Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Mereka sudah tak sabar lagi

500-an petani dari 8 desa di ligung, majalengka, jawa-barat, mendatangi kantor depdagri, jakarta, menuntut hak atas tanah yang selama 40 tahun dikuasai tni-au. akan diturunkan tim abri dan depdagri.

31 Maret 1990 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BERBONDONG-BONDONG, mereka berangkat ke Jakarta. Pria, wanita, orang tua, remaja, dan anak-anak. Sebagian mengenakan kaus oblong dengan tulisan "Hancurkan semua ketidakadilan". Waktu berangkat, aparat kecamatan sempat berusaha mencegah mereka naik bis, tapi sekitar 500 petani dari 8 desa di Ligung, Majalengka, Jawa-Barat, itu rupanya sudah bertekad: akan menuntut pemulihan hak atas tanah seluas 1.021,377 ha yang diakui sebagai milik mereka ke Departemen Dalam Negeri. Setiba di Jakarta, Kamis pagi pekan lalu para petani itu bergerak dari Monas menuju kantor Departemen Dalam Negeri, Jalan Merdeka Utara, Jakarta. Tapi hanya 12 wakil mereka yang diterima Kepala Badan Litbang Depdagri, Mardjuki Nyakman, dan Sekretaris Ditjen Sospol Suwarno. Sisanya, karena ditolak masuk ke halaman kantor Depdagri, memacetkan jalan sambil berteriak-teriak. Akhirnya mereka dibolehkan masuk, kemudian berteduh di bawah pohon beringin sambil makan bekal. Mereka membawa tuntutan minimal, seperti dikatakan Tendel, 64 tahun, "kepastian tertulis bahwa tanah mereka akan dikembalikan." Sebab, menurut ayah lima anak ini, tampaknya para petani sudah tak sabar lagi memperjuangkan pemulihan hak mereka, selama 40 tahun. Kasus tanah Majalengka ini bermula semasa pendudukan Jepang di Indonesia, 1942. Menurut mereka, tentara Jepang "merampas" banyak tanah di Desa Beber, Beausi, Buntu, Cibogor, Wanasalam, Salawana, dan Jatisura, Kecamatan Ligung, untuk lapangan terbang. Pemerintah Jepang juga membangun asrama, bengkel pesawat terbang, gudang, dan bunker. Tapi Jepang kalah. Rakyat yang dulu disingkirkan secara beruntun kembali ke tanah muasal, yang telah memberi kemakmuran hidup semasa Belanda dulu. "Kami punya surat Letter C, bukti pemilikan tanah yang sah," kata Umar, 53 tahun. Tapi itu tak lama. Pada 1950, pihak Komando Lapangan Udara Cibeureum, Tasikmalaya, "mengusir" petani dari tanah mereka, karena kawasan itu ditetapkan menjadi Lapangan Udara Sugiri Sutani. Alasannya, menurut Kepala Dinas Penerangan AURI Kolonel PNB Bowo Astoto, tanah tersebut milik negara. Ia menunjuk SK Kepala Staf Angkatan Perang No. 023/1950, yang menetapkan luas tanah Lanud Sugiri Sutani 1,06 ribu ha. Seratus hektare di antaranya, untuk kepentingan umum dan perumahan penduduk, belum disertifikatkan hak pakainya. Bukti lain, Pemerintah Jepang dikatakan telah membayar ganti rugi kepada rakyat. Bahkan 10 tahun kemudian, 13 Mei 1953, Kementerian Dalam Negeri mengeluarkan surat edaran. Isinya, seruan agar rakyat yang belum mendapat ganti rugi atas tanahnya supaya mengajukan tuntutan ganti rugi. Edaran serupa diulang 1983. Tapi petani menyangkal adanya ganti rugi dengan uang gulden itu. "Kalaupun ada, itu sama sekali tak memadai," kata Domo, asal Buntu. Ganti rugi ditetapkan sepihak oleh Dai Nippon. Lagi pula, pembayarannya dilakukan enam bulan setelah perampasan dan pengusiran penduduk melalui ancaman senjata. Dalam keadaan terpaksa seperti itu, menurut mereka, secara hukum tak bisa disebut terjadi jual-beli atau sewa-menyewa yang sah. Maka, petani yakin, tanah itu hak mereka. Apalagi pemerintah tak sepenuhnya mempergunakan tanah tersebut untuk kepentingan militer. Bahkan terkesan bahwa pemerintah kurang merawatnya. Buktinya, landasan pacu itu kini tertutup rumput dan ilalang. Menurut Umar, petani bekas pegawai kepolisian Jawa Barat, tanah seluas tujuh desa itu bahkan disewakan oleh Panitia Tanah Sawah AURI Pangkalan Udara Jatiwangi. Masyarakat yang ingin menggarap sawah harus membayar 8 kuintal padi atau Rp 300 ribu untuk satu hektare per tahun. Hasil sewa, konon, dibagikan sebagai upah panitia dan dana desa (masing-masing 10%), kas AURI (75%). serta untuk kas kecamatan 5%. Pihak AURI mengakui adanya sewa bagi-hasil tersebut. "Tapi tanah itu juga digunakan untuk pertahanan rakyat. Bukan untuk kepentingan pribadi," ujar Bowo Astoto. Ia menolak anggapan bahwa Lanud Sugiri Sutani ditelantarkan. Lapangan memang jarang digunakan untuk pesawat, karena untuk latihan pasukan khusus. Petani tampaknya sudah menempuh segala usaha, untuk memperjuangkan klaim haknya tersebut. Mereka datang ke bupati, gubernur, hingga kantor Wapres dan DPR, sejak September 1965. Bahkan di tingkat hukum, mereka pun pernah menggugat lewat Pengadilan Negeri Bandung, 1975. Anehnya, Mahkamah Agung menolak gugatan itu hanya dengan alasan pengadilan mencabut surat kuasa dari pengacara wakil petani. Menteri Rudini, yang sejak awal dituju petani, menerima pengaduan empat wakil mereka, Kamis malam pekan lalu, di rumahnya. Ia berjanji akan menuntaskan kasus tersehut. "Daripada timbul gejolak-gejolak," katanya. Selasa pekan ini, Rudini membicarakannya dengan pihak ABRI. Tim gabungan ABRI dan Depdagri akan diturunkan ke lapangan pekan ini juga. Sementara itu, dari Majalengka terbetik kabar bahwa beberapa mahasiswa, yang tergabung dalam Komite Solidaritas Mahasiswa Untuk Pembebasan Tanah Rakyat Petani Jatiwangi-Majalengka, ditangkap petugas. Tapi Kasat Intel Polres Majalengka membantah. Mereka, katanya, hanya terbukti memberi makan petani, yang sempat telantar di halaman kantor Depdagri. Tapi rasa tak aman, konon, mulai menjalar di antara para petani. Ahad kemarin, 11 petani dipanggil secara resmi oleh petugas Kodim 0617 Majalengka. Mereka ditanya ihwal unjuk rasa di Jakarta. Menurut sumber TEMPO di Kodim Majalengka, mereka diperbolehkan pulang sore hari setelah menandatangani Berita Acara Pemeriksaan. Ahmadie Thaha, Muchsin Lubis (Jakarta), Mukhlizardy Mukhtar (Medan)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus