MEREKA kini kembali ke kehidupan rutin yang sudah berjalan bertahun-tahun. Bangun pagi sekitar pukul empat, lalu beramai-ramai mendengarkan siaran radio Hilversum, Belanda. Setelah itu, berolahraga. Memang, kesehatan para pelaku G30S-PKI di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang itu tampaknya cukup baik. Hanya Ruslan Sastrawidjaja, yang selalu mengenakan kaca mata tebalnya, terlihat berjalan bungkuk. Selain itu, menurut sebuah sumber TEMPO, mantan ketua SOBSI yang berusia 75 tahun dan kini menyandang nama baptis Yohanes ini kelihatannya sudah mulai pikun. Kendati demikian, Ruslan masih ikut berkebun dengan rekan-rekannya sesama tahanan, memelihara pohon jambu klutuk, kumis kucing, atau menyapu lingkungan. Ada juga yang memelihara ayam, seperti Bungkus dan Marsudi. Sedangkan Iskandar Subekti, bekas anggota CC PKI dan wartawan Harian Rakyat, sering terlihat asyik membuat ukiran di usianya yang menjelang 70 tahun itu. Rutinitas di blok EF yang berisi tahanan politik ini sempat terganggu, dua pekan lalu. Semua itu gara-gara siaran radio Hilversum di hari Rabu. Siaran radio yang dipancarkan dari Negeri Belanda itu mengabarkan bahwa enam orang penghuni LP Cipinang akan segera dieksekusi, menyusul empat mantan anggota Cakrabirawa yang ditembak 16 Februari lalu. Kontan saja keenam orang itu: Ruslan, Sukatno, Asep Suryaman, Prof. Iskandar Subekti, Marsudi, dan I Bungkus terguncang. Apalagi hari Rabu itu tiba-tiba pintu piket yang mencatat keluar-masuknya tahanan ditutup sejak sore. Ini berarti tahanan tak boleh keluar lagi. Selain itu, penjaga mereka ternyata meninggalkan tempatnya dan mengatakan baru akan kembali pukul 10 malam. Berdasarkan pengalaman mereka, semua pertanda ini berarti akan segera ada eksekusi. Keenam orang itu pun yakin bahwa mereka akan "diambil" di tengah malamnya. Maka, segera diadakan semacam "acara perpisahan". Dalam acara yang mengharukan hingga ada yang mencucurkan air mata itu, keenam tahanan yang dijatuhi hukuman mati itu sudah menunjuk tahanan lain untuk mewarisi barang mereka seperti TV dan radio. Selain mereka, memang ada tahanan politik lain sesama anggota PKI dan juga dari ekstrem kanan. Yang anggota PKI adalah Marto Suwandi, bekas kolonel Latief dan Rewang. Namun, ketiga orang ini tidak dijatuhi hukuman mati melainkan penjara seumur hidup. Dan ini pernah menimbulkan kericuhan karena para prajurit Cakrabirawa yang merasa "hanya menjalankan tugas" menganggap hukuman mereka terlalu berat. "Karena itu, Latief pernah dipukul kepalanya dengan besi oleh Rohayan," kata sebuah sumber TEMPO yang lain. Norbertus Rohayan adalah prajurit Cakrabirawa yang terlibat dalam penculikan para pahlawan revolusi. Ia termasuk yang dieksekusi 16 Februari lalu. Eksekusi keempat mantan Cakrabirawa itulah yang tampaknya membuat para aktivis hak asasi menduga eksekusi lainnya akan menyusul. Sumber TEMPO di radio Hilversum menyebutkan, isu akan dieksekusi itu berasal dari Amnesti Internasional (AI) dan Persatuan Nasional Indonesia (PNI) di Belanda. PNI adalah organisasi kiri yang sekjennya adalah Soeparno, tokoh SOBSI yang sedang berada di RRC ketika G30S pecah, dan kini mendapat suaka di Belanda. Tak jelas benar dari mana AI dan PNI mendapatkan informasi tersebut. Namun, Direktur LPHM (Lembaga Pembela Hak-Hak Asasi Manusia) H.J. Princen mengaku mempunyai saksi mata yang melihat keenam tahanan itu dibawa keluar dari selnya. "Maaf, saya tak bisa menyebut nama saksi mata itu, tapi saya yakin mereka sudah dibawa keluar dari selnya," kata Princen. Dan bagi LPHM, itu berarti indikasi kuat bahwa keenam orang itu akan dieksekusi. Adapun Menlu Ali Alatas dan Pangab Jenderal Try Sutrisno tegas-tegas membantah adanya perintah eksekusi tersebut. Yang jelas, isu itu ternyata sempat mengundang reaksi serius. Kedubes Italia di Jakarta, mengatasnamakan Masyarakat Eropa, mengeluarkan siaran pers. Isinya: permohonan kepada pihak yang berwenang agar -- atas dasar peri kemanusiaan -- menghentikan eksekusi terhadap tahanan politik yang divonis mati karena keterlibatan mereka dalam kudeta 1965. Selain itu, beberapa duta besar Eropa juga menemui Alatas. "Saya tak bisa mengatakan pada Anda apa isi pembicaraan kami. Yang jelas, saya memang membicarakan masalah tersebut," kata Duta Besar Italia, Dr. Michelle Martinez, kepada Leila S. Chudori dari TEMPO. Pihak Belanda malah lebih keras lagi. Rencana memberi bantuan berupa pinjaman khusus senilai 27 juta gulden diancam akan dibatalkan. Bahkan parlemen Belanda mengusulkan kepada Perdana Menteri Ruud Lubbers agar mempelajari kemungkinan memberi suaka kepada keenam tahanan politik yang mendapat hukuman mati itu. Namun, menurut sumber TEMPO di kementerian luar negeri Belanda, usul ini tampaknya tak mungkin dilaksanakan. Antara lain karena Pemerintah Indonesia tak mungkin menyerahkan mereka kepada Pemerintah Belanda. "Kami tak dapat membebaskan mereka. Itu keputusan pengadilan dan sesuai dengan hukum yang diwariskan kepada kami oleh Belanda," kata Menko Polkam Sudomo kepada wartawan Bob Mantiri, yang dimuat di koran Belanda Gooi- en Eemlander, belum lama ini. Jadi, kata Sudomo, "Kalau kemudian orang Belanda mengkritik, maka mereka sebetulnya mengecam hukum yang mereka wariskan kepada kami." Namun, para pengritik di Belanda tampaknya tak mau menerima tohokan Sudomo ini begitu saja. "Indonesia kan sudah bertahun-tahun merdeka, jadi harus mengikuti perkembangan ide yang ada, tak sekadar mewarisi sistem hukum kami," kata Ericha Terpstra, anggota parlemen dari Partai Liberal kanan Belanda. Belum jelas benar apakah ribut-ribut soal pelaksanaan hukuman mati ini akan berpengaruh kepada nasib keenam penghuni LP Cipinang yang divonis mati itu. Yang pasti, mereka kini menyongsong bulan Ramadan dengan hati jauh lebih tenang. "Soalnya, tak pernah ada eksekusi pada bulan Puasa," kata sumher TEMPO yang pernah menjenguk mereka. Bambang Harymurti (Jakarta) dan Asbari N. Krisna (Belanda)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini