absen mengirimkan tulisan dalam setiap penerbitan. Tanpa hadirnya tulisan mereka terasa ada sesuatu yang kurang dalam TEMPO. Tak jarang para kolomnis dan penulis resensi kami kejar, bahkan sering kami telepon ke rumah mereka pada malam hari, untuk segera mengirimkan tulisan mereka karena tenggat (deadline) turunnya naskah sulit ditunda. Ada 332 kolom dan resensi yang dimuat dalam 52 nomor penerbitan selama tahun 1989 -- hampir tujuh tulisan setiap minggu. Tahun ini kami rencanakan 340 buah. Tak mudah memang untuk mendapatkan kolom dan resensi sebanyak itu. Di samping jumlah kolomnis dan penulis resensi yang membantu kami terbatas, belum tentu ada topik pembicaraan di masyarakat yang pantas dijadikan kolom, dan juga belum tentu ada buku atau pertunjukan atau pameran yang menarik untuk diresensi. Maka, sebagai ungkapan terima kasih kami atas tulisan para kolomnis dan peresensi selama ini, kami mengundang mereka beramah-tamah di Ruang Anggrek, Hotel Hilton, Jakarta, Kamis malam pekan lalu. Hadir pada ramah tamah malam itu, yang merupakan rangkaian acara peringatan ulang tahun ke-19 TEMPO, antara lain Rosihan Anwar, Nono Anwar Makarim, Kartono Mohamad, Burhan Magenda, Sjahrir, Zen Umar Purba, Sori Siregar, Fachry Ali, Onghokham, Soetjipto Wirosardjono, Arifin C. Noer, Leirissa, Abdulrachman Surjomihardjo, Atmakusumah, Ridwan Saidi, dan Ananda Moersid. Acara ramah-tamah semacam ini ternyata bermanfaat banyak -- terutama untuk kami. Kami, misalnya, jadi tahu penyuntingan kolom dan resensi yang kami lakukan ternyata tak semuanya berkenan di hati yang bersangkutan. "Ada bagian yang saya anggap penting hilang setelah disunting," kata Abdulrachman Surjomihardjo. Karena itu, bila suatu ketika Anda kami minta menulis kolom, meresensi buku, atau meresensi pertunjukan teater, dan Anda menulis lebih dari dua setengah halaman folio, agar memberi catatan di pinggir naskah mengenai bagian-bagian yang kalau dihilangkan tak terlalu mengganggu keutuhan kolom atau resensi tersebut. Soalnya, persepsi orang melihat sebuah masalah belum tentu sama. Tapi ada juga kolomnis yang merasa tulisannya jadi enak dibaca dan jelas setelah disunting -- di antaranya Sejarawan Onghokham. Salah satu syarat yang tak bisa ditawar kolomnis dan penulis resensi untuk TEMPO adalah kesediaan menerima penyuntingan terhadap tulisan mereka. Soalnya, banyak ahli kita yang belum terbiasa menulis untuk majalah umum -- yang memakai kriteria penulisan: singkat, padat, enak dibaca, dan komunikatif. Banyak hal lain yang disampaikan tamu-tamu kami malam itu: mulai dari soal honor sampai permintaan agar TEMPO tak memuat kolom "asongan" (kolom yang ditulis asal jadi) sekalipun itu tulisan kolomnis terkemuka. Semua saran tersebut sudah tentu kami perhatikan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini